Pernikahan Paksa Dosen Killer

Pernikahan Paksa Dosen Killer

Adrian

5.0
Komentar
Penayangan
21
Bab

Aurelia Safira, cewek cantik yang udah 19 tahun tapi anehnya... belum pernah ngerasain jatuh cinta! Teman-temannya udah gemes banget dan terus-terusan ngejek, sampai akhirnya Lia yang udah frustasi nekat nerima tantangan gila dari mereka. Lia pergi ke sebuah tempat misterius yang belum pernah dia datangi. Apesnya, di sana dia malah ketemu cowok asing dan berakhir melakukan sesuatu yang nggak pernah dia bayangin bareng cowok itu. Di sisi lain, hidup Lia tiba-tiba jungkir balik. Dia dijodohin sama seorang cowok tampan, mapan, dan bikin merinding, namanya Darius Aksara. Siapa dia? Nggak lain nggak bukan, dosen killer Lia di kampus! Entah ini takdir sial atau malah beruntung, setelah menikah, hidup Lia yang tadinya adem ayem langsung penuh bahaya. Ternyata, si husband tercinta, Darius, punya profesi rahasia lain yang sangat, sangat berbahaya. Gimana nih nasib rumah tangga mereka setelah Lia tahu job asli Darius? Bakal kabur dan minta cerai, atau malah makin lengket?

Bab 1 si gadis yang tak pernah jatuh cinta

"Aduh, Lia! Lo itu kayak bidadari turun dari langit, tapi kenapa hatinya kayak batu es yang dibekuin di freezer 10 tahun, sih?"

Suara cempreng Rina, sahabat paling cerewet Aurelia Safira, langsung memenuhi sudut coffee shop yang lagi lumayan sepi itu. Di depan Lia, ada dua cewek lain, Shasa dan Dara, yang kompak ngangguk setuju sambil nyeruput iced latte mereka.

Lia, si empunya nama, cuma bisa mutar bola mata. Dia udah tahu banget ke mana arah pembicaraan ini. Lagi-lagi, topik tentang 'kebekuan hati' Lia. Gimana nggak beku? Sampai usianya menginjak 19 tahun-usia yang seharusnya lagi hot-hotnya ngerasain cinta monyet atau bahkan cinta serius-Lia itu zero. Nol besar. Nggak pernah naksir siapa-siapa, apalagi sampai jatuh cinta.

"Bisa nggak sih, sehari aja kita nggak bahas soal status jomblo abadi gue?" Lia menyandarkan punggungnya ke sofa kulit, memajukan bibir, ekspresinya murni bete. Dia cantik, beneran cantik parah. Kulitnya putih bersih, rambut hitam panjangnya ikal alami, dan matanya itu lho, kayak ada bintangnya. Cowok mana yang nggak nengok kalau dia lewat? Masalahnya, tatapan mata itu selalu datar kalau udah menyangkut urusan asmara.

Shasa, yang lebih bijak, mencoba menjelaskan. "Bukan gitu, Sayang. Kita gemes! Lo kuliah udah semester tiga. Sejuta cowok ganteng di kampus udah ngantri dari Maba sampai BEM, tapi lo tolak semua. Alasannya selalu sama: 'Gue nggak ada rasa.'"

"Ya, terus kenapa? Emang salah kalau gue nggak mau pacaran cuma buat ikut-ikutan tren?" Lia membela diri. Jauh di lubuk hatinya, dia memang merasa ada yang salah. Semua temannya heboh kalau udah bahas gebetan, crush, atau drama putus-nyambung. Lia? Dia cuma bisa dengerin, nggak pernah bisa ikutan ngerasain deg-degan atau sakit hati yang mereka ceritain. Rasanya kayak dia datang dari planet lain yang nggak punya gravitasi emosi.

Dara, yang biasanya pendiam, tiba-tiba pasang tampang serius. "Kita tahu lo nggak pernah jatuh cinta karena lo belum pernah beneran ngerasain momen 'terbang'. Lo terlalu jaga jarak, Lia. Lo harus take a risk."

Lia ketawa sinis. "Take a risk? Maksud lo, gue harus loncat dari lantai sepuluh?"

Rina, si biang kerok, langsung menjulurkan tangan ke tengah meja, menampakkan senyum iblisnya. Matanya berbinar penuh rencana jahat.

"Nggak perlu loncat dari gedung, Honey. Tapi, lo harus buktiin ke kita kalau lo bisa ngerasain sesuatu, minimal ketertarikan fisik yang gila, sekali aja. Atau lo selamanya bakal kita cap sebagai Ice Queen yang cuma peduli sama buku sama tugas."

"Gila, lo nantang gue?" Lia menantang balik, tapi ada sedikit rasa takut dan penasaran yang mulai merayap di dadanya.

Tantangan itu, singkatnya, adalah tentang sebuah tempat yang nggak sembarangan.

"Lo tahu 'Elysium', kan?" tanya Rina, suaranya pelan dan misterius, seperti menyebut nama dewa yang tersembunyi.

Lia mengernyit. Tentu dia tahu. Elysium bukan kelab biasa. Itu adalah private lounge super eksklusif di lantai paling atas gedung pencakar langit yang terkenal hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu-para pebisnis gila, seniman nyentrik, dan orang-orang super kaya yang nggak pengen diganggu. Tempat itu terkenal gelap, musiknya lembut tapi menggoda, dan katanya, di sana nggak ada aturan.

"Terus?" tanya Lia.

"Tantangannya gini. Malam minggu besok, lo datang sendirian ke sana. Lo harus dandan total, dress up yang paling gila yang lo punya. Dan lo harus bawa pulang cerita. Cerita kalau lo udah ngerasain sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat lo lupa diri. Sesuatu yang membuat lo ngerasa lo bukan lagi Lia yang kaku," jelas Rina, menekan kata 'sesuatu' dengan sangat ambigu.

Shasa menimpali, nadanya sedikit khawatir. "Lia, dengerin. Ini cuma tantangan buat unlock emosi lo, bukan buat nyari jodoh. Lo harus tunjukkin ke diri lo sendiri, lo itu cewek normal, bukan robot. Kalau lo nggak berani, kita nggak maksa, kok."

Gengsi Lia langsung naik sampai ubun-ubun. Dicap sebagai 'bukan cewek normal' gara-gara nggak bisa jatuh cinta? Nggak, itu nggak bisa dia terima. Dia bisa ngerasain emosi! Dia bisa marah, bisa sedih, bisa senang! Cuma urusan cinta aja yang jadi misteri buat dia.

"Oke. Deal," kata Lia cepat, suaranya mantap, meski tangannya di bawah meja udah dingin sedingin es. "Tapi denger ya, kalau gue berhasil, kalian nggak boleh bahas soal Ice Queen lagi selama setahun ke depan."

Rina, Shasa, dan Dara langsung bersorak kemenangan, seolah mereka baru aja berhasil menjual tiket ke neraka buat Lia.

Malam itu datang. Malam yang dijanjikan, malam yang ditakdirkan untuk mengubah segalanya dalam hidup Aurelia Safira.

Sejak sore, Lia udah kayak kesurupan. Dia bukan tipe cewek yang suka dandan menor atau pakai baju seksi. Paling pol, dia cuma pakai jeans dan oversized hoodie buat ke kampus. Tapi malam ini, dia memaksa dirinya. Dia menarik keluar little black dress yang belum pernah dia pakai, gaun sutra yang memeluk lekuk tubuhnya dengan elegan dan hanya ditutupi sedikit kain. Backless, parah.

Dia mematut dirinya di depan cermin. Ada sensasi aneh yang menjalar, campuran rasa cemas, rasa bersalah, dan yang paling aneh, rasa penasaran yang menggebu-gebu.

"Aurelia, lo itu mau ngapain sih?" gumamnya pada bayangan di cermin.

"Lo mau buktiin ke mereka kalau lo bisa ngerasain 'sesuatu'. Tapi... gimana caranya?"

Lia menghela napas panjang. Dia nggak punya rencana. Rencana Lia cuma satu: datang, cari cowok yang good looking tapi nggak mencurigakan, ngobrol sebentar, dan... melakukan sesuatu yang bisa dia ceritain ke teman-temannya besok pagi. Tapi, apa yang disebut 'sesuatu' itu? Apa cukup cuma pegangan tangan? Atau ciuman? Jantungnya mulai berdebar kencang, dan itu bukan karena rasa cinta, tapi murni karena rasa takut dan adrenalin.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia mengoleskan lipstik merah gelap, warna yang benar-benar asing di wajahnya. Selesai. Di depannya berdiri seorang Aurelia yang baru, seorang Aurelia yang siap berbohong pada dirinya sendiri demi sebuah tantangan gila.

Dia memesan taksi online. Sepanjang perjalanan ke gedung megah itu, Lia terus-terusan mengamati lampu jalanan. Perutnya serasa diaduk. Dia mulai menyesal. Seharusnya dia nggak usah sok berani menerima tantangan Rina si iblis itu. Tapi, mobil taksi itu sudah berhenti.

Di depannya, berdiri sebuah gedung kaca menjulang tinggi, yang puncaknya diselimuti kabut malam. Di sanalah Elysium berada.

Melangkah masuk ke Elysium, Lia merasa seperti masuk ke dimensi lain.

Semuanya gelap. Bukan gelap menyeramkan, tapi gelap yang mewah dan intim. Penerangan hanya datang dari lampu sorot berwarna amber yang diarahkan ke dinding bertekstur, dan dari lampu-lampu kristal rendah di bar. Aromanya mahal: campuran wiski tua, parfum desainer, dan udara dingin AC. Musiknya, ya Tuhan, musiknya itu. Slow jazz dengan ritme yang sangat lambat, sensual, dan seperti bisikan.

Lia, yang selalu merasa nyaman di keramaian kampus, mendadak merasa asing di sini. Semua orang di sana seolah punya cerita rahasia yang terukir di raut wajah mereka. Mereka semua cantik, tampan, dan yang paling penting, terlihat berbahaya.

Dia berjalan menuju bar dan memesan mocktail paling manis yang ada. Dia nggak mau minum alkohol; dia perlu kesadaran penuh untuk menjalankan misi bunuh dirinya ini.

Dia duduk di kursi tinggi. Sendirian, dengan punggung telanjang terekspos gaun backless-nya, Lia adalah target empuk. Dan benar saja, baru lima menit dia duduk, seorang pria-paruh baya, dengan jas mahal dan cincin emas tebal-sudah berdiri di sampingnya.

"Malam, Cantik. Sendirian?" suara bariton yang berat itu terdengar menjijikkan di telinga Lia.

Lia tersenyum tipis-senyum yang paling dingin yang bisa dia berikan. "Malam. Nggak, saya lagi nunggu teman."

Pria itu mundur, wajahnya menunjukkan kekalahan. Lia menghela napas lega. Phew. Ini lebih susah dari yang dia bayangin. Tantangannya bukan cuma soal berani, tapi soal berani di tempat yang isinya orang-orang dengan niat yang kayaknya cuma satu: bersenang-senang tanpa batas.

Dia melirik jam tangannya. Baru pukul sembilan. Dia harus bertahan setidaknya sampai tengah malam, atau Rina pasti akan menganggapnya gagal total.

Lia mulai memaksakan diri untuk melihat sekeliling, mencari 'target' yang kira-kira bisa diajak ngobrol santai tanpa harus menjual jiwanya. Matanya menyapu deretan sofa beludru, kemudian berhenti di sebuah sudut yang paling gelap dan paling jauh dari keramaian.

Di sana, duduk seorang pria.

Pria itu sendirian, persis seperti Lia. Tapi, auranya beda banget. Kalau Lia itu 'sendirian' karena kaku dan takut, pria ini 'sendirian' karena memilih untuk itu. Dia dikelilingi pagar tak kasat mata yang terbuat dari aura superioritas dan bahaya.

Dia duduk santai, mengenakan kemeja hitam yang kerahnya sedikit terbuka, menunjukkan tulang selangka yang tegas. Dia tidak minum, atau setidaknya, gelas di depannya masih penuh. Tapi yang paling membuat Lia terpaku adalah matanya.

Bahkan dari jarak sejauh itu, Lia bisa merasakan intensitas tatapannya. Pria itu menatapnya, bukan dengan tatapan mesum seperti pria di bar tadi, tapi dengan tatapan analitis. Seolah dia sedang mengamati sebuah spesies baru yang menarik. Tatapan yang menguliti, membuat Lia merasa semua kebohongannya-gaun mahal, lipstik merah, keberanian palsu-terkuak telanjang di bawah sorot mata itu.

Jantung Lia, yang tadinya cuma berdebar karena adrenalin, sekarang berdebar karena alasan yang benar-benar baru. Ini bukan deg-degan cinta. Ini... tertangkap.

Lia berusaha memalingkan wajah, tapi gagal. Matanya terkunci. Dia merasakan sensasi panas dingin menjalar dari lehernya sampai ke ujung kaki. Otaknya berteriak, 'Kabur! Dia bahaya!' Tapi tubuhnya malah terpaku.

Tiba-tiba, pria itu tersenyum. Tipis, sangat sedikit, tapi cukup untuk mengirimkan gelombang listrik ke saraf Lia. Senyum itu seolah berkata, 'Aku tahu apa yang kamu lakukan di sini, Aurelia Safira.'

Lia nggak tahu dari mana asalnya, tapi nama 'Aurelia Safira' seolah terucap di benaknya, disuarakan oleh senyum dingin pria itu.

Dan kemudian, hal yang paling Lia takuti-sekaligus paling dia tunggu-terjadi.

Pria itu bangkit. Tinggi, sangat tinggi. Posturnya tegap, dan setiap langkahnya terasa berbobot, berirama, seolah dia pemilik tempat ini dan semua orang di dalamnya harus menyingkir.

Dia berjalan ke arah Lia. Semua orang di bar itu seolah berhenti bernapas, termasuk Lia.

Lia berusaha membuka mulut untuk bilang, "Stay away," tapi yang keluar cuma napas pendek.

Pria itu berhenti tepat di depannya. Aroma parfumnya bukan wangi maskulin biasa. Ada bau kayu yang kuat, tembakau yang elegan, dan sedikit mint. Memabukkan.

Dia membungkuk sedikit, membuat wajahnya dekat dengan Lia, cukup dekat hingga Lia bisa melihat bayangan dirinya sendiri di mata pria itu. Mata yang tajam, hitam kelam, tanpa belas kasihan.

"Kamu... bukan dari sini," suaranya berat, dalam, seperti gema di ruangan kosong. Dia menggunakan kata 'kamu', yang terasa lebih intim daripada 'Anda', tapi jauh lebih berkuasa daripada 'lo'.

Lia menelan ludah. Rasa panas yang dia rasakan tadi kini bercampur dengan rasa dingin yang menusuk. Ini dia, 'sesuatu' itu. Perasaan nggak nyaman, tapi adiktif.

"Maksudnya?" Lia berhasil memaksakan suaranya keluar, terdengar lebih serak dari yang dia mau.

Pria itu tidak menjawab. Dia hanya menatap lurus ke mata Lia, seolah sedang membaca database di otaknya. Kemudian, dia mengangkat tangannya-tangan besar, dengan jari-jari panjang dan bersih-dan dengan gerakan yang sangat pelan, dia menyentuh pipi Lia.

Sentuhan itu nggak sensual, nggak agresif. Hanya sentuhan yang sangat, sangat yakin. Sentuhan yang seperti claim.

"Kamu datang ke tempat ini untuk mencari sesuatu yang kamu sendiri nggak tahu namanya. Benar?" tanyanya, suaranya kini berbisik, hanya untuk didengar Lia.

Lia kaget setengah mati. Bagaimana dia tahu?

"Saya... saya nggak ngerti," dusta Lia, mencoba menepis tangan pria itu, tapi pria itu menahan dagunya, lembut tapi tak terhindarkan.

"Jangan bohong. Di matamu ada rasa penasaran, tapi juga rasa takut. Campuran yang menarik," Dia memiringkan kepalanya sedikit. "Kamu tahu risikonya datang ke sini sendirian, dengan penampilan seperti ini?"

Lia memberanikan diri. "Terserah saya. Saya di sini karena tantangan."

Pria itu tertawa pelan. Tawa yang jarang, tapi membuat Lia merinding. "Tantangan? Kalau begitu, biar aku yang ambil alih tantangan itu."

Tanpa menunggu persetujuan Lia, pria itu menarik kursi di samping Lia, duduk di sana, dan memanggil pelayan.

"Satu botol Dom Pérignon yang paling dingin. Bawa ke kamar 305," katanya, suaranya tegas dan final.

Lia langsung panik. Kamar 305? Kamar apa?

"Tunggu! Maksudnya apa kamar 305? Saya nggak ikut!" Lia berbisik, matanya melebar.

Pria itu menoleh lagi, tatapannya kini berubah menjadi gelap dan mendesak. "Kamu datang ke sini mencari sesuatu yang akan membuatmu lupa diri, kan? Aku akan memberikannya. Tapi kamu nggak punya pilihan lain selain ikut permainanku. Karena kalau kamu menolak, kamu akan membuktikan kalau kamu memang ratu es yang pengecut, seperti kata teman-temanmu."

Gila. Dia tahu itu juga? Bagaimana?

Rasa takut Lia kini benar-benar kalah sama rasa penasaran dan gengsi yang membakar. Ratu es yang pengecut. Kata-kata itu lebih menyakitkan daripada ancaman fisik apa pun.

"Siapa kamu?" tanya Lia, suaranya kini sudah mantap.

Pria itu hanya menyeringai, senyum yang menjanjikan dosa dan kenikmatan sekaligus. "Seorang pria yang nggak kamu kenal sama sekali. Dan nama nggak penting malam ini."

Dia berdiri, menawarkan tangan besarnya ke Lia. "Ayo. Tantanganmu baru saja dimulai."

Lia menatap tangannya. Tubuhnya terasa berat, tapi jiwanya terasa ringan, tertarik oleh kekuatan gelap dan misterius dari pria di depannya. Dia tahu ini salah, dia tahu ini bahaya, tapi rasa ingin tahu untuk merasakan 'sesuatu' itu kini jauh lebih besar daripada akal sehatnya.

Perlahan, Lia mengulurkan tangan, menyambut sentuhan dingin dan kuat pria itu. Saat tangan mereka bersentuhan, Lia merasa bukan cuma tangannya yang ditarik, tapi seluruh dunianya.

Di malam yang dingin dan gelap di Elysium, Aurelia Safira-si gadis yang tak pernah jatuh cinta-melangkah menuju Kamar 305 bersama pria asing yang tidak dia kenal sama sekali, membuka gerbang menuju bahaya, gairah, dan takdir yang nggak akan pernah dia duga. Dan malam itu, dia benar-benar melupakan namanya sendiri.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Adrian

Selebihnya
Jebakan Utang Mafia

Jebakan Utang Mafia

Romantis

5.0

Tepat setahun lagi, Evelyn Rossi akhirnya akan terbebas dari jeratan utang warisan kakek tirinya. Utang yang selama sepuluh tahun terakhir telah mencekik lehernya, menjadikannya tawanan tidak resmi di bawah kendali seorang Mafia yang memukau dan berbahaya: Riccardo Valentini. Pria dingin dan tampan ini adalah pemimpin Kartel La Sanguina, penguasa mutlak dunia gelap di Italia. Untuk membayar utangnya, Evelyn terpaksa mengabdikan diri sebagai pelayan di sebuah toko kecil di sudut kota Palma. Toko itu hanyalah kedok; di balik aroma pizza rumahan, tempat itu adalah pusat transaksi ilegal Kartel La Sanguina. Riccardo Valentini adalah definisi pria mempesona dengan kekuasaan tak terbatas. Ia menginginkan Evelyn, bukan hanya sebagai sandera utang, tetapi sebagai penghangat ranjangnya-sebuah obsesi yang tak terbantahkan. Evelyn, yang bersumpah untuk menjauh dari dunia kelam Mafia, berusaha keras melarikan diri dari cengkeraman cinta posesif Riccardo. Setelah berhasil kabur, Evelyn menghabiskan empat tahun dalam perlindungan Nikolai Volkov, seorang bos Mafia Rusia. Namun, pelarian itu berakhir. Riccardo berhasil menemukan dan menculik Evelyn kembali dari "kandang" Mafia Rusia, mengklaim lagi apa yang ia anggap miliknya yang hilang. Akankah Evelyn mampu melepaskan diri dari obsesi brutal Riccardo? Atau, mampukah Nikolai Volkov, yang sejatinya telah jatuh cinta begitu dalam pada Evelyn selama masa perlindungannya, berhasil menghancurkan Riccardo untuk merebut kembali wanita yang dicintainya?

Buku serupa

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku