Cinta yang Tersulut Kembali
Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kubuka mata saat suara alarm ponsel meraung-raung di atas meja. Tanpa perlu melihat jam, aku tahu pasti saat ini memang sudah waktunya untuk bangun. Tepat pukul 05.00, aku menyetel alarm itu.
Aku menghela napas panjang, sebelum benar-benar mencoba bangun dari ranjang. Gerakanku terhenti karena sebuah tangan yang tengah melingkar posesif di pinggangku. Kulirik sekilas pemilik tangan itu yang masih tertidur nyenyak di sampingku.
Tersenyum kecil dikala menatap wajah polos teman tidurku ini yang tidak lain merupakan suamiku sendiri. Raefal Syahreza namanya, tepat berusia 36 tahun di tahun ini. Usia yang sama sepertiku karena kami seumuran, hanya terpaut lima bulan saja. Pria yang sudah kunikahi sepuluh tahun lamanya. Pria yang seolah seumur hidupku selalu ada dia di sampingku.
Sebelum resmi menjadi suami-istri, kami menjalin hubungan selama tujuh tahun lamanya. Pertama kali berpacaran, saat itu kami masih duduk di bangku SMA. Seulas senyum selalu tersungging di bibirku setiap kenangan manis itu terlintas.
Aku tak akan mengatakan suamiku ini pria yang sempurna, mungkin masih banyak pria lain yang jauh lebih sempurna darinya di luar sana. Tapi bagiku, pria ini memang sangat sempurna. Parasnya yang menurutku tampan, otak cerdasnya yang selalu berhasil membuatku berdecak kagum, kemandiriannya yang membuat keluargaku sekalipun selalu memujinya. Dia sosok orang yang begitu dibanggakan bukan hanya oleh keluarganya, tapi juga oleh keluargaku.
Namun, dari semua hal istimewa yang dimilikinya, kebaikan hatinya serta perhatiannya padaku dan keluarga kecil kami adalah segalanya bagiku. Menjadi alasan yang membuatku bertahan bersamanya sampai detik ini dengan cinta tulusku yang hanya kupersembahkan untuknya.
Sesibuk apa pun dia di tempat kerja, tak pernah sekali pun mengabaikan kami. Itu dia yang membuatku sangat mencintai suamiku. Baginya keluarga adalah segalanya. Meski kini dia tengah bersinar dalam karir bisnisnya. Kesibukan dalam bekerja tak pernah membuat dirinya mengabaikan keluarganya.
Aku tahu betul bagaimana dia saat masih bukan apa-apa, saat dia hanya seorang pemuda yang tengah menuntut ilmu setinggi-tingginya. Pemuda yang rela mengejar beasiswa demi kelangsungan pendidikannya karena dia bukan berasal dari keluarga berada.
Akulah saksi hidup bagaimana kerasnya perjuangan suamiku ini hingga dia meraih kesuksesan seperti sekarang. Dia yang awalnya hanya pekerja biasa di sebuah perusahaan Jepang yang bergerak di bidang elektronik. Hyoma Industries nama perusahaannya sekaligus merk produk elekronik mereka. Sudah tujuh tahun suamiku bekerja di perusahaan itu, sekarang dia telah menjabat sebagai General Manager di salah satu cabang perusahaan yang terletak di kota Bandung. Terhitung sudah hampir tiga tahun kami menetap di Bandung ini, menempati rumah dinas yang disediakan perusahaan.
Aku memindahkan dengan perlahan tangan suamiku, khawatir pergerakanku akan membuatnya terbangun. Setelah memastikan tidur suamiku tak terganggu, aku berjalan santai menuju kamar mandi, berniat untuk mandi.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mandi, hanya menghabiskan sepuluh menit saja. Setelahnya aku bergegas menuju dapur, aku harus menyiapkan sarapan untuk kami bertiga hari ini. Sudahkah aku bercerita bahwa di rumah ini kami tinggal bertiga?
Aku, suamiku dan Raffa ... putra semata wayang kami yang kami dapatkan setelah empat tahun usia pernikahan. Sungguh dia putra yang kami nanti-nantikan. Kini usianya menginjak 6 tahun, dan dia sudah bersekolah di taman kanak-kanak tak jauh dari kantor suamiku.
Setibanya di dapur, aku menyiapkan makanan sederhana. Roti bakar untukku dan suamiku, serta sereal untuk putra kesayanganku. Tak lupa kubuatkan juga teh manis hangat untuk suamiku dan susu coklat untuk Raffa.
“Hm, selesai.”
Kupandangi dengan bangga hasil kerja kerasku yang kini terhidang di atas meja. Sarapan pagi kami telah siap, kini harus kulakukan tugas selanjutnya. Bisa dikatakan inilah tugas rutinku setiap hari, terutama di pagi hari.
Aku kembali masuk ke dalam kamar. Kutemukan suami tercintaku masih bergelung manja di tempat tidur kami. Kuhampiri dia, tanpa pikir panjang atau merasa ragu, kusingkap selimut tebal yang membungkus tubuh tegapnya. Aku merona hebat saat tatapanku tertuju pada perut kekarnya, karena semalam dia tidur dengan bertelanjang dada. Padahal sudah sepuluh tahun aku menjadi istrinya, terhitung sudah tujuh belas tahun sejak kami berpacaran, aku selalu berada di sampingnya. Tapi, tetap saja melihat tubuh kekar suamiku yang menjadi salah satu alasanku membanggakan dirinya, selalu membuatku tersipu malu.
“Sayang, bangun. Udah jam enam, nanti kamu telat ke kantor.”
Dia tak menyahut atau pun membuka kedua matanya. Dia tetap bergeming di tempat tidur dengan posisi yang sama yaitu tengah telentang di atas kasur. Kuulurkan tangan, berniat untuk mengguncang tubuhnya. Dan saat itulah aku sadar telah melakukan kesalahan.
Dengan sekali hentakan dia menarik tanganku yang terulur padanya. Seketika tubuhku jatuh menimpa dirinya. Ketika aku hendak bangun, dia memelukku erat sehingga aku tak sanggup berkutik dalam kungkungannya ini.
“Kamu apaan sih? Lepasin. Nanti kamu telat lho.”
“Aku masih ngantuk. Kamu temenin aku tidur bentar lagi ya,” sahutnya manja, dia memelukku seolah aku sebuah guling.
“Jangan gini, serius kamu bisa telat. Lagian aku harus bangunin anak kamu juga.” Kudengar suara erangan, sepertinya dia tak suka mendengar penolakanku.
Ketika akhirnya aku terlepas dari kungkungannya, aku bergegas bangkit berdiri.
“Ayo cepat bangun Mr Raefal sang pemalas.” Kutarik tangannya setelah menggodanya dengan ejekan itu. Dia pun tak menolak kali ini, dengan mudah aku berhasil mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.
“Aku masih ngantuk banget. Serius,” katanya lagi, beralasan.
“Salah sendiri kenapa begadang semalam.”
“Ya, mau gimana lagi, aku harus nyiapin bahan buat meeting.”
“Kamu ada meeting hari ini?” Dia menjawab dengan anggukan kepala.
“Berarti kamu telat pulang hari ini?”
“Iya, tapi aku usahain cepat pulang. Kalau meeting-nya selesai, aku pasti langsung pulang.”
Kali ini aku yang mengangguk. Mau bagaimana lagi, dia seorang pimpinan cabang, menghadiri meeting sudah menjadi rutinitasnya. Sebagai istri, aku hanya bisa memaklumi di saat dia harus pulang larut karena meeting yang terkadang memakan waktu sampai malam.
“Ayo, mandi sana!”
Kulihat dia masih bermalas-malasan untuk bangun. Terpaksa aku pun melakukan tindakan. Aku mendorong punggungnya agar tubuhnya yang sudah berdiri menjulang di hadapanku sekarang, bisa bergerak menuju kamar mandi.
“Kita mandi bareng, gimana?” Ajaknya seraya mengedipkan sebelah mata, jahil.
“Jangan ngaco. Kamu kayak Raffa aja minta mandi bareng.” Jelas aku menolak permintaan konyolnya ini.
“Dulu kita sering mandi bareng. Udah lama kamu gak gosokin punggung aku,” katanya lagi, aku memutar bola mata, malas.
“Pergi aja ke tempat spa kalau mau luluran.” Dia mengendikan bahunya mendengar jawabanku ini.