Bukan Wanita Biasa
gu, M
, tun
eh ke belakang, dan sekarang ... mereka berdua yang berjarak sepuluh meter hanya saling memandang
i dengan memasuki jalan gang sempit. Ada yang harus segera diperbaiki saat ini setelah sekia
ak ada nafsu untuk bisa dipercaya semua orang lagi. Masih ingat betul bagaimana Adnan mengusirnya dan meluluhlantakkan semua cinta yan
n dari fitnah, justru malah ikut menghakimi. Itu semua karena berita jahanam yang dengam cepat tersebar. Entah siapa yang meny
pun sangat asing karena tidak ada siapa pun yang dikenal, Madina yakin itu jauh lebih baik da
ndian dan juga hati yang menggeliat karena tersentuh lagi luka masa lalu. Ia pikir tidak akan bertemu lagi dengan deretan
a," seseibu membuyarka
sedari pagi sekian lama mengayuh kaki, ia hanya mendapati tiga orang pembeli. Itu arti
a, lima yang topping cokelat dan lima lagi topping
ungkus makanan yang dipesan dal
i menggunakan sepeda motornya, Madina menghitung uang yang ia dapatkan hari ini. Bibirnya tersenyum getir tapi tetap m
seseorang di balik mobil tengah memperhatikannya. Kemudi
*
anyak, menaruhnya di atas meja . Itu artinya, anak-anak harus makan dengan gorengan sisa yang sudah dingin. Meski anak-anak tidak pernah prote
tanya Anya. Anak pertamanya yang sekarang telah berusi
ya yang dulu menjadi saksi fitnah keji dari keluarga ayahnya. Menatap mereka satu persa
yang tak Madina perkenankan untuk masuk TK itu me
mbira ria di taman kanak-kanak, justru ia harus menjaga
Madina meraihnya, dan
sudah
ggu Bunda dulu. Kan gorengannya
makan dulu. Bund
stik untuk dimakan kedua puterinya, Madina beranjak ke kamar
kan rasa lelahnya setelah seharian banting tulang mencari rupiah yang tak seberapa. Bocah berusia dua tahun
temu dengan Adnan. Meskipun mereka bertiga memang anak bilogis Adnan, tapi tidak
tu. Tak mudah baginya yang dulu tengah hamil muda menjalani semuanya. Berkali-kali ia mengalami pendarahan, berkali-k
itu. Meski tak bisa dipungkiri, selama berjalan kiloan meter bersama sang buah hati di bawah terik mata hari dan
setahun, persiapan persalinan, dan biaya hidup lainnya. Selebihnya, Madina harus kuat hati menjadi pemulung sebelum akhirnya menetap berjualan seperti saat ini. B
an tak bisa juga Madina memintanya lagi ke kampusnya di Jakarta tempat ia mengenyam pendidikan dengan IPK tertinggi di sana. Lagi-lagi ia tak cukup nyali untuk bertemu dengan o
n juga harapan-harapan besar untuk puteranya. Di bawah doa-doa sang bunda, anak tak berdosa itu melahap asi yang disodorkan Madina. Merasa kasihan dan nelangsa
mengasuh adiknya. Tak jarang, Anya atau Anisa pun selain pintar menyeduh susu untuk si keci
ehilangan mereka. Karena anak-anaknya
yang Madina beli dari Bu RT seharga seratus ribu setahun yang