Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Kenapa harus secepat ini? Kenapa kau datang jika harus pergi? Kenapa kau datang dengan seribu tawa dan pergi dengan meninggalkan seribu luka? Kau tahu semua tentang diriku tanpa aku tahu sedikit pun tentangmu.."
Setiap orang pasti memiliki garis takdirnya masing-masing, karena kita di sini hanya seorang tokoh utama dalam sebuah kehidupan yang sekali dengan mengikuti skenario garis takdir tuhan yang telah dicacat 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Mungkin ini hanya sekedar kisah klasik, sebuah cerita tentang kehidupan gadis manja yang dituntut untuk hidup mandiri dan harus mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri.
Dan jika doa dapat mengubah sebuah takdir maka semoga garis takdirku lebih baik dari sekedar khayal dan anganku dan jika tidak seperti khayal dan anganku maka semoga diriku diberi keikhlasan dan kesabaran dalam menerima semua ketetapan Rabb-ku. Begitulah doanya seorang Adinda Nurul Alyaa, dan Ini adalah sebuah kisah tentang perjalanan hidup yang tak selalu berjalan secantik wajahnya.
Tentang sebuah kesabaran, keikhlasan, dan Pengorbanan. Tentang ketulusan cinta seorang Adinda. Tentang seorang wanita yang berusaha melupakan masa lalunya. Tentang harapan sebuah percintaan seperti kisah cinta berbalas ibunda Khadijah. Walaupun dia tahu, dirinya tak semulia beliau, namun dia hanya ingin menjadi satu-satunya istri seperti, Khadijah disisi Baginda Nabi Muhammad Shalallahu'Alaihi Wassalam.
Karena dirinya yang dulu berusaha mencintai seseorang layaknya kisah cinta mulia antara Ali dan Fatimah. namun, apa daya dirinya tak pandai mencintai, layaknya Fathimah yang mencintai Ali dalam diamnya. Karena sesungguhnya, itu sangat sulit lagi berat, dan pada akhirnya dia harus terluka dalam diam pula.
Wanita ini yang bernama asli Adinda Nurul Alyaa, biasa disebut dengan Dinda oleh sanak keluarganya dan terdekatnya, dan dia lebih sering menyebut dirinya Alyaa di hadapan teman-temannya. Memiliki kulit putih, bertubuh mungil, dengan berlesung pipi yang menambah kemanisan di wajahnya. Gadis cantik ini sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren karena perintah orang tuanya, dia tidak akan pernah membantah perintah yang keduanya pinta. Termasuk dia rela mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang telah orang tuanya pilih. Belum lagi dia memiliki trauma akan cinta dan tidak ingin dibuat sakit dan kecewa untuk kedua kalinya, akankah pria itu bisa mengobati rasa traumanya itu?
Dan lagi dengan kondisi penyakit yang dideritanya, membuatnya terasa tak pantas bersanding dengan seorang pria bernama asli Muhammad Haikal Reyhan lulusan S2 jurusan Ekonomi Syariah, yang ternyata masih teman masa kecilnya, Reyhan memiliki seorang sahabat bernama Sarah Ahmad At-Tamimi yang berbasis seorang dokter spesialis saraf, yang di mana sedari kecil mereka selalu bersama, jadi tidak menutup kemungkinan dulu kedua saling menyimpan rasa.
Di saat semua berjalan lancar dan Ketika dia sudah mengikhlaskan diri, cobaan kembali hadir, mereka harus kembali berpisah karena suatu hal yang membuat Dinda melupakan segalanya. Namun Dinda selalu yakin sejauh apa pun jodoh berpisah, jika garis takdir mereka bersatu maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah mereka akan kembali bertemu. Sekalipun ingatannya terhapus tapi hati mereka akan kembali bertemu dalam ikatan Garis Takdir Sang Kholiq.
"Bismillah, aku yakin ini garis takdirku!"
🕊️🕊️🕊️
Dinda POV.
"Ada Alya di sini?" Tanya seorang wanita berkacamata, berkulit sawo matang, bertubuh kurus dan tinggi.
"Iya, ada aku di sini, ada apa?" tanyaku kembali yang sedang fokus menatap layar tipis berbentuk persegi empat yang terdapat mesin ketiknya. Dan terdapat berbagai macam dokumen penting.
Sebelumnya, perkenalkan namaku Adinda Nurul Alyaa, biasanya aku lebih sering dipanggil Alya oleh teman-temanku dan sebutan Dinda oleh orang-orang terdekatku. Kata orang diriku cantik dengan kulit yang putih kemerahan dan tubuh yang bisa dibilang ideal untuk anak seusiaku, namun aku tidak merasa demikian. Umurku menginjak ke-17 tahun, pada setengah tahun yang lalu.
Sekarang, aku berstatus sebagai seorang santriwati disalah satu sekolah berbasis boarding school atau yang lebih lumrah dengan sebutan pondok pesantren atau sekolah asrama yang dipisahkan gedung sekolah antara wanita dan laki-lakinya, atau di sini biasa disebut dengan Akhwat dan Ikhwan. Sudah hampir menginjak tahun ke-6 aku berada di sini, rasanya senang sekali hanya dengan hitungan bulan masa belajarku akan segera berakhir.
Dan yang tadi memanggilku dia bernama Zahra, salah satu sahabatku semenjak SMP. Bernama asli Zahra Aulia teman satu asrama denganku dia seorang Ketua OSIS di sekolahku sekaligus menjadi ketua kamar ini dan sahabat baikku. Dan aku adalah sekretarisnya, yang entah mengapa dia bisa memilihku jujur padahal sifatku lebih ke pemalas, berantakan dan tidak suka aturan.
"Tadi, bunda kamu mau telepon katanya penting," ujarnya sambil memberikan ponsel kecil. jangankan untuk membuka Instagram ataupun Facebook, WhatsApp saja tidak bisa. ini hannyalah ponsel yang dapat di gunakan sekedar untuk telepon dan bertukar pesan.
Detakkan jantungku semakin cepat tidak biasanya bunda meneleponku kecuali waktu jadwalnya, ya kami para santri diberikan jatah sekali dalam seminggu untuk bertelekomunikasi dengan keluarga sekedar melepas rindu. Dengan gugup serta terheran aku mulai meraih ponsel itu. Menutup aplikasi yang sedang aku buka. Dan mengangkat sambungan itu dengan menekan tombol disisi kirinya.
"Assalamualaikum bun, ada apa?" Tanyaku gugup sambil menggigit bibir bawah.
"Waalaikumsalam Din, bunda cuman mau tanya, kamu pulang tanggal berapa, Nak?" suara yang penuh kelembutan itu mulai mengawali bertanya.
"Dinda belum tahu bun, mungkin sekitar 2 minggu lagi. Tapi Ayah bisa jemput kan, Bun?" Aku semakin gugup sambil meremas ujung hijauku, menunggu jawaban dari seberang sana.
"Maafkan ayahmu, Nak. Dia belum bisa jemput kamu," suara itu terdengar lirih ditelingaku membuat nafasku tersendat, Inilah jawaban yang tidak pernah ingin kudengar sekian kalinya, ayah adalah seorang pegawai kantor yang lebih sering berada di luar rumah dan sering bepergian ke luar kota, sehingga ayah sering tidak bisa menjemputku dengan alasan tersebut.
Aku semakin meremas ujung hijabku, menggigit bibir bawahku, dan berharap ini hannyalah mimpi. Kenapa ayah begitu tega kepadaku? Ah.. air mata ini, aku harus kuat di depan bunda!