Wulan Sariningtyas disia-siakan Berti Sonika, ibu mertua, karena dianggap tidak pantas menjadi anak menantu. Selain itu, selama lima tahu berumah tangga dengan Haris Nandito, suaminya, Wulan belum memiliki anak. Wulan tahu diri. Dirinya berasal dari keluarga biasa, secara strata ekonomi jauh di bawah keluarga besar Berti Sonika – Wistara Janaloka. Walau berat hati, Wulan meninggalkan rumah megah sang mertua. Ketika hidup mandiri, Wulan menghadapi berbagai deraan lain yang tidak ringan. Kehadiran Jefri Sahima dalam kehidupan Wulan membuatnya semakin terbebani. Bukan hanya beban batin, tapi juga beban lain yang tak mudah dhindari. Tenyata Jefri anggota sebuah jaringan mafia yang selama ini ingin menghancurkan Perusahaan WIPA. Apalagi setelah Wulan tahu bahwa dirinya pewaris PT WIPA, makin berat masalah yang disangganya. Kehadiran Haris dan Berti yang memohon ampun atas kesalahan mereka di masa lalu, juga membuat pendirian Wulan goyah. Wulan ternyata belum bisa menghilangkan rasa cinta kepada Haris. Pada sisi lain, Wulan mulai jatuh hati kepada Jefri! Apa pun yang akan terjadi nantinya, Wulan mesti mengambil sebuah keputusan untuk kebahagiaan hidupnya kelak. Sebuah keputusan yang berat yang mesti diambil. Entah keputusan apa yang akan diambil Wulan, sama-sama ada risikonya.
Wulan Sariningtyas telah hilang kesabarannya. Makin didiamkan, makin menyakitkan kata-kata yang meluncur dari lisan Berti Sonika. Ibu mertua Wulan itu makin hari makin keterlaluan sikap dan perilakunya. Bukan hanya kata-kata pedas yang memedihkan hati, tapi sikapnya makin membuat Wulan menderita batin.
Kini saatnya Wulan mengambil sikap, melakukan tindakan. Tindakan nyata. Kalau hanya sikap, tidak dihiraukan. Kalau tindakan, pasti membuat orang-orang yang sengaja menyakiti perasaan Wulan, akan mendapatkan dampaknya. Entah dampak menyenangkan atau sebaliknya, Wulan tidak peduli.
"Bu, tolong tidak mengulang-ulang sindiran yang menyiratkan saya mandul," kata Wulan tenang, tegas, dengan suara bergetar. "Di depan keluarga besar Berti Sonika – Wistara Janaloka ini saya sampaikan sebuah fakta. Secara medis, sesuai surat keterangan dokter spesialis kandungan, saya perempuan subur. Bukan perempuan mandul."
Berti, Haris Nandito, Gendra Raymon, Yaneta Asami, Rian Aston, dan Davia Cahyaningrum tersentak mendengar perkataan Wulan. Perkataan di luar dugaan. Pernyataan di luar perkiraan. Tak ada satu pun keluarga besar Berti – Wistara mengira Wulan seberani itu terhadap ibu mertua. Apalagi saat ini Wulan dan Haris --sang suami-- tinggal serumah dengan Berti.
"Apa Wulan salah minum obat ya?" bisik Yaneta kepada suaminya, Gendra. "Kok berani-beraninya ngomong seperti itu."
Gendra tidak menanggapi hasutan istri. Sekilas dia lirik wajah cantik Wulan. Tersirat rasa iba..., dan suka. Siapa yang tidak suka memandangi wajah cantik seorang wanita? Sejak pertama bersua, Gendra suka pada adik iparnya! Kakak sulung dari Haris dan Rian itu tidak mampu membendung rasa terpikat pada kecantikan Wulan.
Davia, istri Rian, duduk di sebelah kiri Yaneta. Dia menanggapi ucapan Yaneta, "Dasarnya memang tidak tahu diri, Mbak. Jadi wajar saja kalau berani ngomong seperti itu. Ucapan itu tidak pantas diucapkan kepada ibu mertua. Apalagi sekarang kita sedang merayakan keberhasilan Haris. Mestinya Wulan jaga mulutnya. Ucapan itu bukan hanya menyinggung Ibu, tapi juga Haris. Kalau Haris nantinya menceraikan Wulan, itu tindakan yang tepat. Sudah mandul, bertingkah pula!"
Rian menghela napas. Dia tidak suka mendengar perempuan bergosip. Sejak awal dirinya sudah tahu kalau Davia dan Yaneta tidak suka pada Wulan. Entah apa sebabnya, Rian tidak tahu. Di mata Rian, Wulan selama ini selalu bersikap baik terhadap siapa pun. Termasuk kepada ibu mertua, kakak ipar, dan adik iparnya.
"Dalam suasana seperti ini, sebaiknya kita diam," nasihat Rian pada Davia, lirih. "Kalau bicara seperlunya. Kalau tidak perlu, tidak penting, tidak usah bicara. Kalau bisa, suasana yang nantinya bisa memanas, kita redam. Kita redakan."
"Diam bagaimana, Mas?" tentang Davia. "Dia telah berani pada Ibu, ibu kandungmu. Mengapa kamu diam, tidak bereaksi apa-apa? Tidak membela ibumu yang direndahkan oleh anak menantunya yang sok cantik. Merasa paling cantik dibandingkan menantu-menantu lainnya."
Ucapan Davia dibuat sepelan mungkin. Tapi sebagian orang yang duduk di meja makan besar keluarga itu bisa mendengarnya dengan jelas. Apalagi wajah Davia terlihat garang. Ekspresi marah karena tersinggung oleh perkataan suaminya. Mimik murka karena melihat pembangkangan Wulan terhadap Berti terpampang di depan mata.
"Ssst..., jangan keras-keras, Via," bisik Yaneta yang kursinya di sebelah kanan Davia. "Kalau menuruti kata hati, aku juga mangkel sama Mas Gendra. Dia juga nampak santai saja ketika ibunya direndahkan martabatnya oleh Wulan. Sebagai anak tertua, mestinya dia yang tampil paling depan untuk membela ibu kandungnya. Aku yang anak mantu saja merasa gemas sama Wulan. Kalau saja aku yang ditentang seperti itu, heh..., pasti sudah kudamprat si mulut lancang itu."
"Benar," tanggapan Davia. "Aku mungkin akan bertindak lebih jauh lagi. Kutampar mulutnya yang asal mangap. Memangnya apa salah Ibu? Ibu cuma membicarakan tentang cucu-cucunya. Dia hanya mengatakan ingin punya cucu dari ketiga anaknya. Masa begitu saja membuat Wulan tersinggung. Ibu wajar kan kalau ingin punya cucu dari Mas Gendra, Mas Haris, dan Mas Rian. Kalau nantinya Wulan tidak bisa hamil, maka Mas Haris bisa mencari istri lain yang bisa ngasih keturunan!"
Yaneta melirik ke arah suaminya. Wajah Gendra terlihat muram. Pengusaha rongsokan yang punya puluhan armada truk besar itu terlihat bingung dm bersikap. Wiraswastawan sukses dalam bidang barang bekas itu merasa sulit untuk bersikap. Satu ibu kandung yang melahirkan, yang lain adik ipar yang punya sejuta pesona nan menawan.
Ruang tengah yang luas, dipenuhi perabotan kelas atas, senyap. Hanya bisik-bisik dan kata-kata lirih yang keluar dari lisan Yaneta dan Davia terdengar asyik. Asyik bagi dua perempuan yang sedang membicarakan keburukan orang lain. Orang lain yang sebenarnya ada hubungan kekerabatan, sebagai saudara ipar.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang, Mbak?" Davia minta pertimbangan Yaneta. "Apa aku perlu ngomong untuk memperingatkan Wulan supaya kelak tidak mengulangi perbuatan bodoh ini?"
"Jangan," cegah Yaneta, "itu tidak sopan. Kamu sebagai saudara muda, tidak etis menegur Wulan."
"Kalau begitu, Mbak Yaneta yang menegurnya."
"Tidak."
"Hadeeeh..., bagaimana ini, Mbak? Kalau dibiarkan, bisa makin ngelunjak dia. Kapada Ibu saja berani, apalagi pada kita? Lama-lama, kepala kita dijadikan alas kaki!"
Yaneta terdiam, tidak menanggapi perkataan pedas Davia. Dia lirik Davia dan Rian sekilas. Dua orang yang sama-sama artis sinetron itu sering diisukan kurang harmonis dalam berumah tangga. Entah benar atau tidak, Yaneta tidak peduli. Kenyataan yang dia lihat sehari-hari, hubungan mereka baik-baik saja.
"Yang paling berhak dan punya kewajiban menegur, Mas Gendra," lirih suara Yaneta dekat telinga kanan Davia. "Tapi entah mengapa, suamiku itu sepertinya tidak sampai hati menegurnya. Mungkin merasa tidak enak hati."
"Menurutku, yang paling berhak dan berkewajiban menegur Wulan itu, Mas Haris," Davia menanggapi. "Mas Gendra, memang anak Bu Berti yang paling tua. Tapi kalau kaitannya dengan etika, yang menasihati keluarga terdekat Wulan, yaitu suaminya. Mas Haris. Bukan yang lain. Kalau Mas Gendra yang menasihati Wulan atas kelakuannya yang melanggar norma susila, bisa menynggung perasaan Mas Haris. Itu juga bisa dikatakan mencampuri urusan rumah tangga orang lain."
Wulan lamat-lamat mendengar perbincangan Yaneta dan Davia. Diam-diam dia melirik tajam ke arah mereka. Yang satu kakak ipar, yang lain adik ipar. Keduanya membuat hati Wulan gusar. Dalam keseharian, mereka sering bersikap dan berkata kurang enak didengar telinga. Kali ini, masih saja mereka menggunjing. Bukan hanya tidak enak didengar telinga, tapi perkataan mereka membuat hati Wulan membara.
"Apa hebatnya mereka kok suka merendahkan saya?" Wulan bertanya-tanya dalam hati. "Memangnya mereka lebih hebat dibanding saya? Memangnya Yaneta yang hanya ibu rumah tangga, tidak bekerja itu bisa mandiri tanpa topangan ekonomi suami? Memangnya Davia punya penghasilan setinggi yang diperkirakan orang? Diam-diam saya tahu tentang kabar miring seputar Davia dengan orang-orang yang kerja di dunia perfilman."
Haris menoleh ke samping kiri sambil berkata lirih, "Tahan diri, jaga emosi! Jangan sampai membuat suasana makin runyam!"
"Tidak!" sanggah Wulan. "Saya tidak bisa menahan diri lagi! Saya tidak mau sakit hati sendirian!"
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Haris sambil melihat wajah Wulan yang memerah padam.
Kecemasan terbayang di wajah Haris.
***
Buku lain oleh Tageyu Taranggana
Selebihnya