Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Bukan Wanita Biasa

Bukan Wanita Biasa

Ochel Fuadi

5.0
Komentar
434
Penayangan
10
Bab

"Kenapa kamu diam, Mas? Bertahun-tahun kamu tidak menafkahi mereka, tidak memberi pengertian dan kasih sayang, abai akan tanggung jawab sebagai seorang ayah. Masihkah pantas kamu ingin bertemu dengan mereka sekarang? Setelah dulu kamu dan keluaragamu dengan angkuhnya mengusirku dan anak-anakmu? Kamu juga telah membuatku tidak diterima oleh keluargaku sendiri? Ibumu juga telah merusak masa depanku dengan merobek ijazahku sampai aku harus memulung, menjadi tukang sapu, tukang parkir, dan berjualan seperti ini? Tidak ada orang yang mempercayaiku lagi, karena semuanya sudah terpengaruh oleh berita-berita yang dihasut keluargamu. Semuanya menganggap aku adalah seorang peselingkuh dan pelacur sebagaimana yang kamu tuduhkan! Dan akhirnya aku terdampar di sini, tetapi dengan hidup seperti ini aku merasa lebih baik dari pada harus mengemis kepercayaan dari orang-orang yang telah membuatku hina!" Setelah tidak bertemu selama tiga tahun lamanya, Madina harus dihadapkan lagi dengan seorang pria paling pecundang dalam hidupnya. Dia adalah Adnan-mantan suaminya yang telah mentalak dan mengusirnya secara tragis karena percaya pada sebuah fitnah. Kedatangan Adnan bermaksud untuk mempersunting Madina kembali, selain karena masih ada cinta, ternyata Madina memiliki anak laki-laki yang sangat mirip dengan Adnan yang dulu sangat diragukannya. Anak laki-laki yang menjadi obsesi keluarganya untuk menjadi penerus dan pewaris kekayaan. Akankah Madina menerima Adnan kembali setelah membuatnya trauma, merusak mental, dan menjadikannya wanita introvert? Lantaran di sisi lain ada pria yang begitu tulus membuatnya bangkit kembali? Sementara untuk menebus kesalahan, Adnan ingin membersihkan nama Madina dengan mencari tahu siapa pelaku fitnah tersebut. Apakah akan segera terkuak?

Bab 1 Hampir Ternoda

"Buka jilbabnya!"

"Baik, Tuan."

Seorang pria yang mendapat perintah dari bosnya langsung saja melaksanakan titah untuk melucuti jilbab yang tersemat di kepala wanita yang tengah tak sadarkan diri. Wanita itu masih saja menutup mata lantaran bahaya tengah di depan mata. Semuanya karena bius yang masih bereaksi di tubuhnya.

Jilbabnya telah terlepas, memperlihatkan mahkota hitam yang terurai begitu cantik. Begitupun dengan baju dan celana panjangnya yang kini hanya tersisa kaos dan celana dalam saja. Kedua pria di hadapannya sontak menelan ludah melihat ciptaan Tuhan yang begitu sempurna.

"Sekarang kamu keluar, tunggu di lobby."

"Baik, Tuan Smith."

Sekarang tersisa mereka berdua saja di dalam kamar hotel. Sebelum menjalankan aksinya untuk berkelana pada kenikmatan dunia, pria yang dipanggil Smith itu mengambil potret wanita itu dengan ponsel pintarnya. Satu lengkungan senyum menyeringai sebelum akhirnya Smith juga membuka setelan jas hitam serta kaos yang melekat di tubuh atletisnya. Ia melemparkannya ke lantai dengan hasrat yang telah sampai di ubun-ubun. Tak sabar untuk segera bertempur dengan segala yang ada di tubuh sang wanita.

Belaian dan sentuhan mendarat dengan mulus di pipinya yang halus. Seluruh wajah pun telah diciumnya, membuat perlahan tersadar mengerjapkan mata. Lantas kelopak mata itu terbuka memperlihatkan sorot yang indah. Sesaat tatapannya bingung di mana dia berada. Langsung saja Smith menindihnya tanpa kata. Mencengkram kedua tangannya penuh nafsu bersiap menjelajah di atas dua menara yang konon bisa mengeluarkan mata air.

Tak Smith pedulikan teriakan minta tolong dari makhluk lemah yang berstatuskan istri orang itu. Namun tetap saja Smith tak fokus karena wanita itu memberontak kuat diiringi tangisan minta dilepaskan.

"Hmm ... hmmm ...,"

Smith membekap mulut wanita itu untuk tak mengeluarkan suara. Hembusan nafas dari keduanya saling menyatu karena jarak yang begitu dekat.

"Diam! Percuma saja kamu berteriak, kamar hotel ini kedap suara. Jadi jangan buang tenagamu, lebih baik nikmati saja permainanku!" ucap Smith pelan dengan menghapus air mata yang terus mengalir darinya.

"Tolong ... jangan lakukan ini padaku ...."

Rengekan wanita itu justru membuat Smith merasa tertantang. Dalam hati ia mencemoohnya karena wanita itu begitu bodoh tak ingin dibawa pada kenikmatan duniawi. Padahal tugasnya hanya diam saja, biarkan Smith yang memberikan gelora nikmat dengan beberapa kecupan di tubuhnya yang nyatanya begitu menggoda.

Merasa leher jenjangnya tak dapat diraih karena terus memberontak, langsung saja Smith menghirup aroma di belahan dada sang wanita. Wangi tubuhnya yang alami membuat Smith ingin menuntaskan sesegera mungkin. Lantas ia meninggalkan jejak merah di sana dengan bibirnya. Menenggelamkan wajahnya di antara dua gundukan taman surga.

Bugh!

Pusaka Smith mendapatkan tendangan dari wanita itu. Membuatnya bangun dan meringis kesakitan, kilat matanya mengeluarkan amarah melihat wanita yang segera terduduk memeluk lutut. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Nampak wanita itu begitu ketakutan.

Plak!

Tanpa rasa kasihan, Smith mendaratkan tamparan pada wanita itu dengan tangan kekarnya. Meninggalkan bekas merah di wajahnya yang sembab oleh air mata.

Lagi. Smith menamparnya yang kedua kali, buah dari kemarahannya yang tak dapat dielakkan lagi. Saat hasrat yang sedang naik-naiknya, tiba-tiba sesuka hati wanita itu menendangnya di kala lengah. Kurang ajar.

"Dasar bodoh! Kamu tinggal nikmati saja tapi bersikap diam saja tak bisa?" hardik Smith.

"Tolong ... jangan lakukan itu padaku, tolong ...,"

Smith tersenyum mengejek mengangkat sebelah mulutnya. "Serahkan dulu seluruh tubuhmu, baru bisa bebas."

Wanita itu mengangkat wajahnya. "Jika tak mau melepaskanku, siksa saja aku sepuasmu, aku lebih ridho ketimbang kamu menyentuh tubuhku!" teriaknya.

Dari sekian wanita yang melayaninya, Smith tidak pernah mendapat penolakan seperti ini. Meski sebelumnya ia tahu, dengan wanita ini aksinya tidak akan semulus biasanya. Dalam hati Smith merutuk pada anak buahnya, karena tak becus dalam memberikan obat bius.

Smith menarik nafas dan mengeluarkannya dengan kasar. Lain hati, sisi prikemanusiaannya merasa iba melihat wanita itu begitu terpukul. Walau bagaimana pun, ia dilahirkan dari rahim seorang wanita, dan ibunya berhijab sama seperti wanita di hadapannya. Meski pada kenyataannya, Smith seringkali menodai banyak perempuan dan mencampakkannya sesuka hati.

"Siapa namamu?" tanya Smith sedikit melunak.

"Madina."

Tanpa menoleh Madina menyebut namanya. Tubuhnya masih bergetar menahan ketakutan. Ia tak menyangka dalam hidupnya akan mendapatkan sejarah menghinakan. Entah bagaimana ceritanya ia bisa berada di hotel ini bersama lelaki biadab yang hampir memperkosanya. Ingatannya cukup buntu untuk memperjelas beberapa jam ke belakang. Terakhir, ia berada di rumah sakit untuk mengecek kehamilannya, bukan tempat terkutuk ini.

"Jika kamu masih punya hati tolong keluarkan aku dari sini," pinta Madina kemudian.

Smith menarik nafas panjang. "Boleh saja. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, setelah ini hidupmu tidak akan baik-baik saja. Kalau mau aman, bersenang-senanglah denganku satu jam saja."

"Dengan kamu memperlakukan hal ini padaku hidup saya sudah tidak baik-baik saja. Jadi jangan tawari hal laknat apa pun lagi. Sudah cukup kamu memperlakukanku bak sampah." Madina bersungut penuh amarah.

Smith malah tertawa lebar melihat kemarahan Madina. "Hei ... kamu pikir aku sudah menodaimu? Jika dengan perbuatanku tadi membuatmu merasa telah jadi sampah maka kamu terlalu sok suci. Aku hanya menawarkan kebaikan, tetapi rupanya kamu belum paham."

"Tidak ada kebaikan di atas sebuah dosa. Yang kamu lakukan padaku benar-benar salah!"

Smith menepis lengannya dan beringsut turun menuju sopa. "Ah, sudahlah, aku tak butuh ceramahmu. Pakai kembali bajumu."

Entah mimpi apa semalam sampai Madina harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Tak mau berlama-lama dengan lelaki itu, Madina meraih kembali pakaiannya yang tergeletak di atas ranjang. Lantas ia berjalan menuju toilet dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Sementara Smith hanya menyunggingkan senyum tipis dengan menggelengkan kepala melihat tingkah wanita itu yang menurutnya aneh.

Guyuran air dari shower pada tubuh Madina seolah bukan hanya menghilangkan jejak air liur lelaki tadi, tetapi juga menghilangkan kotoran yang menimpa harga dirinya. Tangisnya pecah lagi di dalam sana. Mewakili kemarahan, kesedihan, dan kebingungan yang bergejolak dalam isi kepala.

Apa yang harus Madina jelaskan pada suaminya jika pulang nanti. Apa lagi saat sekarang Madina melihat ke cermin, nampak bekas merah tercetak jelas di belahan dadanya. Lagi, anak sungai mengalir lagi dari sudut matanya. Menangisi kebodohannya.

Jika saja ia tidak pingsan tadi, mungkin harga dirinya masih utuh. Tiada lagi lelaki mana pun yang bisa leluasa melihat tubuhnya kecuali Adnan-suami tercintanya. Namun begitu Madina masih selamat dan dikatakan beruntung, karena tubuhnya belum sepenuhnya diambil oleh lelaki tadi. Meskipun tidak bisa dinikmati, tetap saja tubuh Madina sudah dilihatnya secara jelas. Dan itu sangat memalukan.

Smith yang sudah rapi dengan setelan jas hitamnya, berdiri saat Madina keluar dari toilet dengan mengenakan pakaiannya lagi. Wajah wanita itu nampak ditekuk, Smith paham perasaan dan pikirannya. Model wanita sepertinya memang tidak mudah melabuhkan hati atau hasrat pada sembarang lelaki. Namun Smith tak peduli.

"Mau diantar?" tawar Smith basa-basi.

Madina menatap nyalang setelah menyambar tasnya di atas nakas. Lekat ditatapnya secara tajam seolah akan menghabisi. "Tidak perlu!"

"Lagi-lagi kamu menolak tawaran baikku. Ingat Nona Madina ... tawaranku mengandung negosiasi yang sangat menguntungkan. Sekali lagi saya tawarkan, jika kamu mau diantar, maka selanjutnya hidupmu aman. Tetapi jika tidak, lihat saja nanti kelanjutan hidupmu!"

"Terserah." Madina melenggang keluar melewati Smith tanpa peduli ucapannya yang terdengar seperti ancaman.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku