searchIcon closeIcon
Batalkan
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon

Adinda

Birahi Anak Tiri

Birahi Anak Tiri

Fajar Merona
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Romantis R18+Keluarga
Unduh Buku di App

"Ayah, sih! Dinda jadi telat!" seru Dinda tak terima kepada Ayahnya saat mereka di dalam mobil menuju sekolah baru Dinda di Malang. "Masak baru masuk sekolah udah telat aja!" gerutu Dinda tak terima dengan berulang kali melihat ke arah jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit.

"Hari senin, saatnya upacara. Tenang saja, pasti gak akan ketahuan kalau kamu panjat pagar samping," kata sang Ayah yang berusaha menenangkan gelisah dan gundahnya hati sang anak. Tapi Adinda tetap tak terima dengan sikap santai sang Ayah.

"Lagian mandi aja sampai setengah jam!" seru Adinda kesal. Adinda hanya tak pernah tahu kalau hal itu dilakukan oleh Bima karena ia merasa gugup bahwa hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai manager pengolahan di cabang perusahaannya sebelumnya.

Jika saja sang Ibunda Bima tak sakit dan membutuhkan banyak biaya pengobatan, maka Bima tak akan pernah bersedia menerima tawaran ini. Ia tak ingin mengingat sama sekali kenangan manis pahitnya di kota kelahiran mantan istrinya, Safira. Itu terlalu membuatnya terluka sangat.

Tak bisa dipungkiri bahwa alasannya masih sendiri hingga kini adalah karena ia tak yakin dengan hatinya yang masih diliputi oleh rasa bersalah kepada mantan istrinya, Safira.

"Ayah ngelamun?" tanya Dinda dengan menyenggol lengan Ayahnya gemas. Ayahnya serta merta menoleh ke arah Dinda dan kaget.

"Nggak!" seru Ayahnya.

"Lah kenapa di google maps bilang kalau sekolahku udah kelewat?" tanya Adinda dengan santai. Wajah Ayahnya seketika kaget dan langsung pucat, ia meraih ponsel sang anak dan mengecek maps di sana. Kemudian dengan senyum tipis yang terpaksa ia lakukan, ia memutar kemudi.

"Gak ada salahnya kita jalan-jalan dulu," kata sang Ayah. Dinda hanya bisa geleng-geleng kepala sembari memukul jidatnya yang tak terasa pusing sama sekali.  Ia tak habis pikir dengan kelakuan Ayahnya.

Lima menit kemudian mereka tiba di sekolah Dinda yang baru. Sengaja mobil yang dikendarai oleh Ayahnya itu parkir agak jauh dari halaman sekolah. SMA Negeri 1 Lawang. Sekolah yang cukup terkenal di Malang.  Sekolah itu didirikan tahun 1980-an dengan nama pertama yakni SMPP (Sekolah Menengah Pertama Pembangunan).  Sekolah itu terletak di desa Sumber Waras, beberapa meter dari jalan raya dan jalur kereta api. Bagian depan sekolah itu terdapat kampung yang cukup padat, dan bagian belakan tempat di mana Dinda dan Ayahnya berada terdapat lapangan sepak bola yang cukup luas. Sore hari kemarin sang Ayah telah membawa Dinda mengunjungi sekolah itu dan bagi Dinda bangunan sekolah itu cukup bagus dan luas. Apalagi bagian perpustakaannya yang membuat Dinda membelalakkan mata karena kagum. Musholla sekolah juga masih dalam perbaikan renovasi yang signifikan.

"Jadi, aku harus masuk sekolah lewat mana?" tanya Dinda kepada sang Ayah yang juga bingung menatap sekolah itu. Ia mulai berpikir dan mengingat-ingat tour ringan yang dilakukannya dengan sang putri kemarin sore ke sekolah itu. "Ayah!" panggil Dinda kembali kepada sang Ayah yang langsung menoleh salah tingkah, saat sang Ayah memalingkan wajahnya kembali ia melihat dengan matanya ada satu siswa yang berjalan ke arah kanan,  menjauhi gerbang sekolah dengan sembunyi-sembunyi.

"Coba ikutin siswa itu!" pinta sang Ayah seraya menunjuk ke arah pemuda dengan tas hitam di punggungnya. "Sepertinya ia juga terlambat. Cepat!" perintah sang Ayah sekali lagi kepada putrinya yang menatapnya dengan tatapan jengah dan tak percaya sama sekali. "Cepat! Tunggu apa lagi?!" seru sang Ayah seraya mendorong sedikit badan putrinya agar segera keluar dari dalam mobil yang mereka tumpangi.

Dinda keluar dari dalam mobil dengan bibir yang manyun ke depan dan rasa enggan sama sekali. Seumur-umur ia berangkat ke sekolah, baru kali ini ia terlambat, dan itu bukan salahnya tapi salah sang Ayah yang terlalu lama berada di dalam kamar mandi. Ia bahkan hanya menyambar satu buah roti panggang karena sang Ayah lupa ke tukang sayur dan nasi yang beliau masak tidak matang. Ayah lupa memencet tombol 'cook' pada magiccom milik mereka.

Dinda menghentakkan kaki dengan kesal ketika ia melihat sang Ayah sangat antusias menyuruhnya untuk segera masuk ke sekolah dengan menyusul pemuda yang telah hilang dalam pandangan mereka itu. Dinda menggerutu dan memanyunkan bibirnya kembali tapi ia akhirnya menuruti permintaan sang Ayah tersebut.  Dengan langkah kaki yang sedikit berlari itu, Dinda menuju arah di mana siswa tadi menghilang. Sampai di sana ia celingkukan ke arah kanan dan kiri mencari sosok pemuda tadi, tapi sejauh ia memandang, Dinda tak menemukan sama sekali siswa pria tadi.

Dinda kemudian memandang ke arah tembok beton yang cukup tinggi di hadapannya tersebut. Ia merasa ragu saat ini ketika pandangannya kembali melihat ke arah tembok di hadapannya. Ia memang sudah sangat biasa memanjat pohon saat berada di Bandung dulu, tapi masalahnya adalah kini yang ada di hadapannya,  tembok tinggi bukan ranting. Dinda mencari-cari sesuatu di sekitarnya untuk membantunya memanjat, tapi ia tak menemukan sesuatu sama sekali.  Ia akhirnya melompat-lompat untuk menengok ke arah dalam. Sejauh dari pandangan matanya ketika ia melompat-lompat, ia tak menemukan guru atau siswa lainnya di dalam sana. Ia merasa aman sejenak. Ia menengok lagi ke kanan dan kiri dan ia menemukan beberapa batu yang menurutnya akan muat jika ia menyusunnya lalu menaikinya kemudian.

Dinda mengangkat batu-batu itu ke dekat tembok dan menyusunnya sedemikian rupa hingga ia merasa tinggi batu itu cukup untuk membantunya melompati pagar tersebut. Dinda sedikit ragu ketika ia melihat tumpukan batu-batu tersebut yang tak simetris. Ia membayangkan dirinya jatuh dan tertimpa salah satu batu tersebut.

Nggak.

Nggak.

Aku gak boleh takut sama sekali.

Nggak papa.

Aku bakalan baik-baik saja!

Kata-kata itulah yang terus menerus dilontarkan Dinda dalam pikirannya. Dengan mengucapkan kata bismillah ia mulai memanjati batu hasil tumpukannya tersebut.  Tapi baru juga ia menaiki tumpukan batu itu, tubuhnya oleng ke kiri, ia kehilangan keseimbangan meski ia berusaha menggapai udara agar tak terjatuh ke belakang. Dinda pasrah ketika ia benar-benar tak bisa menyeimbangkan tubuhnya.

Hup.

Tubuhnya ditangkap seseorang tepat ketika Dinda telah memejamkan matanya. Dinda membuka matanya kala ia merasa ada tangan yang menopang tubuhnya. Ia menoleh dan mendapati seorang pemuda dengan wajah yang tampan sempurna itu memandang ke arahnya secara datar.

Pemuda itu memiliki mata berwarna coklat dipadukan dengan bulu mata yang lentik dan alis hitam legam yang lebat. Hidung pemuda itu sedikit mancung, bibirnya tipis tapi sedikit berwarna gelap dan Dinda bisa mencium aroma maskulin yang memabukkan dari napas segarnya itu.

Baca Sekarang
Cinta Pertama Adinda

Cinta Pertama Adinda

Anisa Swedia
Mahesa Putra Adiswara adalah seorang lelaki dingin pecinta buku. Kehidupannya sehari-hari di sekolah ia habiskan dengan berada di perpustakaan. Impiannya adalah menjadi seorang dokter psikologi agar Ibunya bisa ia rawat sendiri. Dinda Adiswara adalah seorang siswi cantik yang lugu dan energik. Kebi
Anak muda KeluargaCinta pertamaKembarMenarik
Unduh Buku di App
Adinda Wattpad IndonesiaAdinda novel gratis tanpa aplikasiDownload Adinda novel PDF Google DriveAdinda gratis tanpa beli koin dan offline
Yuk, baca di Bakisah!
Buka
close button

Adinda

Temukan buku-buku yang berkaitan dengan Adinda di Bakisah. Baca lebih banyak buku gratis tentang Adinda Wattpad Indonesia,Adinda novel gratis tanpa aplikasi,Download Adinda novel PDF Google Drive.