Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rahasia Gelap Kekasihku

Rahasia Gelap Kekasihku

Alya Feliz

5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
20
Bab

Selama hidupnya, Arsen tidak pernah mengenal apa itu cinta. Ayah yang seharusnya memberikan kasih sayang justru menuduhnya telah membunuh ibu dan adiknya serta mencampakkannya. Hatinya menjadi dingin dan tak tersentuh. Sampai ia bertemu dengan Rose, seorang gadis cantik misterius yang mampu menarik perhatiannya. Pertemuan singkat mereka meninggalkan kesan yang mendalam untuk Arsen, namun gadis itu tiba-tiba menghilang. Selama dalam pencariannya, secara tak sengaja ia bertemu dengan Claire, seorang gadis yang terlihat lugu, namun berwajah sama dengan gadis misterius yang selama ini dicarinya. Di tengah-tengah kebingungannya, ia memutuskan untuk mendekati gadis lugu itu untuk mengobati kerinduannya pada sang gadis misterius. Namun semakin lama ia mengenal Claire, semakin banyak keanehan yang membuatnya ragu dan takut. Ia tak pernah menyangka bahwa kekasih yang dikiranya begitu lugu dan polos itu ternyata menyimpan banyak sekali rahasia. Apakah ia harus menjauh sebelum semuanya terlambat?

Bab 1 Rose

Suara hingar bingar musik yang memekakkan telinga tak membuat sesosok gadis cantik dengan pakaian serba hitam yang melekat di tubuhnya merasa terganggu. Ia melangkah layaknya model Victoria's Secret dengan rambut pirang palsunya dan bibir terpoles lipstik berwarna merah marun.

Langkah kakinya yang begitu elegan dan percaya diri membawanya menuju ke bar yang sudah diisi oleh beberapa pengunjung salah satu klub malam di Portland. Ia memesan cocktail dengan wajah bosan, lalu duduk menunggu tanpa mempedulikan banyaknya pasang mata yang memperhatikannya.

"Ada target baru?" tanya seorang bartender berambut coklat sambil menyerahkan pesanan gadis itu.

Gadis itu hanya tersenyum miring, sama sekali tak berniat untuk menjawab. Dengan santai ia menyesap sedikit minuman itu. Jemari kirinya mengetuk-ngetuk meja bar dengan irama teratur, seolah-olah sedang menghitung sesuatu.

Saat ketukan jarinya sudah sampai pada hitungan ke sepuluh, suara beberapa wanita terdengar berisik mendekatinya. Ia kembali tersenyum miring, terlihat puas dengan prediksinya yang belum pernah meleset hingga saat ini.

"Oh, lihatlah gadis culun ini. Benar-benar tak tahu malu." Melanie, gadis berambut pirang yang terlihat seperti Queen Bee di sekolah SMA, menatapnya dengan sinis. "Jal*ng sepertimu benar-benar tuli, hah? Sudah kubilang untuk menjauhi Albert, tapi kau malah dengan gatalnya masih saja datang ke sini."

"Benar-benar menyedihkan. Dia benar-benar ingin menantangmu, Mel. Hajar saja dia seperti tadi siang. Siapa tahu otaknya yang geser karena pukulanmu tadi bisa kembali ke tempatnya semula," sahut teman Melanie yang berambut coklat. Mereka lalu tertawa terbahak-bahak, seolah-olah perkataan itu terdengar lucu.

Gadis itu tetap menikmati minumannya dengan santai, seolah-olah mereka tidak ada di sana. Hal itu membuat Melanie geram bukan main. Dengan kasar, Melanie langsung menarik rambut gadis itu, membuat kepalanya mendongak.

"Berani-beraninya kau mengabaikanku setelah menangis seperti pecundang tadi siang, hah? Kalau bukan karena Albert, kau pasti sudah mati!" teriak Melanie dengan wajah memerah. Terlihat jelas bahwa dia benar-benar marah.

Gadis itu hanya menaikkan sebelah alisnya, lalu mendengus sinis. "Sudah?"

Teman-teman Melanie terkesiap dengan mulut terbuka lebar melihat respon gadis itu. Tak menyangka sikapnya berubah total dan sangat jauh berbeda dengan tadi siang di belakang kampus ketika mereka merundungnya.

Melanie yang sudah akan meledak, menampar pipi gadis itu dengan sekuat tenaga. "Dasar pel*cur! Rasakan ini! Kau tidak akan mampu untuk mengalahkan aku. Takkan ada lagi orang yang akan menghentikanku sekarang."

Sebelum tangan Melanie kembali menyentuh pipi gadis itu untuk yang kedua kalinya, sebelah tangan Melanie ditangkap dan dicengkeram dengan sangat kuat, hingga gadis itu berteriak kesakitan. Tak ada yang berani menolongnya ketika gadis yang ditamparnya itu menatapnya dengan sorot mata dingin.

"Aku sedang tidak ingin membuang-buang waktuku yang berharga untuk sampah sepertimu, gadis bodoh." Tangannya semakin kuat mencengkeram tangan kiri Melanie, hingga terdengar bunyi sesuatu yang patah.

Teman-teman Melanie langsung shock melihat pemandangan itu. Tak menyangka bahwa gadis yang mereka bully tadi siang hanya karena didekati oleh Albert, kekasih Melanie, bisa mematahkan pergelangan tangan Melanie dengan begitu mudah. Sangat berbeda jauh dengan reaksi gadis itu tadi siang yang hanya bisa menggigil ketakutan dan menangis.

"Ngomong-ngomong, aku Rose," bisik gadis bernama Rose itu di telinga Melanie, sehingga tak ada yang mendengar mereka. "Laporkan aku ke polisi jika kau berani. Tapi kau tidak akan pernah bisa bertemu dengan ibumu lagi untuk selamanya. Bukankah dia harus rajin cuci darah setiap minggunya?"

Wajah Melanie langsung memucat, tak menyangka bahwa gadis di hadapannya mengetahui rahasia mengenai ibunya yang tak pernah ia ceritakan pada teman-teman satu gengnya, karena ia tidak ingin mereka menjauhinya. Selama ini Melanie selalu sesumbar bahwa ia adalah anak orang kaya dengan orangtua yang ditakuti oleh siapapun.

Rose menyeringai senang. "Kaget? Memang sudah seharusnya. Jadi, kau tidak keberatan untuk berpura-pura tidak mengenalku ketika di kampus, kan? Aku sangat mengerikan ketika sedang marah. Mematahkan tanganmu hanyalah iseng, jadi kau masih beruntung kali ini."

Setelah membisikkan kata-kata itu, Rose menegakkan punggungnya sambil memilin ujung rambut palsunya dengan centil. "Senang sekali bisa bertemu denganmu di sini, Mel. Kita bisa menjadi sahabat yang baik. Bukankah itu menyenangkan?"

Melanie yang sudah ketakutan setengah mati karena ancaman itu, langsung berdiri dengan susah payah begitu mendengar gaya bicara Rose yang tiba-tiba berubah lagi. Mulutnya membuka dan menutup, matanya melotot takut, dan ia tiba-tiba berlari sambil menjerit ketakutan meninggalkan teman-temannya yang masih bengong.

"Melanie!"

Gadis berambut pirang itu langsung berhenti dengan tubuh gemetaran. Rose tertawa geli sambil mendekati Melanie yang berdiri seperti patung. Sebelah tangannya membelai pipi gadis itu dari belakang, membuat Melanie semakin membeku.

"Kusarankan untuk memindahkan 'barang' favoritmu ke tempat yang lebih aman. Di bawah kolong tempat tidur bukanlah tempat yang strategis untuk menyembunyikan kokain, bukan? Bilang pada adikmu untuk mengganti tempat transaksinya. Aku tidak mau melihat keluargamu harus tercerai berai karena itu."

Wajah Melanie semakin pucat. Gadis itu meneguk ludah dengan susah payah, lalu mengangguk-angguk dengan cepat.

"Gadis yang pintar," gumam Rose dengan senyum miring. "Enyahlah dari hadapanku. Jangan sampai kita bertemu lagi."

Melanie langsung berlari secepat mungkin menuju ke pintu keluar, diikuti oleh kedua temannya yang masih kebingungan. Beberapa orang yang tadi sempat memperhatikan mereka, kini kembali ke aktivitas masing-masing. Mereka tak mau ikut campur dengan masalah orang lain.

Setelah mereka semua pergi, Rose kembali ke meja bar untuk menyesap minumannya. Bartender yang sejak tadi memperhatikan mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sepupumu lagi yang akan membereskan kekacauan ini?" tanya lelaki itu.

Rose mengedikkan bahunya tak acuh. "Kau pasti sudah hafal, Brad."

"Berapa orang lagi yang harus kau bereskan?" tanya Brad sambil mengamati sekeliling ruangan yang sudah mulai penuh sesak.

"Satu. Aku sedang tidak berselera hari ini," jawabnya sambil mengamati kuku-kukunya yang cantik.

"Arah jam 1. Dia sedang bersama teman-temannya," gumam Brad sambil melayani pelanggan lain.

Rose menghela nafas bosan. Ia benar-benar muak terus-terusan berada di posisi ini. Tapi ia terpaksa harus melakukannya, atau mereka tidak akan bertahan hidup selama ini.

"Kapan aku bisa bersenang-senang tanpa adanya gangguan?" gerutunya kesal.

"Dia sedang menuju ke toilet," kata Brad lagi tanpa mempedulikan gerutuan Rose.

Rose menghela nafas panjang sekali lagi. "Aku benci kekerasan, kau tahu itu? Aku juga membencimu."

Brad mengangkat tangannya dengan posisi hormat, sedangkan Rose mengibaskan rambut palsunya sebelum berdiri. Gadis itu melangkah dengan senyum menggoda dan lirikan mata nakal pada setiap mata yang memandangnya, sebelum melangkah menuju ke toilet.

Ia melihat pria itu, Albert, sedang berdiri di depan kaca setelah mencuci tangannya di westafel. Bunyi pintu yang ditutup membuat pria itu mendongak. Kedua mata mereka saling bertemu melalui kaca.

"Claire!" seru Albert dengan mata berbinar. "Tak kusangka kau berada di tempat ini. Kau sengaja ingin menemuiku, kan?"

Rose menggeleng dengan tangan bersedekap di depan dada. "Usaha yang bagus, tapi tebakanmu salah. Coba lagi."

Albert mengernyitkan alisnya tak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Kau tak pernah mendengar tentang tumor itu?" Rose mendekati Albert dengan perlahan, sengaja ingin menggoda pria itu. "Aku, dengan pakaian serba hitam, ekspresi menggoda."

Pria itu terkesiap dengan mata melotot ketika menyadari pakaian yang dikenakan oleh gadis itu. Dengan cepat Albert berbalik, lalu merogoh saku belakangnya dan menodongkannya pada Rose.

"Jangan mendekat!"

Rose menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh geli. "Kenapa kau ketakutan, Albert? Bukankah terlalu berlebihan jika hanya menghadapiku saja kau harus menodongkan pistolmu?"

Ia kembali mendekat, sementara Albert semakin gemetaran. "Kubilang jangan mendekat! Atau aku akan menembakmu!"

Rose mendengus, sama sekali tak terusik. Namun tiba-tiba matanya terpejam selama sekian detik. Begitu membuka mata, tak ada lagi sorot centil dan menggoda di mata itu. Hanya ada sorot dingin dan tajam, membuat Albert membeku.

"Ka-kau... "

"Sudahkah kubilang padamu bahwa aku sangat membenci siapapun yang menyentuh kulitku?" kata gadis itu dengan aksen yang aneh.

Albert merasa tubuhnya tiba-tiba merinding. Dengan refleks pria itu mengusap tengkuknya. "Ro-Rose, aku tidak... Aku..."

"Aku sangat suka dengan orang berambut pirang, kau tahu?" Gadis itu menyeringai dengan pisau kecil di tangannya. "Dan aku sangat menyukai darah. Aku sudah tak sabar lagi untuk menjadikanmu sebagai objek lukisanku berikutnya."

Tubuh pria itu bergetar hebat seperti daun kering tertiup angin yang bisa jatuh kapan saja dari dahan pohon. Kedua mata birunya melotot melihat gadis itu menyeringai seperti psikopat.

"Ka-kau psikopat! Ka-kau kerasukan! Menjauhlah dariku! Menjauhlah!"

Gadis itu mendekati Albert dengan langkah tegas dan seringai menakutkan, membuat Albert mengeratkan pegangannya pada pistol di tangannya.

"Aku sangat membenci pelaku pelecehan."

"Berhenti! Berhenti!"

DOR!!

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku