Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
You Have Me

You Have Me

Vin Shine

5.0
Komentar
201
Penayangan
50
Bab

Bagi Audrey, cinta itu bullshit! Dia yang dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja sebagai pekerja seks komersial, tanpa adanya figur seorang ayah membuatnya tidak percaya dengan segala hal yang berhubungan dengan hati. Lebih baik bekerja dan menabung untuk hari tua daripada repot-repot mengurusi masalah percintaan. Namun, di tengah kegigihannya mengumpulkan uang, sebuah syarat agar keinginannya terpenuhi tiba-tiba terlontar dari mulut sang ibu. "Menikahlah dengan anak orang kaya dan buat hidup Mama makmur, maka Mama akan keluar dari rumah bordil seperti yang kamu inginkan selama ini." Apakah Audrey akan menuruti keinginan sang ibu? Atau justru tetap pada pendiriannya untuk melajang hingga tua?

Bab 1 Arti Pernikahan

"Apa arti pernikahan menurutmu?"

Audrey mengangkat wajahnya. Hari masih pagi, jam kantor baru akan dimulai sepuluh menit lagi, tapi pria dengan rambut bergelombang di hadapannya sukses membuat mulutnya ternganga.

"Apa cuti terlalu lama membuat otakmu lamban?"

Perempuan itu mengerjap-ngerjapkan mata sementara hatinya menggeram kesal. Seandainya pria yang masih melayangkan tatapan tajam bukan bosnya, sudah ia pelototi balik agar tahu rasa.

"Audrey!" sentak Marshall kesal lantaran sekretarisnya belum juga memberikan respons.

"Eee ... itu. Tadi Bos tanya apa? Maaf saya kurang jelas mendengarnya." Audrey menundukkan kepala seraya menggigit bibir bawahnya.

Decak kesal disusul kedua tangan berkacak pinggang menjadikan Marshall terlihat sangat arogan saat ini. "Saya tanya, apa arti pernikahan menurutmu?" ulang pria itu dengan sedikit penekanan pada setiap katanya.

"Mencari keuntungan?" jawab Audrey. Ia sendiri tak yakin mengingat setiap hari waktunya habis untuk bekerja dan memikirkan cara melunasi hutang ibunya. Di sisi lain, menikah juga tidak ada dalam kamus hidupnya, jadi untuk apa dia repot-repot memikirkan masalah itu.

Sebelah alis Marshall terangkat. Mata coklatnya makin mengintimidasi perempuan yang setahun terakhir bekerja padanya, sedangkan posisi tangannya sudah berganti menjadi bersedekap. "Maksudnya?"

Mulut Audrey sudah terbuka, siap meluncurkan kalimat untuk menjelaskan perkataannya tadi. Namun, sebelum itu terlaksana, Marshall lebih dulu menempelkan telunjuknya di bibir.

"Sst! Sebelum berbicara panjang lebar, lebih baik kamu buatkan kopi untuk saya terlebih dahulu. Tidak sopan sekali membiarkan bos berdiri, tapi sendirinya tetap duduk," kata Marshall, kemudian berlalu.

Begitu pintu ruangan atasannya tertutup rapat, Audrey menutup mulut agar tawanya tidak terdengar sampai ke dalam. Perempuan itu lantas bergegas menuju pantry untuk membuatkan kopi hitam dengan sedikit gula seperti biasanya.

Siap dengan minuman berwarna hitam pekat itu, Audrey yang kini sudah berdiri di depan ruangan bertuliskan "Chief Operating Officer" pun mengetuk pintu berwarna coklat di hadapannya. Ketika perintah untuk masuk terdengar, ia pun mengayunkan pintu tersebut. Dengan penuh hati-hati Audrey membawa dan menaruh minuman di nampan ke hadapan pria yang sedang duduk di sofa dengan salah satu kaki ditumpangkan ke paha satunya. Jika sudah begini, tandanya bosnya sedang ada masalah yang cukup berat.

Diiringi embusan napas kasar Marshall menurunkan kaki dan menegakkan tubuhnya. Diraihnya cangkir keramik yang ia beli langsung sewaktu liburan ke China tahun lalu, kemudian disesapnya minuman pahit itu.

Marshall berdeham rendah, lalu bertanya, "Apa maksudmu mencari keuntungan?"

"Banyak orang menikah karena mereka saling mencintai, tapi dibandingkan itu, menurut saya jauh lebih banyak orang yang menggunakan pernikahan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan lebih, tanpa harus mengorbankan banyak hal," jawab Audrey. Sorot matanya menajam, seperti ada maksud lain yang ingin disampaikan perempuan itu.

Marshall tertegun memandang sekretarisnya. Belum pernah ia melihat Audrey menampilkan ekspresi semacam itu mau sekesal apapun perempuan itu padanya. "Drey?" panggilnya melihat Audrey melamun.

"Audrey! Apa kamu perlu ke dokter THT sekarang juga?" tanya Marshall lagi. Nada bicaranya naik setengah oktaf dan cukup berhasil membuat kesadaran Audrey kembali.

"Y-ya, Bos?" Audrey menelan ludah menyadari kesalahannya. Kepalanya tertunduk, pegangannya pada nampan dalam pelukannya makin erat. "Maaf, saya-"

"Kurang jelas mendengarnya?" potong Marshall sinis. Pria itu beranjak dari duduknya. Raut masam menghiasi wajah pria berdarah Amerika yang kini berdiri di depan jendela menatap jalanan yang tak pernah sepi di bawah sana. "Saya disuruh menikah," katanya.

Ingatan Marshall kembali pada momen sarapan bersama orang tuanya satu jam yang lalu.

"Kau tahu kondisi saat ini sedang memanas, 'kan?" tanya Anthony memastikan.

Marshall mengangguk. Tidak salah lagi, ayahnya pasti sedang membicarakan dewan direksi yang saling menusuk dari belakang untuk memperkuat posisi masing-masing.

"Untuk mempertahankan posisi kita, sebagai penerus kau harus menikah."

"Apa?" Marshall mengurungkan tangannya yang hendak meraih secangkir kopi.

Suasana ruang makan bergaya skandinavian itu mendadak tegang. Melihat Anthony sudah menyingkirkan sarapannya dan menyilangkan kedua tangan di dada, dapat dipastikan kalau pembicaraan ini akan berbuntut panjang.

"Menikah dan melakukan kerjasama antar dua perusahaan adalah cara paling mudah untuk mendapatkan power lebih."

"Jangan bercanda, Dad. Di antara yang lain, posisi kita yang paling kuat. Jadi, pernikahan bukanlah hal yang harus kulakukan. Pernikahan bisnis lebih tepatnya." Marshall tersenyum menyeringai. Sebab, selain menjabat sebagai CEO, ayahnya adalah salah satu komisaris perusahaan. "Kecuali, Daddy memiliki maksud lain," lanjutnya menyelidik.

Pandangan Anthony sontak tertuju kepada istrinya. Kening Ivanka sedikit berkerut. Raut wajahnya menunjukkan kekesalan lantaran putranya dengan sangat mudah membaca ke mana obrolan ini akan bermuara.

Tak mau membuang-buang waktu, Ivanka pun langsung berbicara ke intinya. "Kami ingin kamu menikah. Tidak! Kamu harus menikah!"

Marshall menghela napas panjang. Entah gerangan apa yang membuat ibunya akhir-akhir ini hobi membahas pernikahan. Apapun itu, dia sungguh tidak menyukainya. "Tanpa disuruh aku juga akan menikah kalau sudah menemukan wanita yang dirasa tepat."

"Jika tidak?" tanya sang ayah tak puas dengan jawaban putranya.

"Ya, tidak menikah." Marshall mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Sesuatu yang dipaksakan akan berakhir buruk. Lagi pula, untuk apa menikah kalau ujung-ujungnya bercerai. Aku tidak mau menghabiskan waktuku dengan orang yang salah. Mommy dan Daddy tidak usah khawatir, selama ini aku juga berusaha mencari pendampingku," imbuhnya tak lagi berselera menyantap sarapannya.

Marshall bangkit dari duduknya. Dipakainya jas warna hitam yang tadi disampirkan pada sandaran kursi setelah meneguk segelas air putih.

"Kamu terlalu sibuk mencari sampai tidak sadar jika di dekatmu juga ada perempuan yang menarik," ucap Anthony menggagalkan Marshall yang hendak melangkah.

Pria bertubuh jangkung itu memutar tubuhnya, kembali menghadap sang ayah. "Siapa perempuan yang Daddy maksud?"

"Davina," sahut sang ibu.

Tawa renyah Marshall pecah seketika. Apakah orang tuanya mantan pelawak sehingga pagi-pagi begini sudah membuat lelucon. Bagaimana bisa perempuan yang selama ini dianggapnya adik, tiba-tiba ia dekati untuk dijadikan calon istri.

"Davina itu sama seperti Moselle. Mereka adikku," ucap Marshall dengan sisa tawa di wajahnya.

"Kau tidak ada hubungan darah dengannya. Tidak masalah jika kalian menikah."

Marshall mengusap wajahnya, lalu terkekeh-kekeh hingga paras rupawannya memerah. "Apa Daddy sudah lupa kalau Davina anaknya Jose, orang yang Daddy benci?" tanyanya tak habis pikir.

Setelah memutuskan untuk menetap di Indonesia lima tahun yang lalu, Marshall sadar betul kalau hubungan keluarganya sangatlah rumit. Ayahnya yang memiliki anak dari mantan pacarnya, Emily, yang mana anak itu adalah Moselle, sedangkan dirinya adalah anak dari ibunya dengan mantan kekasihnya yang bernama Peter. Sementara Davina sendiri, dia adalah anak Emily dengan mantan suaminya, Jose.

"Itu dulu. Keadaan sekarang sudah berbeda," jawab Anthony tak suka masa lalunya diungkit-ungkit. Dia yang hampir menghabisi nyawa putrinya adalah hal yang paling ia sesali seumur hidupnya. Tak peduli Moselle sudah memaafkan dan hubungan mereka berubah layaknya ayah dan anak pada umumnya, hingga detik ini Anthony tidak bisa memaafkan dirinya setiap mengingat kejadian itu.

"Ya, ya." Marshall mengangguk-angguk.

"Jadi, kamu setuju, Son?" tanya Ivanka penuh harap.

"Tidak!" jawab Marshall sontak meredupkan binar di wajah ibunya.

"Kenapa? Davina gadis yang baik. Dia manis, lembut, dan menggemaskan."

"Justru karena hal yang Mommy sebutkan itu yang membuatku tidak mungkin dengannya. Pria sepertiku butuh seorang wanita yang tegas dan punya prinsip kuat, bukan perempuan manja dan labil seperti Davina," aku Marshall terang-terangan.

Ivanka memijit pelipisnya yang mendadak pening. Menyerah! Dari dulu dia memang tidak bisa memaksa Marshall untuk melakukan seperti apa yang diinginkannya. Putranya itu selalu mempunyai pilihan sendiri. Namun, Ivanka bangga sebab selalu ada alasan kuat dibalik setiap keputusan yang Marshall ambil.

"Seandainya benar menikah, setidaknya aku ingin memiliki istri seperti Moselle." Marshall menyunggingkan segaris senyum. Berbanding terbalik dengan ayahnya yang kontan melayangkan tatapan curiga.

"Apa maksudmu? Kau tidak menyukai Moselle, 'kan?"

"Tentu saja tidak!" sanggah Marshall cepat. "Aku bilang seperti, bukan berarti perempuan itu Moselle. Aku juga masih waras untuk tidak menginginkan istri sahabatku." Pria itu bersungut-sungut.

Anthony dan Ivanka pun bernapas lega. "Kalau begitu segeralah cari wanita yang menurutmu tepat atau setengah dari apa yang menjadi hakmu akan Daddy berikan kepada Miguel."

"APA?" Marshall tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

Giliran Anthony yang terkekeh. "Kamu tidak terima? Daddy pikir pria yang melajang seumur hidupnya tidak membutuhkan biaya banyak. Kau juga masih bisa bekerja untuk menghidupi dirimu sendiri. Melihatmu masih suka mabuk-mabukan, Daddy tak yakin kau akan berumur panjang. Jadi, tidak masalah 'kan kalau kamu berbagi dengan keponakan kesayanganmu itu?" Pria yang rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban itu tersenyum mengejek melihat urat-urat di leher putranya seketika menonjol.

Kedua tangan Marshall sudah mengepal. Dia tahu ayahnya sedang bermain-main, tapi sampai membawa-bawa harta? Ini benar-benar tidak lucu. Camkan itu!

"Aku berangkat," kata Marshall tak ingin bertambah pusing. Ia mengeluarkan kunci mobil dari saku celana, dan melangkahkan kakinya keluar rumah.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku