Mantan Kekasihku CEO Psikopat
ahari yang mulai muncul dari balik gedung-gedung tinggi seakan memberi sinyal bahwa hari ini adalah hari baru, sebuah awal yang bisa membawa harapan. Namun, perasa
eluruh apartemennya, menatap foto-foto keluarga yang terpasang di dinding. Wajah Mama, ayah, dan adiknya, Rina, mengingatkannya pa
menantang dari hari sebelumnya. Namun, kali ini, Alya memutuskan untuk tidak membiarkan ketakutan merayap masuk. Ia melangkah masuk ke dalam gedung, di ma
nita muda dengan senyum lebar dan semangat yang tak pernah pudar, merupakan orang pertama yang meng
kit terengah-engah dari perjalanan pagi itu.
erbeda dari Alya pagi ini. "Kamu oke, kan?
kapkan perasaannya tentang Dira bukanlah hal yang mudah. Alya tahu bahwa Dira bukan sekadar atasan biasa-dia adalah pria ya
. Rina mengangguk, tetapi ekspresinya tetap penuh perhatian. "Apapun yang kamu butuhkan, aku di sini untukmu
ang rapat, seolah berharap Dira tak akan muncul. Namun, saat ia mulai merasakan sedikit ketenangan, pintu itu terbuka, dan langkah Dira yang tegap memecah sua
anya tetap terfokus pada layar presentasi. Alya berusaha mengalihkan perhatian, namun rasa cemas yang menyesakkan membuatnya sulit untuk berkonsent
erasa seperti tajam, seolah ingin menembus isi pikirannya. Ia merasakan peluh di keningnya, meskipun ruangan itu terasa cukup sejuk. Setiap kalimat yang
edikit bergetar. Dira menatapnya, mata cokelat gelapnya yang tajam s
rhatikan angka-angka ini," Dira berkata, menunjuk ke layar. Suaranya mengandung nada serius, namun Alya
asa berdetak semakin cepat. Ruangan itu mulai terasa semakin sesak, dan saat Dira berdiri
kan diri. Rina datang menghampirinya dengan ekspresi khawatir.
"Aku hanya butuh waktu,
ina, memegang tangan Alya dengan penuh keyakinan. Alya menatap Rina, mata mereka bertemu, dan Alya merasa seperti mendapat
tapi ia tak akan membiarkan masa lalu menguasainya. Dira mungkin masih menjadi bayangan yang menakut
k berjalan pulang, menyusuri trotoar yang penuh dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka. Ia berhenti sejenak di kafe kecil, tempat di mana Dira pernah
sa lalu itu sudah terlalu lama meninggalkannya, tetapi Alya tahu bahwa jika ia ingin melangkah ke depan, ia harus mem
ipecahkan, tetapi Alya berjanji pada dirinya sendiri-dia tidak akan membiarkan pria itu, atau kenangan mereka, menghalangi masa dep
etakutannya dan menghadapi kenyataan bahwa Dira ada dalam h
ahari yang mulai muncul dari balik gedung-gedung tinggi seakan memberi sinyal bahwa hari ini adalah hari baru, sebuah awal yang bisa membawa harapan. Namun, perasa
eluruh apartemennya, menatap foto-foto keluarga yang terpasang di dinding. Wajah Mama, ayah, dan adiknya, Rina, mengingatkannya pa
menantang dari hari sebelumnya. Namun, kali ini, Alya memutuskan untuk tidak membiarkan ketakutan merayap masuk. Ia melangkah masuk ke dalam gedung, di ma
nita muda dengan senyum lebar dan semangat yang tak pernah pudar, merupakan orang pertama yang meng
kit terengah-engah dari perjalanan pagi itu.
erbeda dari Alya pagi ini. "Kamu oke, kan?
kapkan perasaannya tentang Dira bukanlah hal yang mudah. Alya tahu bahwa Dira bukan sekadar atasan biasa-dia adalah pria ya
. Rina mengangguk, tetapi ekspresinya tetap penuh perhatian. "Apapun yang kamu butuhkan, aku di sini untukmu
*
ang rapat, seolah berharap Dira tak akan muncul. Namun, saat ia mulai merasakan sedikit ketenangan, pintu itu terbuka, dan langkah Dira yang tegap memecah sua
anya tetap terfokus pada layar presentasi. Alya berusaha mengalihkan perhatian, namun rasa cemas yang menyesakkan membuatnya sulit untuk berkonsent
erasa seperti tajam, seolah ingin menembus isi pikirannya. Ia merasakan peluh di keningnya, meskipun ruangan itu terasa cukup sejuk. Setiap kalimat yang
edikit bergetar. Dira menatapnya, mata cokelat gelapnya yang tajam s
rhatikan angka-angka ini," Dira berkata, menunjuk ke layar. Suaranya mengandung nada serius, namun Alya
asa berdetak semakin cepat. Ruangan itu mulai terasa semakin sesak, dan saat Dira berdiri
*
kan diri. Rina datang menghampirinya dengan ekspresi khawatir.
"Aku hanya butuh waktu,
ina, memegang tangan Alya dengan penuh keyakinan. Alya menatap Rina, mata mereka bertemu, dan Alya merasa seperti mendapat
tapi ia tak akan membiarkan masa lalu menguasainya. Dira mungkin masih menjadi bayangan yang menakut
*
k berjalan pulang, menyusuri trotoar yang penuh dengan orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka. Ia berhenti sejenak di kafe kecil, tempat di mana Dira pernah
sa lalu itu sudah terlalu lama meninggalkannya, tetapi Alya tahu bahwa jika ia ingin melangkah ke depan, ia harus mem
i Alya berjanji pada dirinya sendiri-dia tidak akan membiarkan pria itu, atau kenangan mereka, menghalangi masa depannya. Di dalam hatinya, Alya ta