/0/26688/coverorgin.jpg?v=c4b3c2c782fc14e4cf02f18cc7392d82&imageMogr2/format/webp)
Liana duduk di sudut ruang tamu yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak yang mulai padam. Hembusan angin malam masuk melalui celah-celah jendela yang tak sempurna, membuat tubuhnya menggigil. Matanya menatap kosong ke depan, seakan-akan mencoba mencari makna dalam setiap bayangan yang tampak samar di dinding rumah kayu yang sudah rapuh. Hidupnya seperti kaca pecah-terpental ke mana-mana, tak bisa lagi disatukan.
Sejak beberapa bulan terakhir, setiap harinya terasa seperti pertempuran. Hidupnya yang dulu sederhana kini dipenuhi dengan kesulitan yang tak pernah ia bayangkan. Dulu, ketika ia menikah dengan Damar, ia membayangkan kehidupan yang bahagia, penuh cinta, dan penuh dengan harapan. Namun, kenyataan justru jauh berbeda. Seperti sebuah mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.
Liana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau. Di luar sana, malam semakin larut. Namun, perutnya yang kosong seakan tak peduli dengan waktu. Anak kecilnya, Nadya, sudah tidur dengan nyenyak di kamarnya, tidak tahu bahwa ibunya tengah berjuang melawan rasa lapar dan frustasi.
Pagi tadi, seperti biasa, Liana pergi keluar untuk mencari makanan. Tak ada pilihan lain. Ia berjalan berkeliling pasar, mencari apa yang bisa dimakan untuk anaknya. Damar, suaminya, seakan menutup mata terhadap kenyataan yang dihadapi istrinya. Ia bekerja, memang, namun lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dengan ponselnya atau mengobrol dengan teman-temannya, sementara Liana berjuang dengan segala cara untuk menyelamatkan keluarga mereka dari kelaparan.
Ketika ia pulang dengan sedikit bahan makanan yang ia dapatkan dari seorang pedagang tua yang baik hati, ia berharap bisa memberi makan anaknya dengan makanan yang layak. Namun, yang ia temui justru kenyataan yang lebih pahit. Di dapur, mertuanya, Nina, duduk dengan tenang, seolah tak peduli dengan kedatangannya. Liana bisa merasakan tatapan Nina yang dingin, seolah-olah ia bukan bagian dari keluarga ini. Ibu mertuanya itu tidak pernah menyukainya, bahkan sejak hari pertama pernikahannya dengan Damar. Setiap langkah Liana selalu diawasi dengan penuh kecurigaan, dan setiap upaya yang ia lakukan untuk membantu rumah tangga ini selalu dianggap tidak cukup.
"Nasi itu cukup buatmu," ujar Nina, suaranya datar, bahkan cenderung sinis. Liana hanya bisa menelan ludah, menahan amarah yang hampir meledak. Nasi basi. Itu yang diberikan oleh mertuanya.
Liana mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, berbicara dengan Nina hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Sudah cukup banyak kata-kata tajam yang pernah keluar dari mulut ibu mertuanya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Rasa frustasi yang sudah lama terpendam akhirnya mencapai puncaknya. Ia merasa terjebak dalam sebuah hidup yang tak pernah ia pilih.
Liana berjalan menuju meja makan, di mana Damar sudah duduk, seperti biasa, dengan ponselnya di tangan. Suaminya itu tidak pernah sekalipun menanyakan kabarnya, apalagi tentang Nadya. Setiap kali ia merasa lapar atau lelah, Damar selalu mengabaikannya. Liana merasa dirinya semakin terasingkan, bahkan di rumahnya sendiri. Keberadaan Damar seakan tidak lebih dari bayangan yang melintas tanpa arti. Ia tahu Damar bekerja keras, tetapi apa gunanya jika suaminya itu hanya sibuk dengan dunia maya, tidak peduli dengan kenyataan yang dihadapi oleh keluarganya?
/0/23842/coverorgin.jpg?v=4812c10e6aeb0d2dd9d3ee9bd1f0a11a&imageMogr2/format/webp)
/0/23850/coverorgin.jpg?v=20250607090818&imageMogr2/format/webp)
/0/16078/coverorgin.jpg?v=c3990aa00c0bc5f2524051abfe2f061d&imageMogr2/format/webp)
/0/18495/coverorgin.jpg?v=fa722c6e46304d6306090e55dc99494a&imageMogr2/format/webp)
/0/16861/coverorgin.jpg?v=1d79d5c8d1067177e47366859cdb07d3&imageMogr2/format/webp)
/0/16204/coverorgin.jpg?v=20240620130139&imageMogr2/format/webp)
/0/9450/coverorgin.jpg?v=d11f7d23467c368108f94bae2251abd9&imageMogr2/format/webp)
/0/12198/coverorgin.jpg?v=dc31d836caecd446dac10b44a8789176&imageMogr2/format/webp)
/0/15751/coverorgin.jpg?v=1bdf86b5ee5478fbb236687f80b2d534&imageMogr2/format/webp)
/0/19254/coverorgin.jpg?v=c659b82c9199684efc0b7b383a3b2265&imageMogr2/format/webp)
/0/4844/coverorgin.jpg?v=ff65dd9a66e99ce43b5ccb282f790bea&imageMogr2/format/webp)
/0/15686/coverorgin.jpg?v=afcf5a6ff86d6d1f40e69e3ce01b315c&imageMogr2/format/webp)
/0/12963/coverorgin.jpg?v=308a6ac4b11d4165816f683b8ae466c6&imageMogr2/format/webp)
/0/17805/coverorgin.jpg?v=da2604aade4536ab630fb92c1b75f23a&imageMogr2/format/webp)
/0/5626/coverorgin.jpg?v=79f5e94995c9ef2e0230aa95e6050667&imageMogr2/format/webp)
/0/14156/coverorgin.jpg?v=0d6bcf5b3aacc35c4be934b534409f0b&imageMogr2/format/webp)
/0/13499/coverorgin.jpg?v=0eec749d773f606260336124ca19a547&imageMogr2/format/webp)
/0/23102/coverorgin.jpg?v=a2928afe8bb1d339c5b6c27cec1269e9&imageMogr2/format/webp)
/0/21957/coverorgin.jpg?v=3e56ea6f879112f4c5d47416cdcddd68&imageMogr2/format/webp)