Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Percaya dan takut muncul secara simultan. Nadyne berusaha menghela napas panjang, memberhentikan isakan tangis yang sudah saatnya bermuara. Si tangan kanan dan kiri bergantian mengusap pelupuk. Memberantas segenap kesedihan yang tengah merajai. Bertekad mengakhiri sandiwara rumah tangga, dengan segera memalingkan pandangan pada suaminya.
“Mari bercerai,” tutur wanita itu santai. Wajah sedih hanyut dalam tangis itu sirna, berubah menjadi tajam.
Terperangah. Lawan bicara yang dimaksud sampai mengerutkan dahi. “Apa kau gila?”
Bercerai adalah satu kata yang berbahaya dalam kehidupan berumah tangga. Roh jahat mana yang hinggap di tubuh istrinya.
"Apa aku perlu berteriak agar semua orang dengar?" Kalimat itu membuat Daniel menatap sengit istrinya.
Rika baru saja dimasukkan ke liang lahat. Para tukang gali kubur bahkan masih merapikan tanah untuk menutupi mayat mantan pensiunan guru tersebut. Tanah coklat khas kuburan berceceran hingga mengenai kaki mulus wanita yang barusan mengajak suaminya berpisah. Situasi haru dan tangis yang mengisi area pemakaman, tidak lain bagai abu beterbangan, tak berarti.
"Apa kepergian ibu membuat kamu kehilangan kesadaran?" Tukas suaminya.
Tidak ada kecelakaan yang membuat saraf Nadyne bermasalah kan? Dia begitu berani untuk ukuran seseorang yang baru saja ditinggal ibunya sendiri. Mengajak bercerai tepat di depan pemakaman ibunya yang masih sangat baru.
"Aku, ingatkan. Kita di depan pemakaman ibu, Nadyne Aleena!"
Mertuanya baru saja diantarkan ke tempat peristirahatan terakhir, tapi istrinya justru asal bicara. Pernyataan anak kurang ajar seketika tersemat dalam diri Nadyne. Tidak beradab dihari penuh duka lara. Meski di titik nadir paling getir, bagi wanita itu di atas awan.
Membisu. Mematung. Tidak muncul reaksi apapun, hanya konsisten menatap suaminya penuh kebencian. Geram.
Dibiarkan tanpa tindakan, suatu jalan yang buruk. Masalah rumah tangga ini dapat menjalar dan menghebohkan area pemakaman yang ramai. Sebelum badai itu menerpa, menerjang rumah tangganya, meluluhlantakkan hubungan diantara mereka, Daniel segera mengalihkan pandangan pada bawahannya.
“Johan, bawa istri saya pergi dari sini!”
“Baik tuan.”
Spontan lelaki bertubuh kekar itu berjalan mendekati istri majikannya. Dengan sigap, Johan memegang tangan wanita itu tanpa ragu. Berniat menggiring nyonya bos.
Usai mendengar ucapan Daniel, tatapan maut itu belum kunjung surut. Sepatah kata juga tidak mewakili perasaan Nadyne. Dia, kehabisan kata dititik terberatnya.
"Cepat pergi!" Titah Daniel, lagi.
Daniel takut pertengkaran diantara mereka memuncak. Ditengah hiruk-pikuknya area pemakaman yang pilu, jangan sampai terjadi keributan. Pertikaian mereka dapat di cap durhaka dan tidak menghormati kepergian almarhumah.
Saat lelaki itu menyuruh pergi untuk yang kedua kali, sudah cukup membuat Nadyne mengalah. Egonya bisa menyetir dia untuk memberontak. Menguak fakta di depan khalayak umum perihal deritanya. Namun, pikiran jernihnya masih tersisa. Bukan karena tidak mampu, sisi kedewasaan patut hadir meski menjerit menahan sakit.
“Lepaskan! saya bisa jalan sendiri,” ungkap Nadyne, sadar adanya tangan yang berniat menuntun.
Johan segera menurunkan kedua tangannya.
Terasa kentara luka di depan mata, menyaksikan surganya telah tiada. Detik ini juga, Nadyne mesti dibawa pergi dari area pemakaman. Sebuah potongan kata dan frasa tidak terlontar secercah pun dari mulut dia. Nyaris semua mata memandang almarhumah ibunya, hanya Nadyne dan Daniel yang saling menautkan tatapan mengerikan.
******
Tarikan napas terakhir mu, adalah kehancuran duniaku.
Sunyi, sepi, senyap. Aroma lavender khas kamar ini tercium pekat. Pemiliknya rutin menambah pengharum ruangan meski masih ada seperempat. Buku-buku dari mulai pendidikan sampai sastra klasik tersusun rapi di rak kayu. Berprofesi sebagai guru, menjadikan Rika sebagai sosok kutu buku. Jika hari libur tiba, ia bisa menghabiskan berjam-jam di dalam kamar untuk membaca buku.
“Aku... benar-benar sendiri,” lirih seorang gadis di atas ranjang berselimut duka.
Nazhira berbaring menghadap ke kanan, dia dapati gorden putih yang menerawang. Menatap haru benda mati dengan pikiran melayang. Berteman dengan luka, gadis itu tampak lemah di atas kasur.
"Semuanya pergi saat aku belum siap dengan kehilangan."
Tangannya memegang erat selimut yang menutupi badan. Rasa sakit kehilangan sosok ibu begitu menyakitkan. Takdir yang tidak bisa siapapun lari darinya, kini harus menimpanya. Jantung hatinya kembali pada pangkuan Ilahi, dia menangis diambang pintu kesakitan.
"Kenapa harus ibu yang pergi?" Lirihnya lagi. Fakta people come and go, sungguh menyayat hati.
Kenapa harus ada datang dan pergi. Kenapa perpisahan begitu menyesakkan dada. Kenapa tetesan air dari telaga mata kian melumuri. Kenapa batin ini terasa disiksa. Kenapa Tuhan mentakdirkan perpisahan. Dan, kenapa harus ibu.
Mereka berpikiran sempit ketika ujian menyapa. Mereka egois, enggan berkaca. Ya, mereka manusia dengan sepaket kekurangan. Kekurangan yang mewujudkan rasa ingin segalanya. Kekurangan yang melupakan filosofi diri mereka sebagai hamba. Mereka, begitu.
Hakikat kehidupan yang fana seperti bualan. Mereka merasa memiliki hingga sulit melepaskan. Pada akhirnya, mereka terluka karena dirinya sendiri.
“Kakak, akan selalu bersamamu,” respon Nadyne.
Dibalik badan adiknya, dia berdiri menyaksikan adegan saat ini. Derasnya air mata terlihat jelas membasahi bantal. Adiknya membanjiri bantal mendiang sang ibu dengan buliran bening yang tak kunjung putus.
“Aku tidak percaya lagi ucapan manusia. Mereka selalu berkata begitu, pada akhirnya meninggalkanku juga."
Rasa sakitnya luar biasa menyebar, ucapan kakaknya bak buih dilautan. Ibu seminggu yang lalu pun berucap demikian, pada ujungnya pergi tanpa pamit. Bagi Nazhira, kalimat tersebut hanya omong kosong. Lagi-lagi, dia harus sendiri. Sendiri menjalani sisa hidup tanpa ibu, yang tak terganti.