Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Runi membaringkan tubuh perlahan pada salah satu kasur tipis yang dijajarkan di atas lantai ruang kamar penginapan yang cukup besar itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat beberapa menit. Semua teman sekamarnya tampak sudah tertidur pulas, kecuali Debby di ujung sana yang masih tampak berbisik-bisik dengan Maharani yang berbaring di sebelahnya, dan Susan yang tampak berbicara pelan dengan nada mengantuk pada seseorang yang tampil pada permukaan layar ponselnya, mungkin pacarnya.
Seketika Runi teringat Andre, pacar-baru-jadian-seminggunya yang seharian ini hanya sempat dikontaknya melalui jawaban-jawaban chat singkat yang ia ketik di sela-sela kesibukannya. Mungkin besok setelah semua kegiatannya di kota kecil ini benar-benar sudah selesai, baru Runi akan menghubunginya.
Runi menggeliat tanpa suara, meregangkan otot-otot dan meluruskan kedua kakinya yang terasa pegal, setelah bergerak kesana kemari di lapangan selama seharian tadi. Besok adalah hari terakhir Runi dan teman-teman seangkatannya dari jurusan Pendidikan Luar Biasa melaksanakan praktik kerja sebagai pengajar di yayasan tuna rungu di kota ini. Semua yang terlibat dalam kegiatan ini sudah menyiapkan acara penutupan meriah, yang diharapkan akan bisa memberikan kebahagiaan dan meninggalkan kesan tak terlupakan bagi anak-anak itu.
Runi tersenyum, sedikit terharu saat mengingat kembali betapa anak-anak berkebutuhan khusus itu tampak senang dan antusias sekali, sejak awal kedatangan Runi dan teman-temannya selaku tim relawan dari Jakarta yang akan membantu memberikan pengajaran kepada mereka selama beberapa hari. Wajah-wajah polos penuh senyum mereka kembali terbayang di ingatan Runi. Kemudian ia memiringkan tubuh dan mulai memejamkan mata.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdenting. Halus, namun terdengar jelas di telinganya.
Runi meraih ponsel dari dalam tas yang tergeletak di sisi tempat tidurnya, kemudian membaca dengan cepat tampilan pop-up pesan pada bagian atas layar. Whatsapp dari mama. Ia menyentuh layar, kemudian membaca isinya.
--Pulang ke Jakarta segera malam ini. Kita harus keluar dari kontrakan besok pagi-pagi. Kita sudah diusir. --
Pesan yang singkat, padat, jelas, dan sontak membuat mata Runi yang nyaris terpejam, kembali membelalak lebar. Otot-ototnya yang sedianya sudah siap untuk diistirahatkan, dipaksa untuk kembali terjaga. Runi menarik tubuhnya ke posisi duduk.
Ada apa lagi ini, keluh Runi dalam hati. Please, Ma, jangan sekarang, deh!
Runi mengetik chat balasan untuk mama yang hanya berisikan kalimat pendek --ada apa, Ma?--.
Kemudian tanpa menunggu jawaban dari mama, ia segera beranjak bangkit, dan langsung mengikat rambutnya yang panjang sebahu dengan satu ikatan ekor kuda di belakang kepala tanpa menyisirnya lebih dahulu. Ia melangkah dengan lemas menuju sudut ruangan, di mana tas ransel besar dan barang-barangnya berada. Ia sudah tahu, apapun jawaban mama nanti, ia tetap akan dipaksa pulang.
Runi mulai mengemasi semua barangnya dengan gerakan cepat tanpa suara, juga tanpa semangat. Keningnya berkerut dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, entah karena efek memaksakan mata untuk kembali terbuka saat sedang nyaris terlelap, atau karena keterkejutan akan pesan dari mamanya.
Ponselnya kembali berdenting halus. Runi melirik ke layar ponsel yang diletakkannya di atas lantai, masih dalam posisi layar chat pribadi dengan mamanya.
- Udah, pokoknya kamu pulang aja dulu. Barang-barang kamu perlu dikemas secepatnya ini. Kalau enggak, nanti bisa hilang semua. -
Jawaban yang tidak memperjelas apapun sama sekali. Malah berkesan mengancam supaya Runi segera pulang jika tidak ingin kehilangan barang-barangnya, dan seolah ini semua adalah kesalahannya. Padahal Runi saat ini berada dalam posisi yang sama sekali tidak tahu apa alasannya ia disuruh pulang secara tiba-tiba seperti ini.
Runi melayangkan pandang kepada teman-temannya yang kini telah tertidur pulas. Rasanya sedih, kesal, tidak enak hati, dan ingin marah. Tapi entah mau marah pada siapa. Mungkin pada mama saja nanti saat mereka sudah bertemu.
Runi mengencangkan tali tas ranselnya, mengangkatnya ke punggung, dan melangkah pelan keluar kamar. Ia harus mencari Mbak Shinta, kordinator timnya dalam praktek kerja ini, untuk meminta izin pulang.
Sambil berjalan menyusuri selasar gelap untuk menuju ke ruang bagian depan gedung serbaguna di mana ia berada saat ini, tangannya sibuk mencermati layar ponsel untuk mengecek jadwal kereta api. Sementara itu otaknya sibuk menyusun kalimat yang paling tepat sebagai alasan permintaan izin pulang yang mendadak ini. Jangan sampai Mbak Shinta malah curiga dan menganggap Runi hanya ingin lebih cepat pulang saja karena malas berlama-lama berada di tempat ini. Itu adalah hal yang sangat dihindarinya.
“Mbak … Mbak Shinta …." bisik Runi sembari mengetuk perlahan daun pintu di hadapannya itu. Ia khawatir suara ketukannya akan membuat orang lain yang tidur sekamar dengan Mbak Shinta akan ikut terbangun.
Namun tidak ada jawaban dari dalam. Runi kembali mengetuk sedikit lebih keras.
"Mbak ... Mbak Shinta? Mbak … udah tidur?” Runi berucap sedikit lebih keras daripada sebelumnya.
Hanya satu detik kemudian, terdengar suara alas kaki yang bergesek terseret di atas permukaan lantai di dalam ruangan kamar. Lalu Mbak Shinta muncul membukakan pintu dengan satu tangan. Satu tangannya lagi tampak memegangi selembar kapas basah yang sedang diusap-usapkan ke wajah dengan gerakan berputar.