Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Second Love
5.0
Komentar
100
Penayangan
2
Bab

Karena putus asa akan istrinya yang tidak ingin hamil, Arkano Pawagra akhirnya diam-diam menyewa jasa Clara untuk memberinya keturunan dengan bayaran hidup Clara sepenuhnya akan dijamin oleh Arkano. Namun, siapa yang tahu bibit-bibit cinta mulai hadir di antara mereka meskipun Arkano secara terang-terangan menolaknya.

Bab 1 Kelopak yang Jatuh

Arkano mengusap lembut rambut panjang wanita yang menyandar di dadanya. Ia tatap penuh sayang wanita cantik itu.

"Aku sayang sama kamu," bisiknya.

Arkano tersenyum tipis. "Iya.. aku juga." Balasnya.

"Kamu masih tetep cinta kan sama aku meskipun kita nggak punya anak?"

Arkano diam sejenak. Ia pikirkan pertanyaan yang terlontar dari mulut wanita yang merupakan istrinya itu. Arkano Pawagra dan Adeline sudah menikah selama 6 tahun, namun selama itu pula Adeline menolak untuk memiliki keturunan, alasannya karena belum siap ditambah karirnya sebagai seorang model yang memperkuat alasannya. Sebagai suami yang mencintai istrinya, Arkano menghargai keputusan Adeline bahkan menelan pahit keinginannya untuk memiliki anak bersama istrinya.

"Aku tetep cinta sama kamu, apapun yang terjadi." Ucap Arkano dengan pelan.

"Makasih, sayang. Makasih karena kamu mau ngertiin aku, kamu mau menghargai keputusan aku. Aku sayang kamu banget. Kamu janji kan ga akan nuntut keturunan dari aku?"

"Iya.. aku janji."

Adeline memeluk erat tubuh shirtless suaminya dan tersenyum dengan lebar.

Arkano sadar bahwa seharusnya ia tidak berbohong, seharusnya Arkano lebih berani untuk mengutarakan perasaannya dibanding menjaga perasaan sang istri, tapi Arkano tidak memiliki keberanian itu. Ia terlalu takut.

**

Arkano berjalan dengan santai menuju ruangannya. Ia sesekali tersenyum membalas sapaan staff kepadanya. Hari ini Arkano lebih luang dari biasanya, hari ini ia hanya perlu menghadiri 2 meeting penting, setelah itu ia tidak memiliki pekerjaan. Kebetulan, ayah-nya sedang berbaik hati untuk membantu meringankan pekerjaannya.

"Pagi, Pak Arkan. Di ruangan Bapak ada Pak Jo, katanya beliau ada urusan dengan Bapak."

Arkano mengangguk. "Makasih, Fika. Tolong anterin dua kopi sama cemilan ya."

"Baik, Pak."

Arkano membuka pintu ruangannya, tampaklah seorang pria dengan rambut berwarna blonde yang sedang berselonjoran di atas sofanya.

"Jo." Panggil Arkano.

Pria bernama Jo itu menoleh lalu memperbaiki posisinya menjadi duduk, sementara Arkano mendudukkan dirinya di sebuah single sofa yang berada di depan Jo.

"Kenapa, Jo? Udah datang aja pagi-pagi." Ucap Arkano.

Jo terkekeh pelan. "Tadinya gue mau mampir kesini pas jam makan siang, tapi kata PA lo, lo-nya sibuk jam segitu jadi pagi ini aja gue kesini."

"Haha.. iya, gue ada meeting sampe lunch nanti. Ada apa nih, Jo?"

Jo membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kertas persegi cantik dari dalamnya. Ia sodorkan kertas itu Arkano dengan senyum yang sumringah.

"Widih, mantep. Mau nikah juga akhirnya lo!" Arkano berseru senang.

"Wah man, penuh perjuangan banget gue buat sampe ke tahap ini. Doain aja lancar."

"Amin, amin. Pasti lancar lah. Sabtu ini ya?"

"Iya, ajak istri lo ya, dah lama gue ga ketemu sama Lin."

"Kalo dia ga sibuk pasti gua ajak, soalnya jadwal kita bisa bentrok kadang-kadang. Sedih gue."

Jo tertawa dengan keras. "Sabar ye, lama-lama kayak duda lo, Kan."

"Bener lagi."

Arkano terdiam sejenak. "Jo,"

"Apa?"

"Lo setelah nikah kepikiran mau langsung punya anak atau engga?" Arkano bertanya dengan hati-hati.

Jo yang paham dengan arah pembicaraan Arkano hanya mampu menarik nafas panjang. Jo ini memang sahabat kental Arkano sejak SMA, lika-liku nya pun Jo tau, karena memang pertemanan mereka seawet itu. Dan menyangkut soal anak, Jo sepertinya paham tujuan dari pertanyaan Arkano.

"Jujur, gue mau langsung kalo udah dikasih ya. Karena kan, gue perlu anak buat penerus gue nanti, Kan. Sebisa mungkin gue bicarain hal begini sama cewek gue, gue kasih dia pengertian dan beruntungnya, dia juga sama kayak gue."

Arkano jadi terdiam. Selama ini ia juga banyak memberikan pengertian pada Adeline betapa berarti kehadiran seorang anak baginya, tapi kenapa wanita itu tetap tidak siap? Kenapa ia tidak mau mengerti seperti kekasih Jo?

"Kan, lo mending omongin lagi hal ini sama Lin. Gue yakin, dia pasti setuju, lebih baik lo jujur aja ke dia."

Arkano hanya menganggukkan kepalanya. Bingung juga ingin merespon apa.

"Yaudah, Kan. Gue mau nganter undangan doang, gue mau mampir ke Kavin sama Reagan lagi abis ini."

"Ok, thank you, Jo."

"Yoo."

Sepeninggalnya Jo, Arkano jadi memikirkan kembali kata-kata dari temannya itu. Tapi, baru semalam mereka membahasnya, masa Arkano harus membahasnya lagi? Yang ada, hal itu akan memicu keributan antara ia dan Adeline. Dan baru semalam juga Arkano berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa anak. Hah.. Arkano mengacak-acak rambutnya yang telah tertanan rapi, memusingkan sekali rasanya, bahkan lebih memusingkan dari laporan acak-acakan buatan staff nya.

Sembari menunggu jam makan siang, Arkano pergi dari ruangannya menuju sebuah caffe yang berada di seberang kantornya. Arkano memesan segelas kopi americano beserta pancake untuk menemaninya hingga jam makan siang, Arkano memang berniat menunggu di caffe saja sampai waktu meeting tiba. Dari pada suntuk di ruangannya, kurang lebih begitu pikir Arkano.

Hampir 15 menit menunggu, akhirnya pesanan Arkano tiba. "Ini pesanannya, Mas."

"Thank you."

Arkano melirik pelayan yang mengantarkan pesanannya, seorang gadis yang masih muda dan cantik.

"Baru disini ya?" Tanya Arkano pelan.

Gadis itu mengangguk. "Saya baru disini, Mas. Baru masuk hari ini." Jawabnya sopan.

"Hm.. soalnya saya baru liat kamu disini, Ruri masih disini kan?"

"Masih, Mas. Tapi Mbak Ruri cuti seminggu."

"Kalo boleh tau, nama kamu siapa? Saya pelanggan caffe ini, pelanggannya Ruri sih lebih tepatnya." Ucap Arkano sembari tersenyum kecil.

"Clara, Mas."

"Oh.. ok, Clara. Saya Arkano, kantor saya di seberang."

Gadis bernama Clara itu menganggukkan kepalanya mengerti. Di seberangnya memang berdiri sebuah bangunan pencakar langit yang sangat terkenal. Rupanya Arkano berasal dari sana.

"Kalau begitu, saya pamit ke belakang dulu. Permisi."

Clara berlalu meninggalkan Arkano yang mulai menikmati hidangannya.

**

Arkano menyelesaikan meeting terakhirnya pada jam delapan malam. Saat ini ia masih diperjalanan menuju pulang ke rumah orangtua nya, tadi siang menelfon bahwa ia harus pergi selama beberapa hari dan menyuruh Arkano untuk menginap saja di rumah orangtua nya. Bukan pertama kalinya jika ditinggal sang istri Arkano akan menginap di rumah orangtua nya, tetapi sudah berkali-kali, pun jadinya orang rumag mengerti jika Arkano pulang ke rumah utama berarti istrinya sedang bepergian.

Arkano langsung memarkirkan mobilnya begitu tiba, ia langsung masuk ke dalam rumah mewah itu dan di sambut oleh pria muda yang bertubuh jangkung dengan kulit yang kelewat putih. Tapi bukan hantu.

"HALO BANG!" Ucapnya nyaring, mengejutkan Arkano yang baru ingin melangkah masuk.

"APA-APAAN LO?!" Semprot Arkano karena terkejut.

"Hehe.. welcome home abang ga duda tapi kayak duda."

"Kurang ajar, sini lo!"

Arkano mengejar pria yang kini lebih dulu berlari masuk kedalam berteriak-teriak memanggil orangtua nya.

- bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku