Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pras and his destiny

Pras and his destiny

Rianievy

4.8
Komentar
18.5K
Penayangan
93
Bab

#Mengandung konten 21+# Pras. Pria dengan usia dewasa yang merupakan CEO perusahaan besar dengan kehidupan luar biasa kaya raya. Namun, hidup dengan takdir yang tak banyak bagi seorang laki-laki akan sanggup menjalani. Ia menjadi duda diusia empat puluhan dan mandul sehingga tak akan bisa memberikan keturunan bagi wanita manapun. Hingga ia tak ingin menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidupnya lagi. Kegagalan dengan mantan istrinya dulu sudah membuat dirinya tak ingin berurusan dengan wanita. Apalagi jatuh cinta. Takdir lain dihidupnya membawa ia mengenal wanita bayaran pria kelas kakap, yang memiliki alasan tersendiri kenapa ia menjalani profesi terselubung bernama Laurent. Pras akhirnya mau tak mau dekat dengan wanita tersebut karena ia juga memesan jasa Laurent, hingga pertemuan demi pertemuan terjadi. Mendadak Pras takut jika Laurent tau kekurangannya maka ia akan kehilangan wanita yang sudah mengacak-ngacak hatinya sehingga muncul benih cinta. Dan juga Laurent yang takut jika Pras akan tau rahasia pada dirinya kemudian beranjak pergi. Atau justru keduanya mampu menerima takdir kehidupan bersama-sama?

Bab 1 Dingin dan Sepi

Pria gagah itu berdiri menatap salju yang memenuhi daerah tempat tinggalnya selama lima tahun di Swiss. Rumah besar itu, hanya dihuni dirinya dan pelayan yang bekerja hingga pukul lima sore. Setelahnya, semua ia minta kembali ke paviliun yang ada di belakang rumah utama tempatnya tinggal.

PRAS JOSEPH HADILAKSMONO, atau di dunia bisnis ia dikenal dengan panggilan 'Sir', atau 'Pras' bagi orang yang dekat dengannya.

Salju dingin itu sama seperti hatinya yang kembali dingin setelah masa lalu pahit dengan mantan istri yang mengkhianatinya. Pakaian hangat yang ia kenakan pun sebenarnya masih belum bisa menutupi hawa dingin yang ia rasakan. Napasnya terasa berat, kedua matanya menatap nanar, sungguh ia tak ingin mati seorang diri. Kedua orang tuanya dua tahun lalu sudah pergi selamanya. Ia anak tunggal dengan kekayaan berlimpah namun miskin kebahagiaan.

Gelas wiski ia pegang erat. Berniat sekedar menghangatkan tenggorokan tapi berakhir sia-sia. Ponselnya berbunyi. Ia meletakan gelas dan menerima panggilan dari tanah air - Indonesia.

"Ya," jawabnya dingin.

"Selamat malam waktu tanah air, Pak, apa kabar?" Suara yang lama sudah ia tak dengar.

"Ya. Kabar saya baik, kamu apa kabar, Galang. Ada hal penting apa sampai telepon saya." Pras masih berdiri didekat jendela besar rumahnya.

"Apa Pak Pras bisa kembali ke tanah air? Tiga hari lagi gala dinner untuk para pengusaha karena ada pembukaan beberapa brand ternama perhiasan, dan launcing mobil sport terbaru dari perusahaan eropa, kali ini saya minta maaf tidak bisa mewakili Pak Pras. Mereka meminta Pak Pras yang hadir."

Helaan napas terdengar dari Pras. Ia memijat pangkal hidungnya.

"Saya akan hadir. Siapkan hotel untuk saya menginap. Saya juga merasa bosan di sini, sekaligus liburan sebentar."

"Baik, Pak. Apa Pak Pras butuh hal lain?" tanya Galang.

"Tidak. Ah... ada!" tegas Pras.

"Apa itu, Pak?"

Pras terkekeh sebentar. "Sampaikan salamku ke Jevan dan Aira, kapan Aira melahirkan bayi kembar kalian?"

Tawa Galang diseberang sana terdengar begitu bahagia, Pras pun tersenyum.

"Tiga hari lagi Pak, dan Jevan sehat, dia udah nggak sabar jadi, Abang."

"Wah! Jagoan saya sudah siap ya jadi Abang. Ok. Saya bawa hadiah terbaik untuk Jevan dan si kembar. Tunggu barangnya sampai di sana nanti."

"Jadi merepotkan Pak Pras." Galang kembali terkekeh.

"Ck. Masih kaku. Panggil saya Kakak kalau bukan urusan kantor, Galang." gerutu Pras. Lalu tawa keduanya pecah.

Pras sudah menganggap Galang orang yang paling ia percaya mengurus perusahaannya di tanah air dan cabang lainnya di saat ia sudah lelah terjun langsung serta ia menganggapnya sebagai adik. "Ok, Kak. Siap. Safe flight. Gue siapin semua di sini. I have to go. Aira butuh sesuatu kayaknya."

"Ok. Bye." Pras menyudahi pembicaraannya, ia lalu menekan nomor lain kemudian berbicara sambil melangkahkan kaki ke arah tangga menuju ke kamar. "Ya. Siapkan semuanya, penerbangan secepatnya ke Indonesia." Ia menelepon asistennya yang bekerja bersamanya di Swiss, Andreas, yang asli pribumi.

***

Seorang pramugari memberi tahu kalau tiga jam lagi akan mendarat di Jakarta. Pras mengangguk dan meletakan buku yang sedang ia baca ke dalam tas yang ia bawa. Ia melihat ke jendela pesawat. Matahari bersinar terang, ia kembali ke tanah kelahirannya. Pras juga tak sabar melihat Jevan yang sudah berusia empat tahun. Galang dan Jevan yang akan menyambut kedatangannya. Hanya mereka. Sanak saudara lain ada di Surabaya dan tak begitu dekat hubungan kekeluargaannya.

Pesawat mendarat dengan sempurna. Ia menempati kelas bisnis. Tak banyak barang yang ia bawa. Bahkan koper pun tidak. Hanya satu tas ransel berbahan kulit dari merk terkenal dunia yang ia bawa. Kaca mata hitam ia kenakan. Tubuh tinggi kekar dengan potongan rambut cepak tak menggambarkan dirinya yang berusia hampir kepala lima.

Tak ada perasaan jet lag atau aneh. Ia berjalan santai dengan satu tangan ia masukan ke saku celana jeansnya. Hingga selesai pemeriksaan imigrasi pun ia lewati dengan lancar. Beberapa orang menghampiri dan memberi salam dengan membungkukkan badan.

"Mobil sudah siap, Pak," ucap salah satunya.

"Andreas. Apa permintaan saya sudah siap?" Ia melirik dari balik kaca mata hitamnya ke arah Andreas.

"Sesuai permintaan Pak Pras. Nanti akan siap di tempat." Andreas berbicara tanpa menatap ke kedua mata Pras, menunjukan kesopanan dan segan.

"Good. Saya satu mobil dengan Galang, mobil yang kalian siapkan, bawa kembali ke hotel. Sudah buka kamar untuk kalian, kan?"

"Sudah, Pak. Terima kasih."

"Ok."

Pras lalu berjalan kembali dengan empat orang ikut berjalan di belakangnya. Langkah Pras terhenti saat melihat cengiran anak kecil laki-laki yang berlari menghampirinya. Pras berlutut dan menyambut dengan rentangan kedua tangan.

"Sir," sapa bocah lelaki itu. Pras tertawa. Ia lalu memeluk dan mengangkat tubuh anak kecil itu ke gendongannya.

"Panggil apa tadi? Nggak denger?" ledek Pras.

"Sir." lalu anak kecil itu tertawa karena Pras mengeletikinya.

"Ok. I am so sorry uncle," tawa Jevan terdengar keras.

"Call me what?" Pras kini menciumi Jevan yang kegelian karena bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang lelaki dewasa itu.

"Uncle Pras. My uncleee! Geli uncle." Jevan tertawa. Pras lalu menurunkan Jevan dari gendongannya. Dan menyambut Galang dengan berpelukan ala pria.

"Welcome back, Kak..." ucap Galang.

"Thank you, Bro..." jawab Pras.

Mereka lalu berjalan ke arah mobil Galang yang juga, ia sendiri yang menyetir. Tak lama, sedan hitam mahal itu melesat di jalan bebas hambatan.

"Bener mau mampir ke rumah dulu? Nggak ketemuan di hotel aja?" Galang melirik ke mantan bosnya yang sudah menjadi kakaknya itu.

"Nope. I miss your wife too, gue mau lihat perut Aira gendut. You are so lucky dude. Gue nggak bisa rasain apa yang lo rasain. So let me see the baby bumb."

"Mulai, deh. Our kids is your kids too bro, Jevan boleh kok panggil kamu Dad, Papi, Ayah, or Bapak." Galang tertawa.

"Can i call you 'Dad', sir?" Ledek Jevan yang duduk di jok belakang. Pras menoleh ke belakang dan tertawa.

"Kecil-kecil udah bisa ngeledek?" Pras terkekeh.

"No. I just try to make you laught and i did it right?" sahut Jevan lagi. Pras dan Galang tertawa. Aira mendidiknya memang harus bisa membaur dengan siapa saja. Tak boleh merasa malu atau minder. Tapi kadang terlalu bawel juga untuk seorang anak kecil.

Mereka sampai di depan rumah Galang yang tak terlalu besar untuk seorang CEO perusahaan ternama. Pras turun dan di susul Jevan. Bocah kecil itu menggandeng tangan Pras dan berjalan ke dalam rumah.

"Aira..." sapa Pras dengan suara beratnya. Aira berjalan dengan perlahan. Perutnya sudah besar sekali.

"Kak Pras, apa kabar?" Aira berjabat tangan. Pras mengusap kepala Aira. Lalu berganti mengusap perut buncit wanita itu.

"Kamu apa kabar, sudah keras banget perut kamu. Aku baik-baik aja, Aira," jawab Pras.

"Iya. Hasil olahan Galang, nih. Kembar kali ini." Kekeh Aira. Pras tertawa. Galang masuk ke dalam rumah dan mengecup kening Aira. Lalu melirik Pras.

"Kita bikin Kak Pras iri sayang...." Galang tak risih. Ia menciumi wajah Aira di depan Pras yang hanya tertawa lalu berjalan masuk ke dalam rumah itu. Ia langsung duduk di sofabed warna kuning terang dan memanggil Jevan sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat.

"Apa ini, Dad?" tanya Jevan ia lalu membukanya. Lembaran uang dollar ia letakkan di atas meja. Jevan bingung.

"Buat beli mainan," jawab Pras sambil merentangkan kedua tangannya ke udara meregangkan otot tubuhnya.

"Home sweet home...." ucap Pras, ia lalu tersenyum sambil memejamkan mata.

"Pa! Ma! Ini kata Daddy Pras buat beli mainan. Bisa dapet berapa?" Jevan masih bingung. Galang berjalan menghampiri sambil berbicara,

"Sama toko-tokonya." Celetuk Galang sambil merapikan dan memasukan kembali ke dalam amplop.

"Kak, berlebihan ini." Galang protes.

"Shut your mouth, buat keponakan gue, uang segitu nggak ada artinya buat gue," jawab Pras sambil memejamkan mata.

"Kak, jangan begitu, Aira nggak bisa terimanya." Kini suara Aira terdengar. Pras membuka kedua matanya.

"Do what you wanna do, gue udah kasih buat Jevan. Terserah kalian sisanya mau diapain."

Tatapan Pras mengintimidasi. Duda matang nan menggoda itu tak bisa dibantah. Galang dan Aira saling menatap. Ia lalu meninggalkan Pras ke dalam kamar yang sedang duduk santai di temani Jevan.

"Kita cari calon istri buat dia deh, Ra. Risih aku lama-lama kalau dia manjain anak-anak kita kayak gini. Keburu lapuk juga nanti." Galang tertawa hingga kedua matanya menyipit.

"Hus. Ngaco ngomongnya. Nggak lihat tuh penampilan dia masih setegap itu. Om-om inceran cabe-cabean banget itu. Sugar daddy. Tapi aku nggak mau kalau sampai dia punya baby sugar atau pelacur buat jadi one night standnya dia, Ya."

"Makanya. Kita jodohin sama siapa ya?" Galang mondar mandir di dalam kamarnya.

"Sabar aja dulu. Dua minggu kan di sini, siapa tau ada jalannya nanti, kita fokus ke ini duit segepok 3000 dollar mau diapain. Ini kalo di rupiahin bisa buat bayar sekolah Jevan sampe lulus TK dua tahun."

"Salah kita anggap dia Kakak sekarang, kalau manjain Jevan sampe segini. Kenapa nggak dari dulu aja kan ya, aku jadi nggak perlu lewatin fase kerja di pabrik." Aira melotot mendengar penuturan suaminya itu.

"Eh... eh... eh... mau buka kisah lama?!" Aira berkacak pinggang.

"Hahaha, nggak sayang. Hah..., si kembar mau lahir, aku puasa dong, empat puluh hari?"

"Iya dong, Papa Galang, enak kan, pu-a-sa." Pelotot Aira. Galang menunduk lesu sambil mengusap perut buncit Aira.

"Makanya. Jangan kelupaan cabut melulu," ledek Aira. Ia lalu melepaskan tangan Galang dan berjalan ke arah lemari.

"Idih. Aku disalahin. Kamu kan yang suka nahan-nahan, dikit lagi, Lang, jangan, cab--" Aira membekap mulut Galang dengan tangannya.

"Aku cabein mulut kamu mau?!" Pelotot Aira lagi. Galang terkekeh. Ia lalu mengecup kening dan bibir Aira.

"Biarin. Aku mau punya anak banyak pokoknya," Galang memeluk Aira walau pelukannya terhalang kedua anak kembarnya di dalam perut istri tercintanya itu.

"Aku kasian sama Kak Pras, dia nggak bisa kasih keturunan ke perempuan mana pun." Suasana menjadi sendu. Galang setuju dengan ucapan Aira.

"Mudah-mudahan ada wanita yang bisa terima kondisi Kak Pras suatu saat nanti."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rianievy

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku