Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Beri Kami Rumah
5.0
Komentar
223
Penayangan
15
Bab

Cerita ini berkisah tentang seorang wanita bernama Nada Alaira.Tidak pernah menaruh kata cinta dalam kamus hidupnya. Pada akhirnya ia harus tunduk dan luluh dengan seorang pria bernama Giyung Ahmad. Latar belakang mereka yang jauh berbeda, Nada seorang wanita berpendidikan S1 dan bekerja sebagai pegawai bank, sedangkan Giyung seorang kuli sawit yang bekerja di Tanah Jiran. Mereka dipertemukan melalui sosial media Facebook dan menjalin hubungan jarak jauh. Nada harus merelakan mimpi dan masa depannya demi cinta yang ia pilih sendiri. Namun, cinta itu malah berbanding terbalik dengan harapannya. Hubungan mereka penuh dengan lika-liku.

Bab 1 Bertabur Bintang

Aku akui bahwa cinta memang sihir paling mematikan bagiku. Bagaimana tidak? Aku yang dulu sangat berambisi untuk meraih cita-cita, kini terpatahkan sia-sia. Masa depan yang dulunya aku mimpikan sedari kecil kandas di tengah jalan. Semuanya terkubur dalam labirin penyesalanku. Entah apa yang aku pikirkan dulu sehingga langkahku goyah dan mampu dibantai habis oleh yang namanya cinta.

Aku seorang mahasiswi berprestasi di Universitas Mantira. Tidak ada waktu yang aku habiskan untuk bermain-main. Bahkan bergelut di dunia asmara, aku anggap itu hanyalah ilusi yang akan menguras tenaga saja. Begitulah prinsipku, mimpi adalah hal utama. Tidak neko-neko aku mengupayakan untuk meraihnya. Belajar dari pagi sampai pagi lagi.

Aku mengambil jurusan pendidikan kimia. Sudah bisa ditebak bagaimana suasana belajarnya. Berkecimpung di dalam laboratorium dan perpustakaan setiap hari. Jadwal yang sesak akan tugas, laporan dan ujian. Banyak dari teman-temanku mengeluhkan salah jurusan. Namun, sama sekali tidak bagiku. Semua itu aku anggap sebagai tantangan dan kerikil-kerikil kecil yang harus aku lewati. Bagaimana dengan mereka yang mengambil jurusan lebih sulit dari kami? Dokter misalnya. Pasti berkali-kali lipat usahanya lebih ekstra dibandingkan dengan kami.

Aku memberanikan diri mengambil resiko ikut organisasi pena kampus di sela-sela kesibukanku. Aku pikir organisasi ini tidak terlalu menguras tenaga seperti lainnya. Belajar menulis dan mempublikasikannya, mungkin hanya itu saja kegiatannya. Tidak ada program ke luar kampus, membuat acara-acara sampai harus rapat setiap hari atau setiap minggu. Memang ada program seperti itu, tapi tidak sepadat yang dilakukan oleh organisasi lain. Jadi, waktuku juga fleksibel menyesuaikan dengan rutinitas utamaku.

Mencari lomba gratisan adalah strategi ku untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Memang terdengar sangat konyol, tapi itulah kegiatan positif yang aku terapkan selama kuliah. Waktu libur aku gunakan untuk hal tersebut, ikut lomba dimanapun asalkan gratis. Apalagi lomba yang sering diadakan oleh pemerintah atau instansi besar BUMN, itu adalah lomba paling bergengsi dan sangat aku tunggu-tunggu. Aku buat list di note kecilku dan aku tempelkan di dinding. Jangan heran jika kamarku penuh oleh buku-buku seperti perpustakaan dan note-note kecil yang memenuhi dinding kamarku.

Alasan urgensi mimpiku karena apa? Baik aku jelaskan satu-satu. Pertama, ini adalah cerita paling umum bagi seseorang yang bertekad untuk sukses, pasti dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi orang tuanya, atau bisa dikatakan sudah mengalami situasi susah semasa hidupnya. Aku tidak suka mengingat kisah pilu itu, tapi semoga saja bisa menginspirasi. Sejak menginjak bangku kelas 2 SD, bayangkan saja aku harus mencari botol bekas keliling kampung hanya untuk bisa jajanan di sekolah. Mungkin cerita ini sudah umum dan masih banyak di luar sana yang mengalaminya, tapi aku pernah berada di titik itu.

Kedua, kakak kelasku banyak yang menempuh kuliah di luar negeri dengan menggunakan beasiswa. Mereka terlihat sangat keren menggunakan bahasa inggris setiap hari, pergi jalan-jalan dan mengeksplor dunia luar sesuka hati. Itulah mimpiku. Kuliah ke luar negeri sampai bergelar professor. Membayangkannya saja sudah membuat otot-otot jantungku berdebar kencang seakan memacu adrenalin ku untuk berjuang lebih keras lagi.

"Sudah dapat prestasi apalagi bulan ini, Nad?" tanya Pak Jufri. Dia adalah dosen yang bertugas mencatat prestasi mahasiswa di prodi kami. Mukaku sudah dihafal oleh Pak Jufri karena keseringan datang ke kantornya untuk melapor prestasi-prestasi yang aku raih setiap bulannya. Perlu digarisbawahi bahwa kampusku sangat mewadahi mahasiswa untuk terus berprestasi. Contohnya saja aku kerap diberikan uang saku sebagai bentuk apresiasi dari mereka.

***

Kampus putih adalah julukannya. Kampus tempat aku mengenyam pendidikan selama tiga setengah tahun lamanya. Semua memori hangat akan terekam sebagai kenangan indah. Terasa berat jika harus meninggalkannya. Aku belum siap menjadi alumni lantaran masih banyak hal memuaskan yang tidak sempat aku persembahkan untuk kampus tercintaku. Namun, ada rasa bangga dibalik itu semua. Bangga pernah menjadi bagian keluarga besarnya, mengenakan almamater biru tua yang berlogo kelopak bunga kuning. Inilah waktunya aku akan diresmikan melepas almamater itu. Almamater yang menjadi atribut kebanggaanku ketika berkompetisi dengan mahasiswa dari luar. Semangatku seakan menyala-menyala saat itu. Dan sebentar lagi almamater itu akan menjadi pernak lemari.

"Saatnya acara pengukuhan gelar, yuk kita siap-siap" kata salah satu temanku berbisik dari belakang.

Acara yudisium pertama kalinya untukku. Aku salah satu mahasiswa yang diundang untuk menghadiri acara di ruang khusus. Sekitar lima puluhan orang mengisi ruangan. Kami adalah sekumpulan mahasiswa pilihan yang mewakili ratusan teman lainnya. Selain dilandaskan dari IPK tinggi, tapi juga dilihat dari puluhan prestasi yang pernah dikumpulkannya. Aku sudah terbiasa mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini. Sebelum acara ini juga, aku pernah berkali-kali diundang khusus menghadiri seminar internasional di kampus, menjadi pembicara dan beberapa acara-acara spesial kampus lainnya.

Satu persatu nama, gelar dan IPK disebutkan oleh Ketua Jurusan. Walaupun sudah terbiasa bertemu dengan para petinggi kampus, tetap saja ada rasa gugup yang mengelabui pikiranku pada detik-detik giliranku. Kakiku bergetar tanpa kendaliku. Aku berusaha mengalihkannya dengan meminum air gelas yang disediakan oleh panitia berkali-kali.

"Nada Alaira, S.Pd dengan IPK 3.97 predikat Cumlaude," kata Pembawa Acara terdengar menggelegar. Riuh tepuk tangan dan decakan kagum memenuhi seluruh ruangan. Aku berdiri dan menguntai senyum malu karena tatapan mata penuh keheranan dan kekaguman terus menyoroti tanpa henti.

Usai acara, aku disuruh menghadap ke Dekan untuk mengambil hadiah dan plakat penghargaan. Saat memasuki ruangan Dekan, aku mengira tidak ada orang. Ada dua orang lainnya juga yang sedang duduk dan mendapatkan perlakuan sama sepertiku.

"Selamat, ya. Semoga ilmunya berkah dan bermanfaat bagi banyak orang. Aku bangga memiliki mahasiswa sepertimu. Semoga di lain waktu kamu bisa menjadi rekan kerjaku," ucap Pak Dekan sambil menyalamiku.

"Terima kasih banyak, Pak. Suatu kehormatan bagi saya" balasku sambil memberi senyum. Ada perasaan haru saat aku dinantikan sebagai rekan kerjanya. Harapan dan ekspektasinya sangat besar padaku. Aku jadikan itu sebagai pedoman, semangat dan juga beban yang harus aku tuntaskan.

Dua minggu setelah acara itu, dilanjutkan dengan wisuda di Gedung Abu Bakar. Konsep acaranya sama dengan yudisium, bedanya keluarga kita bisa menyaksikan dan turut andil. Pada saat acara wisuda pun aku mendapatkan plakat, bunga dan uang apresiasi dari kampus. Benar-benar banyak keistimewaan saat mengakhiri peranku sebagai mahasiswa. Jika bisa diandaikan, aku sedang berada di antara taburan bintang-bintang.

Belum selesai sampai disitu, namaku menjadi heading berita lokal. Para jurnalis saat itu juga memburuku untuk diwawancara. Aku dengan senang hati membantai setiap pertanyaan mereka. Satu minggu setelahnya berita itu dipublikasikan di media cetak. Akibatnya dalam satu bulan banyak undangan dari organisasi kampus dan instansi pemerintah mengundangku untuk ikut serta menjadi pembicara di beberapa acara penting.

Sejujurnya otakku masih belum sadar sepenuhnya dengan situasi itu. Aku mengira bahwa semua penghargaan itu masih dalam khayalanku saja. Khayalan yang ingin aku wujudkan dari dulu. Khayalan yang menjadi wish list aku. Kerja keras yang aku lakukan selama itu memang tidak akan berkhianat. Aku menutupnya dengan sempurna.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku