Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
"Marlena, Marlena!" Thomas menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Marlena dan keluarga yang lagi sibuk menata ruangan, terkejut hingga semua pasang mata menatap Thomas.
"Ada apa, Thomas? Kenapa seperti dikejar-kejar setan?" spontan Marlena bertanya dengan ekspresi bingung.
Thomas belum menjawab. Setibanya di depan Marlena dan keluarga, dia menunduk mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal terlebih dulu.
"Bagaimana jika pernikahan ini kita undur. Satu hari saja." Mendengar itu sontak semua orang yang ada di sana terkejut. Mata mereka membelalak dan bibir mereka menganga.
"Maksudmu apa, Thomas? Kamu ingin mengundur pernikahan ini? Memangnya ada apa? Kamu masih ragu?" dari sekian orang yang ada di sana, Marlenalah yang paling terkejut. Tubuhnya mendadak lebih tegak karena tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Thomas.
"Bukan. Bukan itu, Marlena. Tetapi karena cincin peninggalan ibu tertinggal di rumah Bibi Margaretha." Wajah Thomas tampak cemas.
Marlena diam sejenak. Dia belum berani memberi jawaban pada Thomas. Sesekali matanya menatap Santos, Ayahnya dan Maritha, ibunya. Seolah sedang meminta pendapat.
Tetapi mereka semua diam. Mungkin saja turut bingung dengan keadaan ini. Marlena masih menimang-nimang kemungkinan yang terjadi.
"Bagaimana kalau kita menikah tanpa cincin itu, Thomas?" tanya Marlena dengan sangat hati-hati.
"Tidak bisa, Marlena. Aku sudah pernah cerita tentang cincin itu padamu. Kamu tahu cincin itu adalah pembawa keberuntungan dan akan melanggengkan hubungan rumah tangga kita, Marlena. Cincin itu sudah turun-temurun." Thomas menggeleng cemas. Kecemasan tercetak semakin jelas di wajahnya.
Semua orang terdiam di ruangan itu. Ada yang menunduk sembari memegangi bibirnya. Ada melongo karena benar-benar berada dalam keadaan yang sulit. Sedangkan Marlena? Matanya mulai basah.
"Bagaimana ini, Ayah?" Marlena yang sudah tidak sanggup menanggung beban ini melimpahkan pada ayahnya.
"Kalau Ayah nurut kamu saja, Marlena. Tapi ada hal penting yang harus kamu ingat. Bahwa apa pun peninggalan dari orang tua bisa mendatangkan keberuntungan." Ayah memegang pundak Marlena. Tatapan matanya pada Marlena penuh makna.
Marlena mengangguk lalu melirik ke arah Maritha. Maritha hanya mengangguk kecil. Dia juga sama dengan yang lain, gelisah bimbang dan berada di posisi serba salah.
Marlena menarik napas dalam-dalam. Lalu kembali menatap Thomas yang masih menunggu keputusannya dengan rasa cemas.
"Kamu tahu, sulit sekali rasanya melepaskanmu di malam pernikahan kita ini, Thomas." Suara Marlena sudah terasa berat. Gundukan air mata di matanya semakin tebal. Thomas melihat itu, ikut berkaca-kaca. Dia tidak tega sebenarnya. Tetapi mau bagaimana lagi, dia harus mengambil cincin itu.
Paman Hisyam tiba-tiba maju dan berdiri di dekat mereka, "Apa kamu yakin, Thomas? Ini malam pernikahan kalian. Apa kalian bisa memastikan jika nanti semuanya akan baik-baik saja?" dia menyela ucapan Marlena.
Marlena menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya seketika gemetaran usai mendengar ucapan Paman Hisyam.
"Paman, aku berjanji akan memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Percayalah padaku. Karena cincin itu akan membawa keberuntungan." Thomas mencoba meyakinkan Paman sekaligus semua orang yang ada di ruangan itu.
Paman Hisyam terdiam. Di pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan. Sebenarnya dia ingin melarang Thomas pergi. Akan tetapi tekadnya yang kuat, membuat Paman Hisyam hanya mengangguk pasrah pada akhirnya.
"Baiklah, Thomas. Kami akan mengizinkanmu pulang. Berjanjilah padaku, Thomas. Jagalah dirimu baik-baik di perjalanan." Marlena menggenggam tangan Thomas erat-erat. Air matanya pun mengalir. Dia tidak mampu menahannya lagi.
Thomas menarik tubuh Marlena dan memeluknya. Dia bisikan kata untuk menenangkan dan meyakinkan kekasihnya itu.
"Aku akan berjanji demi aku, demi kamu dan demi kita semua, Marlena." Thomas memegang kedua pipi Marlena. Jari-jarinya mengusap air mata Marlena yang terus-menerus mengucur.
Marlena mengangguk. Meskipun anggukan itu tidak mempunyai arti yang mendalam, dia tidak ingin membuat Thomas ragu. Biarkan Thomas pergi dengan penuh percaya diri dan tanpa sedikit pun keraguan di dalamnya, itulah yang diyakini Marlena.
***
Jam 3 pagi, Thomas sudah berada di bandara diantar Marlena dan Santos. Mereka masih menunggu sampai keberangkatan Thomas tiba.