Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri rahasia Dosen dingin

Istri rahasia Dosen dingin

Eka Budi

5.0
Komentar
10.1K
Penayangan
80
Bab

Kayra adalah mahasiswi tingkat pertama yang punya pekerjaan sampingan di klub malam. Ia menari pole dance untuk menghidupi dirinya sendiri juga membayar kuliah. Sayabg, rahasia gelap yang tertutup rapat selama bertahun-tahun itu dihancurkan oleh Alvin--dosen tampan yang dikenal dingin di kampusnya. Kayra dipaksa untuk memilih antara keluar dari kampus atau menjadi boneka Alvin selama setahun penuh. Kayra dinikahi hanya untuk dijadikan pengganti mantannya yang telah mati. Bukan karena susah move on dari cinta, tapi untuk balas dendam karena pernah dikhianati diam-diam. -- Aku menikahinya bukan untuk berbagi hal intim, tapi menjebaknya dalam hubungan toxic. Aku akan melampiaskan seluruh hasratku dalam satu tahun, lalu pergi tanpa meninggalkan kenangan apapun. --Alvin. __ Aku akan mengikatmu seumur hidup. Menjadikanmu budak dan pengemis cintaku. Vin, kamu memilih wanita yang salah. --Kayra.

Bab 1 Rahasia terbesar

Laki-laki yang tengah duduk tenang di depan kelas itu adalah Alvin-dosen umur tiga puluhan dengan wajah tirus dan bibir sensual. Tingginya seratus delapan puluh lebih, berambut hitam legam dengan hidung mancung yang menyangga kaca mata hitam. Sudah setengah jam berlalu sejak ia memberi tugas, tapi sosoknya tidak juga bergeming-masih sibuk dengan isi laptopnya sendiri. kebiasaannya memang begitu, suka membuang waktu di kelas sebelum mahasiswanya bertanya lebih dulu.

Aku Kayra, mahasiswi tahun pertama sekaligus penganggum rahasianya. Bisa dibilang tidak ada yang tahu tentang perasaanku. Selain tertutup, aku introvent. Tidak nyaman bergaul dengan siapapun. Keseharianku hanya berangkat ke kampus lalu pulang. Jangankan ikut organisasi, kadang kalau ada tugas berkelompok, aku lebih suka mengerjakan bagianku sendiri lalu dikumpulkan setelahnya. Semua itu untuk menghindari diskusi langsung dengan orang lain.

"Kayra, temui saya setelah kelas terakhir."

Dosen Alvin mendekati mejaku sebelum keluar kelas siang itu. Sosok tingginya berlalu sembari mengucapkan salam pada yang lain.

Aku cukup terkejut mengingat kami hampir tidak pernah bicara satu sama lain. hal itu tentu saja memancing perhatian. Terutama dari anggota kelompokku.

"Pasti ada masalah di tugasmu," celetuk Bintang, menatapku penuh tuduhan.

"Bisa jadi bagianmu keliru. Kami kan sudah bilang harusnya kamu ikut diskusi langsung walau hanya satu kali." Yang lain ikut menimpali. Saling tatap sebelum mengangguk lagi.

Mereka terkesan menyalahkan, tapi aku enggan menimpali. Jika benar, wajar saja kalau mereka kesal. Satu anggota membuat salah, semua akan kena imbasnya.

Tiga jam setelah kelas terakhirku, aku menemui dosen Alvin di ruangannya. Waktu itu jam empat sore, mata kuliah sebagian mahasiswa sudah selesai. Lorong menuju kantor dosen cukup sepi. Aku hanya melihat petugas kebersihan juga beberapa mahasiswa yang sibuk dengan organisasi dalam kampus. Kalau dipikir-pikir, ini adalah pertama kalinya aku ke sana seorang diri.

"Masuk."

Suara berat dosen Alvin terdengar dari luar saat aku mengetuk pintu. Di kantor itu benar-benar hanya dia. Semua sudah pulang karena ini memang akhir pekan. Aku merasa canggung karena tidak ada orang selain kami. Apalagi suasana cukup remang dengan lampu kecil di tiap meter atap. Ditambah cahaya sore tidak bisa masuk karea terhalang dedaunan pohon.

"Duduk, sudah lama saya ingin bicara denganmu," katanya melepas kaca mata yang sejak tadi bertengger di hidung.

Diam-diam aku menelan ludah, membayangkan bagaimana rasanya menyentuh tulang hidung yang mirip perosotan itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau dosen Alvin menjadi role model mahasiswinya. Andai sikapnya tidak terlalu kaku, sudah bisa dipastikan ia akan jauh lebih populer. Sayangnya dosen Alvin mirip denganku. Ia terlihat dingin, jarang tersenyum dan suka menyendiri. Terbukti saat ada acara kampus, duduknya selalu paling belakang.

"Maaf pak, apa ada kesalahan di tugas saya?" tanyaku khawatir. Sebagai penerima bea siswa, aku tidak bisa mengabaikan nilai akademik.

"Begini Kayra, ini bukan tentang kuliah." Ia bergumam lalu tiba-tiba saja menatapku lurus.

Dipandang begitu, jantungku langsung berdegup kencang, antara khawatir juga malu.

"Lalu tentang apa, pak?" tanyaku penasaran.

Apa aku membuat kesalahan? Tapi dibanding mahasiswa lain, nilai juga sikapku cukup baik. Bahkan jauh di atas mereka.

"Kay, kamu punya pacar?"

"Ha?" ucapku tak sengaja.

Omong kosong. Kenapa seorang Alvin bertanya hal pribadi pada gadis muram sepertiku? Batinku bingung. Kubalas tatapannya, mencari apa aku tengah dikerjai atau bagaimana.

"Tidak, pak. Saya tidak punya," jawabku buru-buru memperbaiki ucapanku. Sebisa mungkin aku mencoba berpikir positif.

Mungkin pertanyaan itu ada hubungannya dengan program bea siswa. Bisa jadi, pihak kampus lebih menyukai mahasiswa yang fokus kuliah. Tapi rupanya tebakanku salah.

"Ini kamu bukan?"

Saat sebuah foto dilempar ke atas meja, barulah wajahku langsung pucat pasi.

"Ini kamu?" dosen Alvin tidak lagi bertanya, tapi suaranya kini terdengar setengah menggertak. Belum pernah aku melihatnya menampakkan emosi yang begitu nyata. Sekalipun marah, ia selalu memberikan hukuman, bukan teriakan. Itulah kenapaa ia dijuluki dosen es.

"Bukan."

Kutatap foto gadis berpakaian minim yang tengah melakukan pole dance. Bagian atas terbuka dan bagian bawah hanya memakai dalaman saja.

Itu aku. Memang aku. Tapi pertanyaannya, bagaimana dia tahu? Pekerjaan sampingan di klub malam sudah tiga tahun kugeluti dan tidak pernah ketahuan. Aku bukan kekurangan uang, tapi memang menyukainya. Daripada bicara dan bergaul, aku lebih suka menari di atas panggung. Selain memakai riasan tebal, aku juga tidak pernah melupakan topeng. Harusnya di sini akulah yang curiga, bukan dia.

"Ini kamu. Saya tahu ini kamu."

Dosen Alvin menunjuk fotoku lagi sambil mengetuk meja, penuh emosi.

"Dia memakai topeng, wajahnya tidak terlihat." Aku yang tadinya takut-takut, memutuskan untuk menegakkan wajah. Selagi hanya tebakan, citraku sebagai mahasiswi introvent yang kuper tidak akan bisa digoyahkan. Aku butuh pekerjaan itu juga butuh pendidikan. Lagipula selama ini tugasku hanya menari pole, bukan striptis dance.

"Baiklah, sejak awal saya memang salah bicara soal ini di kampus. Tapi status kita berbeda saat di luar, apalagi di klub."

Jujur saja, itu sangat menganggu. Dosen yang tadinya adalah pemanis kekosonganku, kini berubah menjadi pengancam. Apapun alasannya, ia tidak berhak mendikteku.

"Saya pamit dulu. Semoga anda bisa meluruskan kesalahpahaman ini," ucapku buru-buru berdiri.

Hari sudah mulai sore dan tidak ada alasan untuk tetap tinggal karena pembicaraan kami mulai berantakan. Untung saja, dosen Alvin tidak mencegahku. Ia hanya diam dan menatapku dari tempatnya duduk.

Sialan. Di saat seperti ini aku masih bisa membayangkan hal gila. Kaki panjangnya itu akan sangat cocok untuk diduduki. Entahlah, mungkin karena terlalu lama mempertahankan keperawanan, aku jadi tidak bisa mengendalikan pemikiran liarku soal laki-laki. Tapi anehnya tidak semua, hanya Alvin saja yang menarik di mata.

Padahal harusnya aku panik, bukan malah bergairah sendiri. Jujur saja, Alvin tahu tentang pekerjaan sampinganku saja sudah aneh, apalagi bisa mengenaliku menggunakan topeng. Ada dua kemungkinan. Dia memergokiku keluar klub malam atau memang mengunjungi klub dewasa itu diam-diam.

Tidak kusangka, dia punya sisi gelap juga, batinku mengambil permen karet dari dalam tas. Apapun itu aku harus segera membereskannya. Bos di klub pasti akan membantuku dengan melarangnya masuk. Ya, semua bisa dibereskan hanya dengan itu. Popularitasku di sana sangat stabil dan membuat pemasukan besar. Kehilangan satu pelanggan pasti bisa dilakukan demi kelangsungan karirku.

Aku Kayra, mahasiswi dengan penampilan paling membosankan. Rambut panjang diikat tinggi, hodie besar berwarna senada dan sepatu kets putih. Tapi itu hanya berlaku di kampus. Di malam hari, aku menjelma menjadi Sally, pole dancer yang memanjakan mata lapar puluhan laki-laki. Aku hanya perlu tiga jam kerja untuk mendapat nominal satu bulan gaji pegawai pabrik.

Alasan kenapa aku ingin kuliah adalah pole dancer bukan pekerjaan terhormat. Begitu berumur, tubuhku tidak akan seindah dulu dan tentu saja pemilik klub akan membuangku. Jadi sebelum itu terjadi, aku harus membangun latar belakang agar nantinya bisa diterima bekerja kantoran.

Namun sialnya, rencanaku terhalang oleh Alvin. Dosen tampan itu harusnya menjadi patung pualam yang hidup untuk dikagumi saja, bukan malah menganggu kehidupan pribadi mahasiswanya. Selama tidak ketahuan, menjadi pole dancer atau ayam kampus, itu tidak akan merusak nama baik universitas.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Eka Budi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku