Pernikahan Paksa Dosen Killer
/0/29970/coverbig.jpg?v=20251205185456&imageMogr2/format/webp)
ri langit, tapi kenapa hatinya kayak batu
sudut coffee shop yang lagi lumayan sepi itu. Di depan Lia, ada dua cewek lain
g 'kebekuan hati' Lia. Gimana nggak beku? Sampai usianya menginjak 19 tahun-usia yang seharusnya lagi hot-hotnya ngerasain
presinya murni bete. Dia cantik, beneran cantik parah. Kulitnya putih bersih, rambut hitam panjangnya ikal alami, dan matanya itu lho, kayak
o kuliah udah semester tiga. Sejuta cowok ganteng di kampus udah ngantri dari Ma
asa ada yang salah. Semua temannya heboh kalau udah bahas gebetan, crush, atau drama putus-nyambung. Lia? Dia cuma bisa dengerin, nggak pernah
ahu lo nggak pernah jatuh cinta karena lo belum pernah beneran ngeras
isk? Maksud lo, gue harus l
angan ke tengah meja, menampakkan senyum ibl
isa ngerasain sesuatu, minimal ketertarikan fisik yang gila, sekali aja. Atau lo
alik, tapi ada sedikit rasa takut dan p
adalah tentang sebuah tem
suaranya pelan dan misterius, sepert
pencakar langit yang terkenal hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu-para pebisnis gila, seniman nyentrik, dan orang-orang supe
?" tan
lo punya. Dan lo harus bawa pulang cerita. Cerita kalau lo udah ngerasain sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat lo lupa d
t unlock emosi lo, bukan buat nyari jodoh. Lo harus tunjukkin ke diri lo sendiri,
nggak bisa jatuh cinta? Nggak, itu nggak bisa dia terima. Dia bisa ngerasain emosi! Di
h meja udah dingin sedingin es. "Tapi denger ya, kalau gue berhasil,
kemenangan, seolah mereka baru aja ber
n, malam yang ditakdirkan untuk mengub
akai jeans dan oversized hoodie buat ke kampus. Tapi malam ini, dia memaksa dirinya. Dia menarik keluar little black dress yang
yang menjalar, campuran rasa cemas, rasa bersalah, d
gapain sih?" gumamnya
lau lo bisa ngerasain 'sesua
rol sebentar, dan... melakukan sesuatu yang bisa dia ceritain ke teman-temannya besok pagi. Tapi, apa yang disebut 'sesuatu' itu? Apa cukup cu
enar-benar asing di wajahnya. Selesai. Di depannya berdiri seorang Aurelia yang baru,gamati lampu jalanan. Perutnya serasa diaduk. Dia mulai menyesal. Seharusnya dia nggak us
enjulang tinggi, yang puncaknya diselimut
ium, Lia merasa seperti
yang diarahkan ke dinding bertekstur, dan dari lampu-lampu kristal rendah di bar. Aromanya mahal: campuran wiski tua, parfum desai
ni. Semua orang di sana seolah punya cerita rahasia yang terukir di raut wajah
nis yang ada. Dia nggak mau minum alkohol; dia perlu k
ess-nya, Lia adalah target empuk. Dan benar saja, baru lima menit dia duduk, seorang
ra bariton yang berat itu terde
ng dingin yang bisa dia berikan. "Ma
usah dari yang dia bayangin. Tantangannya bukan cuma soal berani, tapi soal berani di tempa
Dia harus bertahan setidaknya sampai tengah mala
a diajak ngobrol santai tanpa harus menjual jiwanya. Matanya menyapu deretan sofa belud
duduk seo
sendirian' karena kaku dan takut, pria ini 'sendirian' karena memilih untuk itu. D
unjukkan tulang selangka yang tegas. Dia tidak minum, atau setidaknya, gelas
ria di bar tadi, tapi dengan tatapan analitis. Seolah dia sedang mengamati sebuah spesies baru yang menarik. Tatapan yang menguli
alin, sekarang berdebar karena alasan yang benar-ben
sakan sensasi panas dingin menjalar dari lehernya sampai ke ujung kaki
ntuk mengirimkan gelombang listrik ke saraf Lia. Senyum itu seolah
a 'Aurelia Safira' seolah terucap di benak
ling Lia takuti-sekaligus
n setiap langkahnya terasa berbobot, berirama, seolah dia pe
ua orang di bar itu seolah be
tuk bilang, "Stay away," tapi
bukan wangi maskulin biasa. Ada bau kayu yang kuat,
up dekat hingga Lia bisa melihat bayangan dirinya sendiri di m
di ruangan kosong. Dia menggunakan kata 'kamu', yang terasa leb
ini bercampur dengan rasa dingin yang menusuk. Ini di
sakan suaranya keluar, terdenga
database di otaknya. Kemudian, dia mengangkat tangannya-tangan besar, dengan jari-
esif. Hanya sentuhan yang sangat, san
ng kamu sendiri nggak tahu namanya. Benar?" tanyany
ngah mati. Bag
oba menepis tangan pria itu, tapi pria itu m
Campuran yang menarik," Dia memiringkan kepalanya sedikit. "Kamu tah
"Terserah saya. Saya di
i membuat Lia merinding. "Tantangan? Kalau be
itu menarik kursi di samping Lia, d
ing dingin. Bawa ke kamar 305," k
panik. Kamar
r 305? Saya nggak ikut!" Li
akan membuatmu lupa diri, kan? Aku akan memberikannya. Tapi kamu nggak punya pilihan lain selain ikut permainanku.
ahu itu jug
n dan gengsi yang membakar. Ratu es yang pengecut. Kata-
ya Lia, suaranya
a dan kenikmatan sekaligus. "Seorang pria yang nggak ka
an besarnya ke Lia. "Ayo. Ta
atan gelap dan misterius dari pria di depannya. Dia tahu ini salah, dia tahu ini bahaya, tap
dan kuat pria itu. Saat tangan mereka bersentuhan, Lia mer
menuju Kamar 305 bersama pria asing yang tidak dia kenal sama sekali, membuka gerbang menuju bahaya, gair