Terlalu Lelah Untuk Bertahan

Terlalu Lelah Untuk Bertahan

Febi Rahmatika

5.0
Komentar
176
Penayangan
30
Bab

Liana tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah seperti ini. Di tengah kesulitan yang tak kunjung berakhir, ia berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih kecil, sementara dirinya sendiri semakin terpuruk. Ia harus mencari cara untuk memberi makan si kecil, mencari sisa-sisa makanan di pasar, berharap ada yang memberinya kesempatan untuk mendapatkan sedikit bahan makanan. Namun, kenyataannya jauh dari yang ia harapkan. Ia sering kali pulang dengan tangan kosong, hanya bisa memandang mata anaknya yang penuh harap. Pagi itu, Liana baru saja kembali ke rumah setelah berjalan jauh mencari rezeki, saat perutnya mulai merengek lapar. Ia berharap bisa menemukan makanan untuk dirinya sendiri, setidaknya sebutir nasi. Namun, saat ia membuka pintu rumah, aroma yang menyengat langsung tercium dari dapur. Ternyata, itu adalah nasi basi yang diberikan oleh mertuanya, Nina. Liana bisa merasakan tatapan tajam ibunya dari belakang, seolah-olah memeriksa setiap gerak-geriknya dengan penuh ketidakpedulian. "Nasi itu cukup buatmu," kata Nina dengan suara datar, seakan tidak ada empati dalam nada bicaranya. Liana menahan amarah yang mulai mendidih dalam dadanya. Ini bukan kali pertama ia diperlakukan dengan begitu. Setiap kali ia datang ke rumah mertuanya, ia seringkali diberi makanan yang sudah basi atau bahkan tak layak makan. Hatinya semakin hancur setiap kali menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tak menganggapnya layak mendapatkan perhatian yang sedikit pun. Namun, yang lebih menyakitkan adalah sikap suaminya, Damar. Liana menatap suaminya yang duduk di meja makan, tampak sedang asyik dengan ponselnya, seolah-olah dunia tidak sedang runtuh di sekeliling mereka. Damar tidak pernah menunjukkan sedikitpun rasa empati terhadap penderitaan Liana. Bahkan ketika ia kelaparan, suaminya hanya terdiam, seolah-olah tidak peduli dengan keadaan istrinya. "Kenapa kau tidak pernah peduli, Damar?" suara Liana hampir pecah saat bertanya. "Anak kita lapar, aku hampir tidak bisa menemukan makanan untuk kita, dan kau..." Ia terdiam, menatap suaminya dengan tatapan penuh kecewa. Damar mengangkat wajahnya, namun hanya ada kebingungan yang terlihat di matanya. "Aku sudah memberimu uang belanja. Kau yang tidak tahu mengelola keuangan dengan baik." Kata-kata itu seperti pisau yang mengiris hati Liana. Ia merasa tidak dihargai. Seakan semua usahanya, setiap tetes keringat yang ia keluarkan untuk keluarga ini, tidak pernah cukup. Hanya kekosongan yang ia dapatkan sebagai imbalannya. Liana menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. Kecewa. Frustrasi. Perasaan itu bercampur aduk, menciptakan jurang yang semakin dalam antara dirinya dan suaminya. Kenapa Damar tidak melihat semua yang telah ia lakukan untuk keluarga ini? Kenapa semua pengorbanannya tidak pernah dihargai? Malam itu, setelah mereka makan dengan nasi basi yang diberikan oleh Nina, Liana berbaring di tempat tidur. Suaminya tidur di sampingnya, terlelap tanpa tahu apa yang sedang dipikirkan istrinya. Liana menatap langit-langit kamar, berpikir tentang apa yang akan terjadi jika ia terus terperangkap dalam kehidupan seperti ini. Ia merasa kehilangan arah, terjebak dalam situasi yang tampaknya tidak ada jalan keluarnya. Namun, di dalam hati Liana, ada api yang masih menyala. Ia tidak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini. Ia tahu, suatu hari nanti, ia harus bangkit. Ia harus melawan ketidakadilan ini, untuk dirinya sendiri dan untuk anaknya. Meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya, ia yakin bahwa ia akan menemukan kekuatan untuk keluar dari cengkraman keluarganya yang tak peduli padanya. Kehidupannya tidak akan terus seperti ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri.

Bab 1 bayangan yang tampak samar

Liana duduk di sudut ruang tamu yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu minyak yang mulai padam. Hembusan angin malam masuk melalui celah-celah jendela yang tak sempurna, membuat tubuhnya menggigil. Matanya menatap kosong ke depan, seakan-akan mencoba mencari makna dalam setiap bayangan yang tampak samar di dinding rumah kayu yang sudah rapuh. Hidupnya seperti kaca pecah-terpental ke mana-mana, tak bisa lagi disatukan.

Sejak beberapa bulan terakhir, setiap harinya terasa seperti pertempuran. Hidupnya yang dulu sederhana kini dipenuhi dengan kesulitan yang tak pernah ia bayangkan. Dulu, ketika ia menikah dengan Damar, ia membayangkan kehidupan yang bahagia, penuh cinta, dan penuh dengan harapan. Namun, kenyataan justru jauh berbeda. Seperti sebuah mimpi buruk yang tak bisa ia hindari.

Liana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau. Di luar sana, malam semakin larut. Namun, perutnya yang kosong seakan tak peduli dengan waktu. Anak kecilnya, Nadya, sudah tidur dengan nyenyak di kamarnya, tidak tahu bahwa ibunya tengah berjuang melawan rasa lapar dan frustasi.

Pagi tadi, seperti biasa, Liana pergi keluar untuk mencari makanan. Tak ada pilihan lain. Ia berjalan berkeliling pasar, mencari apa yang bisa dimakan untuk anaknya. Damar, suaminya, seakan menutup mata terhadap kenyataan yang dihadapi istrinya. Ia bekerja, memang, namun lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dengan ponselnya atau mengobrol dengan teman-temannya, sementara Liana berjuang dengan segala cara untuk menyelamatkan keluarga mereka dari kelaparan.

Ketika ia pulang dengan sedikit bahan makanan yang ia dapatkan dari seorang pedagang tua yang baik hati, ia berharap bisa memberi makan anaknya dengan makanan yang layak. Namun, yang ia temui justru kenyataan yang lebih pahit. Di dapur, mertuanya, Nina, duduk dengan tenang, seolah tak peduli dengan kedatangannya. Liana bisa merasakan tatapan Nina yang dingin, seolah-olah ia bukan bagian dari keluarga ini. Ibu mertuanya itu tidak pernah menyukainya, bahkan sejak hari pertama pernikahannya dengan Damar. Setiap langkah Liana selalu diawasi dengan penuh kecurigaan, dan setiap upaya yang ia lakukan untuk membantu rumah tangga ini selalu dianggap tidak cukup.

"Nasi itu cukup buatmu," ujar Nina, suaranya datar, bahkan cenderung sinis. Liana hanya bisa menelan ludah, menahan amarah yang hampir meledak. Nasi basi. Itu yang diberikan oleh mertuanya.

Liana mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, berbicara dengan Nina hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Sudah cukup banyak kata-kata tajam yang pernah keluar dari mulut ibu mertuanya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Rasa frustasi yang sudah lama terpendam akhirnya mencapai puncaknya. Ia merasa terjebak dalam sebuah hidup yang tak pernah ia pilih.

Liana berjalan menuju meja makan, di mana Damar sudah duduk, seperti biasa, dengan ponselnya di tangan. Suaminya itu tidak pernah sekalipun menanyakan kabarnya, apalagi tentang Nadya. Setiap kali ia merasa lapar atau lelah, Damar selalu mengabaikannya. Liana merasa dirinya semakin terasingkan, bahkan di rumahnya sendiri. Keberadaan Damar seakan tidak lebih dari bayangan yang melintas tanpa arti. Ia tahu Damar bekerja keras, tetapi apa gunanya jika suaminya itu hanya sibuk dengan dunia maya, tidak peduli dengan kenyataan yang dihadapi oleh keluarganya?

"Liana, kenapa kau lama sekali? Kau tidak membawa banyak bahan makanan hari ini?" tanya Damar tanpa menatapnya. Suaranya terdengar acuh tak acuh, seakan-akan ia sedang berbicara dengan seorang pelayan, bukan istrinya.

Liana menatapnya, matanya penuh dengan kecemasan dan keputusasaan. "Apa kau tidak melihat bagaimana susahnya aku mendapatkan makanan untuk kita? Kau pikir aku hanya bisa membeli bahan makanan dengan uang yang kau berikan begitu saja?" Ia merasakan kata-katanya semakin keras, namun seakan tak ada yang mendengarnya.

Damar mengangkat bahu, tetap fokus pada layar ponselnya. "Aku sudah memberi cukup uang untuk belanja. Kau yang tidak tahu mengelola keuangan dengan baik."

Liana merasa hatinya seperti diiris pisau. Setiap kata Damar seperti tusukan yang membuat luka semakin dalam. Apa lagi yang harus ia lakukan? Ia sudah berusaha semampunya. Tidak ada satu pun penghargaan yang ia terima. Tidak ada satu pun kata-kata yang bisa membuat suaminya merasa iba.

Liana meraih piring yang berisi nasi basi itu dan duduk di meja, menghadap suaminya yang tampak tidak peduli. Ia mencoba menahan tangis yang hampir saja tumpah. Rasanya ia sudah tidak bisa lagi bertahan dalam hubungan yang seperti ini. Tidak ada cinta, tidak ada perhatian, hanya keheningan yang semakin mencekik.

Malam itu, setelah makan dengan hati yang penuh kecewa, Liana berbaring di ranjang, mencoba untuk tidur meskipun perasaannya terus terbangun. Di sampingnya, Damar terlelap dengan tenang, tanpa mengetahui apa yang sedang dirasakan istrinya. Ia berbaring dengan tubuh yang kaku, menatap langit-langit yang gelap. Air mata perlahan mengalir di pipinya. Bukan karena dia lemah, tapi karena dia tahu dia tidak bisa terus hidup seperti ini. Liana merasakan dirinya kehilangan arah, terperangkap dalam kehidupan yang seolah tidak memberikan jalan keluar.

Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa padam. Api kecil itu masih menyala, meskipun perlahan. Di tengah kegelapan, ada keyakinan yang perlahan tumbuh: ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia harus keluar dari bayang-bayang yang membelenggu hidupnya. Suatu hari nanti, ia akan menemukan jalan, jalan untuk dirinya sendiri dan untuk Nadya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan bangkit, bahwa ia akan menemukan kekuatan untuk melawan ketidakadilan yang ada di hadapannya.

Liana menutup matanya, memeluk perutnya yang kosong, dan berdoa dalam hati. Besok, ia akan menghadapi dunia dengan cara yang berbeda. Ia akan menjadi lebih kuat, lebih berani. Meskipun ia tidak tahu bagaimana, ia yakin itu adalah langkah pertama untuk keluar dari kegelapan ini.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Febi Rahmatika

Selebihnya
Patah Hati Terlalu Dalam

Patah Hati Terlalu Dalam

Romantis

5.0

Livia Suryani, seorang CEO muda yang telah mengukir nama besar di dunia bisnis kecantikan, dikenal dengan merek skincare "Glow Essence", sebuah perusahaan yang telah mendominasi pasar dengan inovasi dan kualitas luar biasa. Livia, yang biasa dipanggil Liv, tidak hanya sukses secara profesional, tetapi juga memiliki kehidupan pribadi yang tampak sempurna. Ia bertunangan dengan Adrian Wira, pria tampan dan berkarisma yang menjalankan bisnis showroom mobil bekas yang juga berkembang pesat. Keduanya saling mencintai dan merencanakan pernikahan mereka dalam waktu dekat. Sejak awal, hubungan Liv dan Adrian memang terlihat seperti pasangan yang sempurna. Mereka saling mendukung, penuh dengan kasih sayang dan perhatian. Liv merasa sangat beruntung memiliki Adrian, yang selalu ada untuknya, baik dalam kebahagiaan maupun kesulitan. Namun, kebahagiaan Liv berubah drastis pada suatu hari yang tak akan pernah ia lupakan. Pada malam sebelum ulang tahun Adrian, Liv merencanakan kejutan spesial untuk tunangannya. Ia ingin menunjukkan betapa dalamnya cintanya kepada Adrian, dengan membuat malam itu penuh dengan kenangan manis. Liv mempersiapkan segala sesuatu dengan cermat, mulai dari dekorasi hingga hadiah yang istimewa. Namun, saat ia tiba di rumah Adrian lebih awal untuk menyiapkan kejutan, ia justru mendapati pemandangan yang membuat jantungnya berhenti berdetak. Melalui celah pintu, Liv melihat Adrian sedang bergulat dengan seorang wanita yang tidak asing baginya-Amara, anak tiri ayahnya yang baru beberapa bulan pindah ke kota. Keduanya tampak terperangkap dalam sebuah adegan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, saling berpelukan dan bergumul dalam keintiman yang begitu intens. Wajah Amara yang selalu tampak ramah, kini menunjukkan ekspresi penuh hasrat yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan dilihatnya. Liv merasakan dunia seperti runtuh seketika. Hatinya hancur, seolah ada sesuatu yang merobek setiap bagian dari dirinya. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Dengan tubuh gemetar, ia bersembunyi di dalam lemari dan merekam semua yang terjadi, berharap itu akan menjadi bukti atas pengkhianatan yang baru saja ia temui. Air mata mengalir tanpa bisa ia bendung, menyesali semua yang telah ia percayai selama ini. Setelah kejadian itu, Liv merasa seluruh dunianya hancur. Adrian, yang ia percayai dan cintai dengan sepenuh hati, ternyata memiliki sisi gelap yang sama sekali tak ia ketahui. Keputusan yang berat harus ia buat, dan dengan rasa sakit yang tak terlukiskan, Liv memutuskan untuk meninggalkan Adrian, mengakhiri hubungan yang sudah dibangun selama bertahun-tahun. Namun, bukan berarti luka di hatinya langsung sembuh begitu saja. Dalam keadaan kacau dan frustasi, Liv pergi ke sebuah klub malam yang terletak di pusat kota. Ia ingin melupakan semuanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kegilaan malam itu. Tanpa banyak berpikir, ia menenggak alkohol hingga tubuhnya terasa ringan dan dunia di sekitarnya semakin kabur. Keesokan paginya, Liv terbangun dengan kepala pusing dan tubuh yang terasa lemah. Ia membuka mata perlahan, hanya untuk mendapati dirinya telanjang, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Kaget dan bingung, Liv berusaha mengingat apa yang terjadi semalam, namun segala hal tampak kabur, seperti mimpi yang sulit dicerna. Saat ia hendak bangkit, matanya terbelalak melihat seorang pria tampan yang terbaring di sampingnya. Tubuhnya terbungkus selimut, namun tangannya masih melingkar erat di sekitar tubuh Liv, memeluknya dengan cara yang sangat posesif. Hatinya berdetak kencang, bingung dan ketakutan. Siapa pria ini? Apa yang terjadi semalam? Pria itu tampaknya tertidur dengan tenang, wajahnya yang tampan tampak begitu damai, berlawanan dengan kekacauan dalam diri Liv. Ia berusaha mengingat lagi, namun hanya menemukan kekosongan. Apakah ia mengenal pria ini? Atau mungkin ini hanya salah satu akibat dari alkohol yang ia minum semalam? Liv mencoba bangun perlahan, menghindari untuk membangunkan pria itu, namun takdir sepertinya memiliki rencananya sendiri. Pria itu terbangun dengan perlahan, membuka matanya, dan langsung menatap Liv dengan tatapan yang penuh misteri. Sebuah senyuman tipis terbentuk di wajahnya, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Liv semakin bingung. "Selamat pagi," kata pria itu dengan suara serak, seolah baru saja bangun dari tidur yang sangat lelap. "Kau baik-baik saja?" Liv tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya memandang pria itu, mencoba mencari jawaban dari tatapan matanya yang penuh rahasia. Apa yang terjadi semalam? Mengapa ia terbangun di samping pria ini, yang bahkan wajahnya tidak pernah ia kenal sebelumnya? Saat pria itu menarik Liv ke dalam pelukannya, Liv merasa ada sesuatu yang aneh, seperti ada hubungan tak terungkapkan di antara mereka. Namun, pertanyaan terbesar yang ada dalam benaknya adalah, siapa sebenarnya pria ini, dan mengapa dia merasa begitu terhubung dengan Liv?

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku