Davinka tidak menyangka kehidupan dewasa pasca gradute, tak menjadikan hidupnya lebih cerah seperti masa kecilnya dahulu. Kenyataan sempat menggangur setelah hampir dua tahun dan mengalami konflik dengan rekan kerjanya yang toxic setelah bekerja sebagai admin di perusahaan keluarga milik sahabatnya saat kuliah. membuat Davinka memahami penuh potret menjadi dewasa tak se-spektakuler saat menatap pakaian modis para pekerja yang bersliweran di antara transportasi umum, cafe atau tempat publik lainnya, bahwa dunia dewasa sama mengerikannya seperti hutan belantara. Davinka harus menghadapi akar depresi yang selalu menggerogotinya hingga dewasa, permasalahan keluarga yang selalu menampilkan warna yang konsisten sama. Tentang krisis keuangan yang menghantam keluarganya pasca kedua laki-laki di keluarganya, baik Papa dan Adik Laki-lakinya yang kerapkali mengundang masalah membuat Davinka semakin terhimpit. Usia Davinka yang menginjak 28 tahun turut membawa masalah baru saat Mamanya kerap memberondongnya dengan pertanyaan klise, kapan menikah? Tak hanya sekedar merecoki dengan tuntutan topik pernikahan, Mamanya membuat Davinka terpaksa menyetujui rencana perjodohannya dengan salah satu rekomendasi rekan kerja Mamanya. Tak bisa melangkah mundur, Davinka menyiapkan amunisi agar cowok yang menghadiri perjodohan dadakan ini tanpa pikir panjang memilih mundur. Davinka mengacaukan pertemuan dengan pasangan perjodohan yang baru dia ketahui bernama Darren dengan memasang tampang angkuh dan citra independen, bahkan dalam obrolan pertama mereka Davinka dengan terang-terangan mengungkapkan jika dirinya bukan tipikal perempuan yang mudah disetir sekalipun sudah di ikat dalam ikatan pernikahan. Davinka menekankan sikap keras kepalanya, rencana masa depannya yang ingin berkarir di dunia menulis sastra dan food content tanpa ingin ditentang siapapun, bukan sosok perempuan yang mahir mengurusi dapur dan rumah. Berharap sikap blak-blakannya membuat rekan perjodohannya urung mengingat citra dirinya yang jauh dari perempuan penurut. Darren terlampau ahli untuk membuat Davinka goyah. Darren memberi tawaran menggiurkan, setelah menikah mereka akan berdomisili di Yogyakarta karena Darren lelah harus mobile Malang-Yogyakarta untuk mengurusi bisnis jaringan hotel, vila, dan resto barunya yang dia geluti bersama teman kuliahnya dulu. Davinka terketuk mengingat Yogyakarta adalah kota impiannya, mengingat rencana Davinka setelah resign ingin fokus mengejar karir menulisnya. Bisa dibilang Yogyakarta adalah surga pecinta literasi berbagai toko buku tua, independen, komunitas literasi juga kuliner eksotiknya kota yang membuat siapapun mudah jatuh cinta. Darren hanya ingin mengakhiri kecemasan Mamanya karena kegagalan hubungannya yang berakhir pengkhianatan pacarnya seorang selebgram yang tak lama kemudian menikah dengan anak pejabat kaya. Melalui perjodohan dan pernikahan kontrak bersama Davinka sosok yang tak sepenuhnya asing menginggat pernah lihat di acara amal kampus sepupunya lima tahun lalu. Acara yang membekas di dalam ingatannya tentang pameran desserts dan cara Davinka membuat konten tulisan penjelasan yang terbilang provokatif dan sekilas terkesan mengkritik program diet dan citra tubuh wanita dalam media. Darren lelah terus mengecewakan Mama meski Mama dan keluarganya tak menyalahkan pembatalan pertunangan mereka karena di luar kuasanya, wanita yang teramat dicintai dan dipercayainya berbalik mengkhianatinya. Tawaran pernikahan kontrak diterima Davinka. Mengingat sikap skeptis dan apatis yang diperlihatkan Davinka tentang pernikahan dan jatuh cinta membuat Darren yakin pandangan sinis-nya tentang pernikahan terutama perasaan jatuh cinta tak akan membuat pondasi pernikahan kontrak mereka berdua terusik. Namun, rutinitas dna kedekatan mereka selama menjalani pernikahan merubah banyak hal. Darren yang menyangkal perasaaan penyayang yang dia kira tak lagi tersisa pasca pngkhianatan terakhir. Nyatanya menampakkan wujudnya saat melihat kedekatan Davinka dengan salah satu sub-kontraktor seorang redaktur salah satu platform media populer di Jogja yang bekerjasama dengan proyek food content komunitas dongeng dan kuliner yang diikuti Davinka selama di Jogja ini. Puncaknya, Mantan Darren yang resmi bercerai mulai mengusiknya dnegan membuatnya terpaksa menerimanya sebagai salah satu klien untuk proyek pelebaran sayap bisnis jaringan hotel dan villa yang ditanganinya. Kesalahpahaman yang memuncak karena rasa cemburu dan posesif yang terus Darren sangkal membuat hubungannya dengan Davinka kian renggang hingga Davinka memilih menyerah dan Kembali ke Malang. Menyadari kebodohannya Darren mencoba Kembali berjuang mendaptkan Davinka lagi meski salah satu rival telah menantinya untuk merebut atensi Davinka lagi.
DARREN:
Hugo's Café, Pukul 20.00 WIB.
Sebutan gila atau tak waras terdengar lebih beradab mengingat hal sinting yang kulakukan sekarang. Jika Mas Aga mendengar ucapanku lima menit lalu, Mas Aga pasti langsung mengumpatiku tanpa ampun. Reza, sepupuku yang begundal pasti langsung menyengir mesum dan terus meledekku bahkan hingga ribuan tahun lagi. Apalagi Mama, sudah dipastikan aku bisa duduk tenang sekarang pastilah sebuah keajaiban. Mama pasti akan mengusirku jika amarahnya tak terlalu besar, jika meledak jelas Mama akan memutilasiku tanpa ampun.
"Seriusan, Sam? Kamu nyuruh dia nyamperin kamu disini. Wah dah berubah drastis ya di banding dulu. Mana nih Si Rendra Sok Alim itu" ledek Bram terdengar puas sambil menegak bir kedua yang dipesannya dalam waktu satu jam ini. Selain pemabuk berat, teman SMA-ku ini juga terkenal brengsek, terlebih rekam jejaknya dengan tindakan amburadulnya yang sempat membuat Papa-nya yang mantan pensiunan Tentara hendak mencabutnya dari hak waris dan mengusirnya dari rumah, juga sepak terjangnya sebagai perayu maut.
Aku meringis dan menahan umpatan, "Ya mau gimana lagi, toh aku terlanjur disini," balasku berlagak acuh.
Melihat kilatan mata Bram memperlihatkan alarm pikiran bajingannya masih dia pelihara hingga kini, membuatku ingin menggali lubang dari tempat dudukku dan menghilang dalam sekejap. Aku terlalu tolol untuk larut dalam kesembronoanku mengiyakan ajakan Bram untuk nongkrong di café semi klub malam yang sudah melegenda di kota kecil ini. Di banding tepat lain, mungkin ini tak se-ekstrim bar karaoke remang-remang, tapi jelas bukan tempat yang pantas untuk mengundang seseorang yang menurut dugaanku jelas wanita polos dan lugu. Apalagi menyuruh wanita ini mendatangiku di tengah hingar-bingar musik yang menghipnotis pengunjung di lantai tengah untuk tak memperdulikan hari dan menari serampangan.
Seharusnya aku tak meremehkan nasihat bernada cemas Mas Aga dan raut was-was-nya yang seolah mencium cepat perubahan drastis sikapku selama sebulan ini. Kuakui, aku menyangkal rasa tersesat dan amarahku yang masih mengelegak mendidih karena harga diriku terkoyak, berkat aksi dramatis tunanganku yang kukira Dewi keajaiban namun berubah menjelma menjadi Dewi kematianku. Selama ini aku berlagak tak terlalu terpengaruh dengan kegagalan pernikahanku yang bisa dibilang dramatis dibanding tragis berkat terpaan pemberitaan media. Seolah aku tak boleh menyerap memar yang menghantam pasca keputusan sepihak Nova mencampakkanku demi laki-laki lain yang dirasa mampu menaikkan status sosial juga posisi keuangan keluarganya. Media seperti biasa sangat energik mengemas pemberitaanku bersama Nova, mengingat karirnya sebagai selebgram yang lumayan tersohor di kota kecil ini.
Dulu aku tak ambil pusing dengan sorotan media, karena karirku sebagai pengusaha pemilik jaringan hotel membuatku terbiasa menghadapi mereka. Kini beda persoalan lagi, bukan karena aku risih dengan pemberitaan yang dibesar-besarkan ini, melainkan tatapan Mama terutama Mas Aga teramat mengangguku. Raut wajah keluargaku yang saling bergantian memamerkan kecemasan dari hari ke hari. Jelas, ini sangat menyiksaku. Maka, tak heran dengan gegabah aku menyambut tawaran Mama bertemu dalam acara perjodohannya. Salah satu kandidat bahkan kini tengah kujadikan tameng dan sintingnya, aku bersikap seperti laki-laki bajingan untuk menjemputku di tempat suram seperti ini.
Sesuai dugaanku, setelah Bram memberiku tatapan meremehkan juga alis tebal jeleknya yang terus naik memberiku isyarat untuk menerima traktiran wiski-nya yang dari tadi kutolak dan lebih memilih memesan beberapa gelas cocktail buah non-alcohol. Aku melihat sesosok perempuan ramping dan jangkung berjalan cepat ke arah meja kami. Jelas, dia tak mampu menutupi langkah kikuknya menembus kepadatan pengunjung klub yang berjubel heboh di ruang tengah lantai dansa. Mendadak aku meringis dan berkerut penuh sesal, mengirimkan situasi tak nyaman ini kepadanya. Jika saja, aku tak mengenali tas sling back warna pink nude pastel kesayangannya, aku pasti hanya melongo menatapnya yang kini tengah berdiri tegap menyerupai Jenderal yang siap menantangku.
Aku berdeham "Oh, kamu udah datang Dav? Duduklah," ucapku setengah tercekik.
"Seperti yang kamu lihat," jawabnya sinis, menegaskan kesalahan tololku malam ini.
Di sampingku Bram sepertinya telah mencerna pemandangan yang ada di depan kami dan atmosfer tegang di antara kami berdua. "Oh, dia cewek barumu yang kamu maksud, Ndra?"
Alis Davinka otomatis mengerut dan sinar matanya masih memancar nyalang mengingatkanku bara amarahnya jelas masih menyala."Jelas bukan asisten pribadinya, Ren," timpal Davinka sarkas.
Davinka berhak menyemburkan nada suara yang kental dengan sarkasme, bagaimanapun akulah pihak yang bersalah. Terlebih menempatkan Davinka pada situasi yang mengharuskannya membentengi wajahnya dengan masker bahkan kepala juga rambutnya kini tertutupi kain selendang panjang hitam yang dia gunakan sebagai tudung demi menyamarkan sosoknya di tempat se-kelam ini.
Tringg!! Suara dan layar ponsel Bram yang menyala nyaring memutus udara sesak yang melingkupi kami bertiga. "Bentar kuangkat dulu telepon dari hottest langgananku kayaknya dia udah stay di pintu belakang. Biar kusamperin staff yang ngurus dia dulu" terang Bram sambil berdiri dan berjalan melesat ke tempat beberapa staff yang bersiap di balik kubikel belakang.
Lekas aku turun dari kursi tinggi bar dan meraih pelan lengan kanan Davinka yang masih berdiri menegang. Tatapan tajam Davinka masih terasa seperti menusuk-nusuk perutku. "Sorry, Dav. Sekarang, lebih baik kita keluar biar kuanter kamu pulang sekarang," tawarku cepat.
"Terus batal dong agendamu buat kongkow sama temenmu tadi." sindir Davinka pedas.
"Persetan, dia punya urusan sendiri!" balasku terdengar keras dari yang kumaksudkan.
Davinka hanya mengesah kesal, saat aku menarik kedua bahunya membimbingnya membelah kerumunan orang yang menari dengan gila. Mengingat aku bukan seorang Musa yang bisa membelah kerumunan menyebalkan ini seperti lautan terbelah, aku mengumpat keras saat berjalan menyerupai benteng bagi Davinka sebisaku, tapi nyatanya beberapa tangan menemukan celah untuk memuaskan rasa penasaran mereka mencoba meraih penutup masker di wajah Davinka juga tudung yang di tempat atraktif ini jelas terasa aneh mendapati gadis berkerudung tengah berkeliaran di dalam klub malam. Aku menghardik dan memelintir cepat satu tangan yang hendak meraih pinggul Davinka dan hendak menjotos wajahnya. Saat tangan Davinka dengan cepat menahan tangan kananku.
"Sialan, Ren. Lebih baik kita keluar sekarang, aku nggak mau terkurung lebih lama lagi" sentak Davinka sambil melangkah mendekati pintu masuk yang mulai berjubelan dengan meluapnya beberapa pengunjung bersemangat dengan semakin larutnya malam.
Aku bergegas berjalan cepat mensejajari langkah Davika. Tak ingin Davinka mendapatkan perlakuan buruk lagi seperti beberapa detik lalu. Sesampainya kami berada di parkiran luar, aku hampir menubruk tubuh jangkung Davinka yang berhenti mendadak dan berbalik mengadang tepat di depanku.
"Sekarang dimana mobilmu? Jangan bilang di parkiran basement setelah kita udah di luar begini," tanya Davinka bersungut-sungut.
"Ah, enggak. Bentar kuhubungi dulu Pak Anwar biar dia nyamperin kita disini,"
"Bagus! Persiapanmu boleh juga biar aman balik dengan kondisi teler, kamu nyuruh Pak Anwar buat stay," sindir Davinka lagi.
"Terserah, kamu mau berpikiran seperti apa? Aku akui malam ini aku memang tolol."
"Setidaknya, kamu tahu itu!" Nada suara Davinka mengeras.
Aku mengacuhkannya dan sibuk mengetik pesan pada Pak Anwar untuk segera menjemput kami berdua. Mendadak, aku takut jika kami berdua mengulur waktu di parkiran luar seperti ini. Davinka bisa saja meledakkan amarahnya dan selanjutnya kami menjadi tontonan gratis bagi beberapa pengunjung yang bersliweran, tukang parkir vallet, parahnya Pak Anwar. Aku bergidik membayangkannya.
"Oh, ayolah, Ren. Nggak kusangka kamu mengajakku ke tempat begini!" teriak Davinka gusar.
"Sorry, aku bisa jelasin habis ini. Okay!" ucapku panik.
"Prasangkaku soal kamu nggak pernah salah. Kamu lebih parah dari pria di rumahku,"
Suara Davinka yang semakin naik beberapa oktaf, membuat beberapa pasang mata penasaran melihat ke arah kami.
Dalam hati aku mengumpat. "Dav, please! Kita orang berpendidikan. Kita nggak seharusnya bertengkar di depan umum begini. Ayolah!" titahku memperingatkan.
"Wow, super sekali. Orang berpendidikan jelas takkan mendatangi tempat seperti ini,"
Aku hendak membalas tuduhan sepihaknya, tapi suara klakson dan lampu mengedip dari mobil yang dikendarai Pak Anwar mulai mendekati kami berdua.
"Dengar, Dav! Kamu boleh memarahiku, berteriak, menghujatku, bahkan memukulku karena memang tindakanku menyuruhmu mendatangi tempat ini jelas seperti pria brengsek. Tapi, lakukan setelah kita masuk ke dalam mobil. Aku akan menyuruh Pak Anwar memesan taksi online, kita perlu bicara banyak malam ini. Ada beberapa hal penting yang perlu kuobrolin sama kamu." tandasku sebelum membalas senyuman Pak Anwar yang mulai turun dari mobil.
Segera aku meraih uluran kunci mobil dan menjelaskan cepat jika kami berdua akan pulang sendiri dan perlu mengunjungi suatu tempat lebih dulu. Mendapati jam kerjanya hari ini resmi berakhir, Pak Anwar dengan sumringah menerima beberapa lembar uang untuk ongkos memesan taksi dariku, juga menyapa singkat pada Davinka sebelum kami melesak meninggalkannya.
"Dav, kamu udah makan malam belum?" tanyaku setelah lima menit berkendara.
"Penting banget aku udah makan atau belum?" balas Davinka jutek.
Aku mengesah keras, "Oke, kalau sekarang kamu mau marah atau apapun. Lakukanlah!"
"Fine! Pertama, apa maksud dari kamu menyuruhku datang ke klub tadi. Kedua, sebegitu remehnya kamu mandang aku hingga nggak membuatmu berpikir ribuan kali mengundangku ke tempat kayak tadi. Ketiga, aku setuju kita bakal berteman, dan sebagai informasi jenis pertemanan bebas seperti mengunjungi tepat klub atau tempat nyeleneh dan kelam seperti itu bukan standar pertemanan yang aku setujui. aku tak peduli kamu mengganggapku kolot atau apapun. jelas malam ini kamu mengecewakan aku, Ren" terang Davinka menggebu-gebu.
Telingaku terasa tertusuk. Jelas kata "mengecewakan" lebih halus dibanding tingkah konyolku tadi. "Maafkan aku, Dav," ucapku serak.
"Aku bisa berteriak, histeris, menghujanimu dengan kata-kata kasar setelah perlakuan kasarmu membuatku seperti orang bodoh berjalan di tempat yang terlarang dalam kamusku, tapi setelah kupikir lagi kenapa aku harus membuang energi dan kemarahanku pada pria yang hampir sama seperti Papa dan Adekku. Betapa konyolnya aku?" tandas Davinka terdengar getir.
Aku meringis menyadari nada getirnya, "Kamu berhak merasa seperti itu, Dav,"
Aku telah berhasil telak membuatnya salah paham. Selanjutnya, kami berdua membisu.
"Kita berhenti disini sebentar, ya," Segera aku menepikan mobilku di trotoar yang sepi.
"Emm ...,"respon Davinka malas-malasan.
Berpikir untuk mengedepan ego dan meminta maaf dengan niat setengah hati jelas bukan tindakan bijak untuk saat ini. Peduli setan dengan egoku untuk menutupi keadaan kacauku sekarang. Aku harus mengungkapkannya kepada Davinka. Masalah Davinka mau memaklumi atau bahkan memaafkan tindakan gegabahku tadi, sepenuhnya hak dia.
"Okay. Pertama, aku mau minta maaf sekali lagi. Kedua, aku tahu ini mungkin terdengar sebagai alasan. Alasanku menyuruhmu mendatangiku di tempat tak layak tadi, karena aku terlanjur gegabah menerima tawaran Bram dan interogasinya yang menganggu soal rasa penasarannya terhadap berita hubunganku di media akhir-akhir ini. Lalu, kupikir saat kamu memberitahuku sedang di toko buku tak jauh dari tempat klub tadi, lantas aku berpikir mungkin ini bisa jadi kesempatanku melepaskan diri dari jeratan Bram. Aku tahu tindakanku tadi jelas membahayakan keselamatanmu dan teramat tolol," terangku panjang lebar.
Lama Davinka tak bersuara. Lantas aku pun menunduk dan mengusap-usap pahaku dengan gelisah. Suara kesahan Davinka yang keras membuatku mendongak. Davinka beralih menatapku setelah sebelumnya terus menancapkan arah pandangnya ke depan enggan menatapku.
"Baiklah, meski tak sepenuhnya memaklumi. Aku bisa memahami alasannya. Kita lupakan saja soal kejadian tadi. Sebenarnya aku cukup risih melihatmu menghabiskan waktu bersama temanmu di tempat seperti itu. Dipikir lagi, memangnya siapa aku? Gaya hidupmu jelas pilihanmu sendiri. Aku tak berhak menghakimi." tanggap Davinka terdengar santai.
"Makasih sudah memaafkanku, aku janji kejadian ini nggak akan terulang,"
"Ren, kenapa sih orang-orang selalu bersemangat menarik hal yang jelas berusaha kita kunci jauh dalam diri kita, seolah mereka berhak membuka paksa dengan alasan berupa kepedulian. Padahal, itu jelas mengusik kita?"
Aku mengedikkan bahu "Entahlah, mungkin bagi mereka itu menyenangkan," jawabku skeptis.
"Jelas itu menyenangkan bagi mereka dan jelas mengesalkan bagi kita."
"Agree," Melihat ketegangan di antara kami mencair, lekas kunyalakan lagi mobilnya.
Baru beberapa detik aku mengendarai pelan, saat tangan Davinka mencengkeram kuat lengan kiriku. "Kita mau ke mana sekarang, ini bukan arah ke rumahku?" tanya Davinka terdengar was-was.
"Kita mampir ke warung tenda bentar ya, udah malam kebanyakan resto juga tutup. Ada yang perlu aku obrolin sama kamu. Sesuatu yang penting, boleh?" terangku.
"Ahh .., begitu," gumamnya.
"Tenang, aku nggak bakalan berani nyulik kamu, Dav." godaku menahan geli.
Mendengarku tertawa geli dan melirik jail ke arahnya, Davinka menghadiahiku dengan pelototan tajam. Membuatku sadar betapa menyenangkan menggoda Davinka terutama saat memancing reaksi kesalnya jelas terasa lebih menarik. Tak lama setelah puas menggoda Davinka, kami sudah duduk di salah satu sudut meja warung tenda. Aroma gurih dari beberapa pengorengan menu khas lalapan cukup menerbitkan selera makan kami berdua. Usai memesankan Davika menu ayam panggang dan ayam goreng pesananku, tak lama kemudian dua gelas es jeruk manis tersaji lebih dulu. Tanpa menunggu, Davinka dengan cuek menyeruput cepat es jeruk pesanannya. Seolah sejak tadi dia tengah berada di tengah gurun bersamaku. Terlihat haus bukan main.
"Pelan-pelan, Dav," peringatku.
"Emm .., kamu mau ngobrol soal apa?" tanyanya tak sabar.
Davinka mulai mengaduk-aduk acak beberapa kotak es dalam gelasnya hingga berdenting pelan, "Dari tadi kamu ngulur waktu. Kamu tahu aku punya stok kesabaran dikit,"
Melihat kedikan dagu dan mata Davinka lekat memandangku membuat lidahku kelu.
"Ayo, kita menikah, Dav!"
Davinka bergeming, kedua matanya mengerjap dan mengedip beberapa saat. Jelas ucapanku barusan seperti letupan api yang mendadak di mata Davinka. Aku menelan ludahku yang terasa pahit, gugup menunggu reaksi Davinka yang kuperkirakan tak jauh dari rasa kaget dan mungkin dengan teriakan histeris sebentar lagi.
"Yakin? Terakhir kali, kamu bilang kamu tipe cowok anti komitmen dan pernikahan."
Di luar dugaan, reaksi Davinka justru terlihat lebih pada penasaran bukannya histeris.
"Kamu benar, pernikahan konvesional bukanlah tipeku," tandasku.
"Lalu?" kedua alis eksotiknya terangkat naik.
"Aku ingin kita melakukan pernikahan kontrak." jawabku terang-terangan.
Byuur!! Semburan cairan es jeruk yang tengah ditegak Davinka menghambur membasahi kemeja kerjaku yang mulai kusut setelah kupakai seharian. Raut shock Davinka terlihat mengerikan, kedua matanya bergerak gelisah dan mulutnya sempurna melongo lebar. Jelas, ini reaksi yang seharusnya kulihat sejak aku mulai mengungkit soal pernikahan tadi. Tawaran pernikahan kontrak terang lebih mengemparkan bagi Davinka dibanding tawaran pernikahan yang kuutarakan di awal tadi.
"Kamu benar-benar nggak waras, Ren." sembur Davinka gelagapan.
Nah, ini adalah jenis reaksi yang kutaksir bakal kudapatkan dari seorang Davinka.
Davinka, si penggila logika dan apatis skeptis soal intitusi bernama pernikahan.
Sialan! Jelas, selanjutnya jalan meyakinkan Davinka takkan pernah mudah.
***
Bab 1 IDE GILA
20/11/2022