Cinta yang Tersulut Kembali
Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Chintya Aryanto menuju ke ruang kelas perkuliahan dengan langkah gontai. Ketika sampai dalam kelas, Ibu Darmayanti, dosen matakuliah Pengantar Ekonomi Makro menyambut dengan nada sinis, “selamat sore,” diikuti dengan gelak tawa mahasiswa dalam kelas tersebut. Seolah sudah terbiasa dengan perlakuan tersebut, Chintya dengan cuek langsung menuju ke tempat duduk kosong di pojok kanan belakang kelas. Hari ini adalah hari pertama perkuliahan semester genap di Universitas Merah Putih Jakarta.
Namun Chintya, salah satu mahasiswi Jurusan Ekonomi-Akuntansi yang kini menjajaki semester kedua perkuliahan sudah datang terlambat selama 60 menit. Pantas saja dosen bersikap ketus padanya. Selama perkuliahan pun, Chintya nampak tidak mempedulikan kicauan Ibu Darmayanti yang menyerukan permasalahan ekonomi makro. Chintya malah asyik menggambar-gambar dengan pensil 2B yang menari-nari di atas kertas A4. Tidak terasa, jam akhirnya berputar sampai pukul 09.00 WIB. “Sekian materi saya hari ini, sampai jumpa di pertemuan berikutnya,” kata Ibu Darmayanti mengakhiri perkuliahannya. “Yes,” seru Chintya dalam hati sambil merapikan mejanya dan segera menuju perpustakaan.
Perpustakaan Universitas Merah Putih tergolong elite. Buku-bukunya lengkap, tersedia fasilitas wifi, dan ruangannya besar. Namun, bukan hal-hal tersebut yang membuat Chintya suka menghabiskan waktunya di tempat ini. Yang paling membuat Chintya betah adalah adanya kafe dalam perpustakaan ini. Selain dapat makan dan minum dengan leluasa, di kafe perpus terdapat meja yang ukurannya cukup untuk meletakkan kertas gambar berukuran A3. Chintya memang mempunyai hobi menggambar. Melukis, desain, sketsa, dan karikatur adalah dunianya. Bahkan setelah lulus SMA, Chintya sebenarnya ingin mengambil perkuliahan desain grafis namun tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya. Maklum, Chintya adalah anak tunggal sehingga kedua orang tuanya begitu protektif terhadap dirinya. Menurut kedua orang tua Chintya, menggambar atau melukis bukanlah kegiatan yang akan menjadikan masa depan anak semata wayangnya menjadi cerah. Sungguh pandangan yang kolot! Namun apa boleh buat. Chintya pun tidak mampu menentang keinginan orang tuanya yang menghendakinya menjadi pengusaha atau bussiness woman. Maka dari itu, Chintya mencemplungkan dirinya ke perkuliahan Akuntansi, dunia yang sungguh tidak dikehendakinya! Ya, itulah alasan mengapa Chintya ogah-ogahan dalam menjalani perkuliahannya. Menekuni suatu bidang yang tidak kita minati sungguh merupakan siksaan batin. Perpus kafe menjadi saksi bisu kehidupan dewasa awal Chintya.
“Self assessment system adalah sistem perhitungan pajak dalam suatu negara dimana besaran pajak di hitung sendiri sedangkan official assessment system adalah perhitungan pajak oleh pihak fiscus,” terang Pak Martin, dosen matakuliah Perpajakan yang sedang mengajar. Tiba-tiba pintu kelas terbuka dan Chintya masuk dengan kepala menunduk. “Kok jam segini baru datang?” Pak Martin bertanya sambil melihat jam tangannya yang menjelaskan bahwa mahasiswa ini sudah terlambat selama 55 menit. “Iya, maaf pak,” jawab Chintya tanpa memberikan keterangan lebih lanjut dan langsung mencari tempat duduk. “Namanya juga ‘Princess of Late’ gitu lho, kalau datengnya on time, bisa-bisa matahari terbit dari barat,” celetuk salah seorang mahasiswi bernama Merry diikuti gelak tawa satu ruang kelas kecuali Pak Martin dan si subyek penderita, Chintya. Sejak semester satu, Chintya selalu datang terlambat ke kelas. Dulu, ia hanya terlambat sekitar 30 menit. Di semester ini lebih parah, keterlambatannya sampai satu jam! Hingga teman-teman sekelasnya memberikannya julukan sebagai ‘Princess of Late’ alias tuan puteri yang suka terlambat. “Sekarang kita akan mempelajari teori asas pemungutan pajak,” Pak Martin lanjut mengajar setelah suara tawa reda.
“Duh, perpajakan apa sih, bikin pusing aja,” dumel Chintya dalam hati sambil melangkah ke kafe perpus seusai kuliah Perpajakan. Sesampainya di tempat favoritnya, Chintya memesan coklat panas dan mulai melakukan ritualnya. Pensil 2B-nya bergerak di atas kertas A3 menggoreskan Doraemon dan kawan-kawannya yang sedang terbang dengan baling-baling bambu. Entah mengapa, ia tiba-tiba saja merindukan masa kanak-kanaknya sehingga dituangkannya itu lewat kartun favoritnya semasa kecil. Pak Martin adalah dosen baru di Jurusan Akuntansi Universitas Merah Putih dan kali ini beliau mencoba mengunjungi kafe perpus. Setelah memesan roti bakar keju, ia mencari tempat duduk dan dilihatnyalah sosok yang tidak asing lagi. Ia melihat seorang gadis manis berambut panjang dan rambutnya itu dimasukkan dalam lubang belakang topi berlidah. Dialah Chintya dengan gaya khasnya setiap ke kampus. “Halo. Kamu mahasiswa saya kan? Boleh saya duduk di sini?” Pak Martin menyapa Chintya sembari meminta izin duduk semeja dengannya. “Iya pak. Boleh pak. Silakan,” jawab Chintya. “Oh, ternyata kamu suka menggambar ya? Bagus ya gambar kamu,” puji Pak Martin ketika melihat sketsa gambar Chintya. “Terima kasih pak,” jawab Chintya sambil tersenyum. “Kenapa kamu gak ambil jurusan desain grafis aja? Kayaknya kamu berbakat deh,” Pak Martin lanjut bertanya. “Iya, maunya sih gitu pak. Tapi gak boleh sama orang tua saya,” jawab Chintya dengan raut wajah agak sedih. “Oh, begitu, tanggap Pak Martin singkat.
Seminggu kemudian, jurusan akuntansi semester kedua kembali mendapatkan matakuliah Perpajakan. Kedatangan Pak Martin sudah dinanti-nantikan oleh para mahasiswi. Bagaimana tidak, Pak Martin adalah sosok dosen muda berumur 31 tahun yang wajahnya tampan, perawakannya tinggi, dan masih lajang. Kriteria terakhir itulah yang membuat para mahasiswi tambah antusias. Bahkan personal genk Sweety Girls, genk terpopuler di jurusan akuntansi, yang beranggotakan Merry, Kirana, dan Santy rela berdandan habis-habisan dan membeli pakaian baru untuk menghadiri kuliah Perpajakan. Wow! “Untuk minggu depan, kalian akan saya berikan tugas untuk merangkum materi yang telah kita pelajari selama dua minggu ini. Tugasnya di buat dalam kelompok yang beranggotakan empat sampai lima orang,” jelas Pak Martin. Para mahasiswa segera membagi dirinya dalam kelompok. Kemudian Cindy, sang komti kelas segera menyerahkan kertas berisi daftar kelompok kepada Pak Martin. “Semuanya sudah dapat kelompok ya,” Pak Martin memastikan. “Palingan Chintya tuh yang belum dapet, biasaaa,” ujar Santy. “Maklum pak, anak yang gak mau bergaul, di kelas kerjaannya gambar-gambar aja, IP-nya bottom five di jurusan,” Kirana memberi penjelasan mewakili kenyataan. Pak Martin melihat ke kertas yang sedang dipegangnya dan tidak ditemukan nama Chintya. “Chintya, kamu gabung ke kelompoknya Cindy ya,” Pak Martin memutuskan.
Pada jam istirahat, Chintya dan Pak Martin bertemu kembali di kafe perpus seperti sebelumnya. Pertemuan ini tidak direncanakan, tanpa janji, namun mereka bertemu bak jodoh! “Kamu suka kemari ya?” Tanya Pak Martin. “Iya pak, ini tempat favorit saya. Kalau ada jeda kuliah, saya pasti ke sini. Bapak juga suka tempat ini?” Chintya balik bertanya. “Roti bakar di sini enak, makanya saya balik lagi, hehehe,” jawab Pak Martin. “Sori nie, kok saya liat, kamu kuliah kaya gak niat gitu? Kasian lho orang tua kamu yang udah biayain kuliah kamu mahal-mahal,” ucap Pak Martin. “Aduh… gimana yaa,” Chintya kebingungan menjawab pertanyaan Pak Martin. Ia nampak mempunyai jawaban yang kuat untuk pertanyaan tersebut namun sulit sekali dijelaskan. Pak Martin dapat membaca situasi ini maka ia berkata, “Udah gak usah di jawab kalau gak bisa di jawab. Yang jelas saya punya tawaran buat kamu.” “Tawaran apa pak?” Tanya Chintya penasaran. “Saya bisa bantu kamu supaya enjoy dalam kuliah dan mungkin ke depannya IP kamu ikut membaik. Saya dengar-dengar, IP kamu kurang baik kan?” Ujar Pak Martin. “Iya sih pak, IP saya gak bagus. Oh ya? Kita kan baru kenal pak, kok bapak baik banget sama saya sampe nawarin bantuan seperti itu?” Tanya Chintya heran. “Yaa… karena kamu cantik,” kata Pak Martin cuek. “Hahahaa… gak kok, saya bercanda tadi. Saya kan dosen kamu. Yah sebagai tanggung jawab moral aja,” sambungnya santai. “Bapak mau ajarin saya tentang matakuliah? Hmm…, boleh deh,” jawab Chintya. “Oke, kalau begitu, kita ketemuan ya setiap hari Kamis selesai kamu kuliah di tempat ini,” balas Pak Martin.