"Aku harap, orang tuamu tidak akan merasakan pedihnya jadi di posisi orang tuaku. Semoga mereka tidak pernah merasakan sakitnya melihat putri kesayangannya depresi setiap hari. Dan ... semoga hal ini tidak akan terjadi pada putri kesayanganmu nantinya," ucap Rinda sembari berusaha menahan air mata yang sudah berdesakkan ingin keluar. Rinda si gadis yang beranjak dewasa, mengalami berbagai permasalahan hidup baru di perantauan. Mulai dari percintaan hingga aktivitas kampusnya. Dalam masalah percintaan, dia hanya bisa percaya bahwa orang yang ia cintai dengan sungguh, pasti akan menghormati komitmen untuk bersama. Namun, apakah Rinda akan kuat menjalani kehidupannya? Atau justru ia akan mati di tangan waktu?
"Aku yakin kamu kuat," ucap seorang perempuan yang berada di samping Rinda.
'Kamu bisa, Rinda.'
"Aku tidak mau lagi menjual diri."
"Kita akan menikah, Rin. Di mana letak kamu menjual diri kepadaku?"
"Kenapa baru sadar hari ini?" tanya Rinda yang berusaha keras untuk menahan sesak di dadanya.
"Aku tidak pernah membelimu," sahut Gian dengan menyuguhkan tawa kecil.
"Kamu memang tidak pernah membeliku dengan uang. Karena memang aku yang selalu mengeluarkan uang untuk kita jalan berdua."
"Na---."
"Tunggu! Ada satu hal lagi. Dan kamu sudah menghancurkan masa depanku," ucap Rinda dengan mata yang sudah berair.
"Kita sama-sama suka melakukannya, Rin! Kamu lupa?!"
"Oh tentu tidak! Tapi, seharusnya kamu juga ingat bahwa dirimu sudah melamarku dan tidak seharusnya kamu melakukan hal itu dengan perempuan lain!"
Gian berdecak kesal. Ia juga sedikit terkejut saat Rinda mengucapkan hal itu. Padahal, dirinya merasa sudah menyembunyikan rahasia besar itu dengan rapi.
"Kamu pasti sudah dipengaruhi sama Della," ucap Gian sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dipengaruhi? Hei ... aku sudah mengumpulkan semua buktinya, Gian," sahut Rinda sembari menunjukkan kertas yang sudah ia siapkan bersama Della.
"Bukti apa? Aku tidak pernah melakukan hal apa pun."
"Dalam keadaan seperti ini saja kamu masih sibuk membela diri." Rinda berkata dengan tatapan tajam dan senyuman sinis.
"Aku harap, orang tuamu tidak akan merasakan pedihnya jadi di posisi orang tuaku. Semoga mereka tidak pernah merasakan sakitnya melihat putri kesayangannya depresi setiap hari. Dan ... semoga hal ini tidak akan terjadi pada putri kesayanganmu nantinya," ucap Rinda sembari berusaha menahan air mata yang sudah berdesakkan ingin keluar.
***
"Kamu baik, Nak?" ucap seorang perempuan paruh baya di seberang telepon.
Suaranya terdengar seperti orang yang penuh kekhawatiran. Tak biasanya pula perempuan itu menelepon pada jam-jam malam.
"Rinda? Kamu masih ada di sana, Nak?"
Rinda memang belum menyahuti apa pun kecuali menjawab salam dari ibunya. Ia tak mengerti harus memberikan penjelasan seperti apa. Sebab, apa-apa yang akan dijelaskan tentu membuat sakit hati kedua orang tuanya.
"Iya, Bu ... Rinda baik kok. Ini baru beres merajut baju. Kenapa, Bu?" Rinda berpura-pura tegar demi menjaga kesehatan ibunya. Ia tak mau jikalau penyakit jantung perempuan di seberang telepon itu kambuh.
"Beneran kamu baik-baik saja?" Bu Meilinda--Ibu Rinda--tak percaya dengan ucapan putrinya. Beliau merasa ada yang tidak beres dengan putrinya di perantauan.
"Iya, ibuku yang cantik ... lagian sudah jam segini, Ibu masih main hp saja," sahut Rinda yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sejak sore tadi, Ibu kepikiran kamu terus, Nak. Mau nelpon, takut kamunya masih ada kesibukan lain."
Dari balik telepon, Rinda juga sudah mendengar helaan napas Bu Meilinda yang merasa lega dengan jawabannya. Ia memang berniat untuk menyembunyikan permasalahannya dengan Gian serapi mungkin.
Sebelum semua bukti-bukti terkumpul dengan benar dan tepat sasaran.
Rinda Wahyuningsih. Di umur yang sudah mau menginjak 24 tahun, Rinda tentu ingin menjalin hubungan serius dengan kekasihnya-Gian-. Membercandai sebuah perasaan, menurut dia bukan hal yang wajar. Apalagi jika hubungan itu sudah melibatkan orang tua di setiap langkah yang akan dituju ke depannya.
"Rinda memang sibuk sekali di outlet sama Della tadi, Bu. Alhamdulillah ramai pengunjung hari ini." Rinda berbohong untuk yang ke sekian kalinya.
"Alhamdulillah ... tapi kamu juga jaga kesehatan loh, Nak!"
"Iya, ibuku ...."
Merasa tak ada yang ingin dipertanyakan lagi, Bu Meilinda pun mengakhiri panggilan malam itu. Selain ingin segera merebahkan tubuh, beliau juga tak mau menyita waktu istirahat putrinya.
Rinda memang menjadi putri tunggal dari pasangan suami istri Ganjar dan Meilinda. Oleh sebab itu, tidak heran jika Bu Meilinda begitu protektif terhadap putri semata wayangnya.
"Kenapa, Rin?" Suara khas dari Della sedikit mengejutkan Rinda yang masih menatap layar ponselnya.
"Biasa ... ibuku. Ngerasa kali, ya, kalau anaknya sedang hancur kayak gini," sahut Rinda dengan nada lesu.
Berulang kali ia mengembuskan napasnya yang terasa sesak. Penghianatan dari Gian juga terus memenuhi pikirannya. Sampai-sampai, jam tidur dan waktu makannya ikut berantakan.
Sementara itu, Della masih menatap Rinda dengan tatapan nelangsa. Perempuan kelahiran Ciamis itu tak pernah melihat sahabatnya sesedih itu.
"Ya udah, makan dulu, yuk! Tadi aku mampir beli nasi goreng Pak Arifin," ajak Della yang berusaha mencairkan suasana.
Bukan tak peduli dengan kalimat Rinda sebelumnya, Della hanya tak ingin suasana itu terus menetap dalam ruangan kos mereka. Seolah-olah, tak ada kehidupan yang lebih baik di dalam ruangan yang tak cukup lebar itu. Ia yang notabenenya baru saja pulang dari outlet penjualan mereka juga merasa sesak jika pulang-pulang selalu disuguhi dengan kesedihan dari Rinda.
"Duluan saja, Dell. Mau ngelanjutin rajutan dulu." Rinda beralasan.
Selera makannya memang tidak ada sedikit pun. Bahkan bagianya, semuanya telah mati rasa. Tidak tahu lagi mau diarahkan ke mana lagi pikiran dan tubuhnya itu.
Alih-alih memarahi Rinda, Della justru meneteskan air mata di samping sahabatnya. Seolah dia juga merasakan sesak yang harus ditanggung oleh Rinda.
"Aku gak kenapa-kenapa loh, Dell ...," ucap Rinda yang dengan sekuat tenaga menahan tangisnya saat itu.
Di jam-jam rawan overthingking, Rinda memang kerap kali menangis hingga fajar muncul. Ia tak tahu apa yang ditangisi, tapi perasaan tidak nyaman dan aman selalu menghantui. Ia sudah berusaha menyembunyikan tangisnya dari Della. Sampai-sampai, dirinya selalu menutup wajahnya dengan bantal ketika menangis. Akan tetapi, tetap saja. Della selalu terbangun dan nelangsa melihat perempuan yang tidur bersamanya.
"Hei?! Della ... aku kuat ketika kamu juga kuat," ucap Rinda sekali lagi karena sahabatnya tak kunjung berhenti terisak.
"Benci aku sama Gian!!!"
Kalimat itu sudah keluar dari mulut Della berulang kali. Ia menjadi garda terdepan yang mau membela dan menemani Rinda dalam melawan Gian. Akan tetapi, Rinda selalu menahan Della untuk balas dendam kepada kekasihnya.
"Dendam itu api, Dell. Kita tidak perlu menggenggam api untuk menghancurkan diri kita sendiri," sahut perempuan berlesung pipit itu dengan tenang.
Begitulah Rinda, selalu keras kepala dan terlalu baik kepada orang yang menyakitinya. Dalam keadaan hati yang porak-poranda seperti itu saja dia masih bisa memaafkan dengan ikhlas. Bahkan, ia juga sempat meminta maaf kepada Gian dan kekasih barunya.
"Seharusnya kamu tidak perlu meminta maaf kepada mereka, Rin. Yang salah itu mereka z bukan kamu!" bentak Della yang masih dikelabuhi dengan emosi.
Ia kasihan dengan Rinda tapi juga tidak suka dengan sikap sahabatnya itu. Terlalu baik dan percaya pada orang lain yang membuat dirinya selalu dimanfaatkan.
Saat suasana sedang mengharu biru, tiba-tiba mereka berdua dikejutkan dengan suara lantang dan ketukan pintu yang kasar.
"Rindaa!!! Rindaa!!!"
Bab 1 Ikhlas
21/03/2023
Bab 2 Penyesalan
21/03/2023
Bab 3 Tak Terduga
21/03/2023
Bab 4 Keterlaluan
21/03/2023
Bab 5 Untung Saja
21/03/2023
Bab 6 Melempar Kesalahan
21/03/2023
Bab 7 Meredam
21/03/2023
Bab 8 Jatuh Sakit
21/03/2023
Bab 9 Bersahabat
21/03/2023
Bab 10 Melepas Rindu
21/03/2023
Bab 11 Kedekatan
21/03/2023
Bab 12 Pura-Pura
29/03/2023
Bab 13 Berpikir
29/03/2023
Bab 14 Perjalanan Hidup
29/03/2023