Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Laisa melangkahkan kaki ke sekolah dengan ekspresi sedih. Dia berjalan sendiri tanpa ditemani siapapun. Biasanya di hari pertama sekolah, anak-anak yang lain ditemani orang tuanya. Namun tidak untuk Laisa. Ibunya sedang sibuk di pasar untuk jualan. Sementara, usia 8 tahun ia sudah ditinggal oleh Ayahnya sehingga hanya hidup berdua dengan ibunya.
Setiap hendak berangkat sekolah, Laisa selalu berjalan kaki. Dahulu ketika masih duudk di bangku SMP, dia berjalan kaki sejauh 1 km, sekarang ia harus berjalan kaki sejauh 2 km. Di jalan menuju sekolah, banyak mobil dan kendaraan yang lewat menabrak genangan air hingga membasahi baju dan sepatu kusamnya.
"Huft, hari pertama kenapa begitu melelahkan"
Gerutunya di dalam hati. Ia harus segera sampai ke sekolah dan membersihkan bajunya yang kotor, karena sebentar lagi bel tanda masuk berbunyi.
SMA Semesta merupakan sekolah elit yang berdiri megah di pusat kota. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk Laisa menuju sekolah. Ia tidak punya kendaraan atau sepeda yang mengantarkannya ke sekolah. Sesekali mungkin bersama teman atau sopir truk yang lewat di sekitar rumahnya. Tetapi itu tidak menentu, sehingga ia harus jalan kaki jika tidak ingin terlambat.
Butuh perjuangan yang keras untuk Laisa diterima di sekolah ini. Ia harus belajar siang dan malam agar lolos tes masuk dan mendapatkan beasiswa. Laisa bisa di bilang gadis yang pintar. Ia banyak mendapat juara ketika dulu sekolah SD dan SMP. Ia bersyukur jika sekarang mendapat sekolah dan pembiayaan gratis selama 3 tahun. Oleh karena itu juga, Laisa harus belajar lebih keras agar prestasinya tidak turun ketika kenaikan kelas nanti. Dari latar belakang keluarganya sendiri, Laisa merupakan gadis sederhana dari kalangan menengah kebawah. Baginya, diterima di SMA Semesta menjadi anugerah sekaligus musibah. Ia banyak memperoleh informasi jika di sekolah ini siswa banyak yang memilih keluar karena terpelanting adanya sistem kasta. Kasta orang elit atau orang kaya lah yang mendominasi, sehingga banyak siswa dari kalangan menengah ke bawah tereliminasi satu persatu.
***
Sampai gerbang sekolah, Laisa bertemu dengan satpam sekolah. Ia mengucap salam pertamanya dan langsung masuk. Ketika masuk gerbang, tidak sengaja seorang pria bertubuh tinggi putih bernama Dema menabraknya.
BUKK!
Laisa terjatuh. Ia tersungkur ke sisi lantai sekolah hingga membuat lututnya berdarah. Pria itu diam saja. Tidak membantu tetapi malah memaki Laisa.
"He lo, kalau jalan lihat-lihat dong! Dipakai kaki dan matanya!"
Pria itu tanpa perasaan bersalah meninggalkan Laisa yang masih berada di bawah sembari memegang lututnya yang berdarah.
Laisa hanya bisa diam melihat pria arogan yang menabraknya. Karakternya membuat ia serba salah. Antara ingin membela diri namun takut jika ia sendiri yang sebetulnya salah, karena ia benar-benar menjaga diri dari orang asing apalagi belum ia kenal sama sekali. Walhasil dengan kaki yang lecet dan baju kotor, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan bajunya. Lantas menuju UKS untuk mengobati luka itu.
***
Sudah pukul 07.30 WIB. Laisa terlambat masuk kelas. Luka kakinya cukup lebar sehingga butuh penanganan lebih. Wali kelasnya langsung meminta Laisa masuk dan duduk disamping pria menyebalkan yang arogan itu.
"Ibu, saya duduk dengan pria ini?"
"Iya Nak, karena tinggal tempat duduk itu yang tersisa"
"Saya boleh minta izin di tukar dengan yang lain bu?"
Ucap Laisa memohon dan tidak ingin duduk di samping pria arogan itu. Laisa tidak ingin mengambil resiko jika nanti akan muncul kesialan yang lain apabila berdekatan dengan pria itu.
"Baiklah Laisa. Anak anak, apakah ada yang ingin bertukar tempat duduk dengan Laisa?"
"Saya bu! Saya Bu, Ssayaa Buu!
Teriak beberapa siswa meramaikan kelas.
Terhitung sekitar 15 siswa putri yang ingin duduk di samping Dema, si pria arogan. Maklum, dia tajir dan tampan serta memiliki postur tubuh yang tinggi. Banyak gadis yang mengidamkan duduk di samping pria keturunan konglomerat ini. Namun pria itu malah tidak ingin duduk di samping para gadis kecuali Laisa. Menyebalkan memang. Laisa hanya bisa menerima hal tersebut tanpa berkata apa apa. Ia tidak ingin menimbulkan masalah di kelas barunya itu.
Melihat Laisa berjalan menuju bangku, si pria arogan tetap bersikap sombong. Dia masih tidak merasa bersalah dengan kejadian yang menimpa Laisa.
Selama kelas berlangsung, Laisa diam. Tidak bicara apapun dengan pria di sampingnya. Ia kesal dan marah.
Dema juga diam. Sampai akhirnya ketika kelas berakhir, ia memberi Laisa secarik kertas permohonan maafnya.
"Gue minta maaf atas kejadian tadi. Kaga ada maksud buat nabrak lo. Sebagai gantinya, nanti mau ga ke kantin sekolah? Gue tunggu di kantin yaa. Maafin gue"
Seperti itu cuplikan isi surat dari Dema untuk Laisa.
Laisa tidak lantas membalas atau meng-iyakan ajakan Dema. Ia memutuskan pulang ke rumah. Seperti biasa dengan jalan kaki. Karena kakinya pincang sebelah, ia harus ekstra keras untuk berjalan sejauh 2 km.
Dema yang menunggunya di kantin sudah tidak sabar. Setengah jam lamanya ia menunggu. Tetapi yang ditunggu tak kunjung datang. Si tuan muda tajir ini menuju ke kelas, tetapi Laisa tidak ada. Putar ke ruang UKS, tetap tidak ada. Akhirnya ia memutuskan pergi ke area parkir untuk menemui sopirnya. Mau tidak mau ia harus pulang karena hari kian sore.
"Tuan darimana saja. Saya menunggu Tuan dari tadi. Anak - anak yang lain sudah pada pulang setengah jam yang lalu"
Tanya Komang, sopir pribadinya Dema.
"Sudah ya pak, jangan ditanya dulu. Saya masih capek seharian di kasih tugas sekolah"
Dema menggerutu, padahal bukan itu masalah utamanya. Dia hanya kecewa dengan penolakan Laisa. Padahal niatnya baik dan tidak aneh -aneh.
Sudah hampir sejam Laisa berjalan, tetapi tak kunjung sampai ke rumah. Ia sesekali istirahat di tepian jalan, berharap ada truk lewat yang memberinya tumpangan. Tetapi nihil. Laisa, gadis 16 tahun ini harus tetap berjalan supaya bisa segera istirahat. Dema yang baru sekitar 15 menit perjalanan seperti melihat gadis angkuh yang tidak datang menemuinya.
"Bapak, coba berhenti dulu pak. Sepertinya itu teman saya"
Sopir menepi. Dema yang melihat Laisa lantas turun dari mobil. Ia merasa iba dengan keadaan kaki Laisa yang pincang sebelah.
"Hey, gadis aneh. Ayo aku antar pulang. Kasihan kakimu nanti"
Laisa hanya diam seperti tidak mendengar apapun. Ia lanjut berjalan.