Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Bianca meraih ponsel dari atas nakas, melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Matanya melirik pria yang masih tidur di sebelahnya. Lalu tanpa membuang waktu lebih lama dengan tubuh telanjang Bianca beranjak.
Masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian membungkus dirinya kembali dengan pakaian ketat yang semalam ia kenakan. Tangannya meraih cek yang terletak di sebelah ponsel lalu memasukkan keduanya ke dalam tas.
"Udah mau pergi?"
Suara serak dari pria yang masih terpejam itu membuat Bianca menoleh. Menjawab hanya dengan gumaman.
"Kapan-kapan lagi, ya?"
"Siapin aja uangnya," jawab Bianca sebelum membuka pintu hotel.
Wanita berparas cantik dengan tubuh sexy itu berjalan santai di lorong menuju lift. Suara sepatu hak yang dia pakai terdengar nyaring karena suasana yang sepi.
Bianca yang semula menunduk mengangkat wajah. Mata tajamnya langsung bertabrakan dengan seseorang yang berjalan dari arah berlawanan. Keduanya sama-sama berhenti di depan lift.
Pria itu yang menekan tombol lift, lalu tak lama pintu lift terbuka. Bianca berdiri di sudut dengan si pria yang berada di sudut berlawanan.
"Alone?"
Bianca melirik, menemukan tatapan pria itu yang memandangnya secara terang-terangan.
"Hm," jawabnya.
"Mau diantar?"
"No, thanks."
Jelas saja Bianca menolak. Mereka baru pertama kali bertemu. Ia memang sudah terbiasa pergi berdua dengan pria asing, namun, tidak pernah dengan pria yang tidak memberikan uang. Semuanya dalam hidup Bianca memang tentang uang.
Karena ia tidak ada waktu untuk memikirkan hal yang lain selain lembar kertas berharga itu.
Si pria yang awalnya berada di sudut itu mendekat, membuat Bianca menegakkan tubuh. Was-was.
"Ravindra," kata pria itu.
Bianca menaikkan sebelah alis. Menatap pria yang memperkenalkan diri itu dengan penuh tanya.
"What's your name?"
Orang bilang, sepertiga malam terakhir memang waktu yang magis. Mungkin karena itu kedua insan berbeda gender bisa mengobrol tanpa ragu. Meski sangat ketus tapi Bianca tetap menyebutkan nama.
"Bianca."
"Oke, Bianca." Ravindra menjilat bibir bawahnya. "Bye the way, partner sex mu liar juga."
Bianca tidak menunda untuk menoleh. Sedikit mendongak karena perbedaan tingginya dengan Ravindra.
Ravindra yang ditatap tajam seperti itu menunjuk leher dan pundak Bianca yang terekspos. "Itu merah semua."
Dan Bianca hanya memutar bola matanya. Ternyata hanya karena kissmark Ravindra tahu kalau dirinya telah bercinta. Tadinya wanita itu pikir, Ravindra tahu karena ada kamera yang dipasang dikamar tempatnya tadi.
Bukan tanpa alasan Bianca berpikir seperti itu karena dirinya pernah mendapat customer yang diam-diam menaruh kamera untuk merekam sesi bercinta mereka.
"Jeli juga penglihatan lo," balas Bianca sewot.
Setelah mengatakan itu, pintu lift terbuka. Bianca langsung keluar tanpa mengatakan apapun lagi. Tapi baru dua langkah, tangannya dicekal. Ia menoleh, melihat Ravindra yang juga menatapnya.
"Elo mau apa megang tangan gue?" tanya Bianca ketus.
Sikapnya memang tidak akan pernah ramah pada siapapun. Ia selalu menunjukkan cakar dan taringnya. Tidak peduli seberapa penting pria yang ia layani. Bahkan dengan Sarah, mami di club tempatnya bekerja saja Bianca tidak pernah sopan.
"Minta nomor," kata Ravindra. Pria itu menyerahkan ponsel. "Kali aja aku mau makek kamu."
Semua pria memang sama saja. Mendekati wanita sexy hanya untuk kepuasan nafsu.
"Gue mahal."
Ravindra mengangguk. Uang bukan masalah. Ia bisa memberikan berapa pun yang wanita itu minta.
"Mahalnya seberapa? Mau ditransfer sekarang? Berapa? Seratus juta? Eh, kemahalan ya segitu?"
Bianca mendengus kasar. Sudah biasa diremehkan seperti ini. Ia tidak merasa harga dirinya diinjak-injak. Tapi hatinya tetap merasa kesal karena tubuhnya yang sudah lelah dan mau tidur secepatnya, harus terkendala oleh pria asing yang hanya mampu menyebutkan angka seratus juta untuk dirinya.