Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mahkota Sang Dewi

Mahkota Sang Dewi

shena

5.0
Komentar
22.9K
Penayangan
64
Bab

Sejatinya apa itu cinta? Bagi Husein, cinta adalah saat dia mengatakan 'saya terima' dalam sebuah akad pernikahan, yang berarti dia menyatakan menerima tanggung jawab untuk mencintai, dan melindungi istrinya. Sementara bagi Mutia, pernikahan adalah hal paling merepotkan yang ingin segera dia akhiri apabila ada kesempatan. Hati yang sudah dimiliki orang lain menjadi salah satu alasan untuknya. Lalu, bagaimana jika mereka berdua dipaksa bersama dalam sebuah pernikahan? Apakah mereka sanggup untuk saling menerima dan mempertahankan pernikahan? Instagram @hi.shenaaa

Bab 1 Permulaan

"Gratatatata!" seru seorang gadis yang tengah berjoget di depan layar ponsel.

Dia menyibak rambut ke samping, menunjukkan bentuk lehernya ke publik. Meski dengan pakaian tertutup, gadis itu masih punya rasa malu untuk tidak meniru orang-orang yang memamerkan tali bra-nya.

"Jelek nggak pa-pa, yang penting banyak duitnya!" katanya tanpa merisaukan suara azan yang sudah berkumandang sejak tadi.

Mungkin setelah ini umi atau kakaknya akan mengetuk pintu untuk mengingatkannya salat dan dia hanya membalas nanti. kata nanti itu bisa jadi berakhir lupa atau terlaksana ketika jam salatnya sudah hampir habis.

"Biasa, namanya juga anak muda," kata Mutia.

"Tiaaa!" seru Umar dari luar, mengetuk pintu kamar Mutia.

"Nantiii." Padahal Umar belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Mutia sudah bisa menebak bahwa Umar akan memintanya salat.

"Nanti apa? Abang belum selesai ngomong," ucapnya.

"Salat, 'kan? Bentar lagi, Bang!"

"Astaghfirullahaladzim, Mutia! Kamu belum salat? Ini udah hampir Isya! Kamu ngapain aja, sih?! Waktu Magrib itu cuma sebentar!" Suara Umar semakin meninggi ketika mengetahui adik bungsunya ternyata belum menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.

Mutia tidak merasa gelisah sedikit pun. Dia malah sibuk menggulir hasil video-videonya dan kebingungan harus memposting yang mana. Mendengar tak ada jawaban dari dalam kamar, Umar menurunkan kenop pintu dan berniat masuk. Namun, ternyata pintu kamar dikunci, membuat hati Umar semakin diliputi emosi.

"Mutia, kamu dengerin Abang, nggak?!" sentaknya.

Mutia menggaruk rambut yang terasa sedikit gatal, kemudian memencet tombol berwarna pink untuk memposting videonya.

"Denger, kok. Bentar lagi, tunggu upload ini bentar."

"Mutia, habis ini udah Isya!"

"Tauuu. Ribet banget, sih, Bang?!" Mutia jadi ikutan kesal kalau disuruh-suruh.

"Kalo sampai belum bergerak juga, Abang dobrak pintu kamar kamu. Biar nggak punya pintu sekalian!"

Mutia menghela napas lelah. Dia bangkit dari kasur dan berjalan menuju meja belajar, meletakkan ponselnya di atas sana. Tidak lupa menancapkan charger agar ketika dia selesai salat nanti, ponselnya bisa digunakan sesuka hati. Setelah memastikan terhubung, Mutia pun membuka pintu kamarnya.

"Udah, 'kan? Ini mau salat. Nggak usah ribet!" katanya ketus.

"Bukan masalah ribet atau enggaknya, Tia. Salat itu kewajiban. Kalau kamu tinggal, dosanya besar. Kamu mau narik semua keluarga kamu ke neraka?" kata Umar, mengikuti langkah Mutia dari belakang.

"Masih muda ngapain mikir yang jauh-jauh, sih? Nikmatin aja, lah, masa mudanya. Gini, nih, Islam terlalu banyak peraturan. Capek!"

Emosi Umar kembali terpancing. "Apa kamu bil-"

Brak

Pintu toilet ditutup dengan tidak sopan. Mutia bersandar pada pintu, lalu menatap ke arah cermin yang terpasang di atas wastafel. Gadis belia itu lelah dengan sikap sang kakak yang selalu merusak suasana hatinya.

***

"Pokoknya, gue berharap diterima di universitas yang gue mau biar bisa merantau, keluar dari rumah! Mental gue bener-bener nggak aman kalo masih tinggal sama keluarga gue," ucap Mutia di sela-sela kegiatannya menghabiskan bakso.

"Lo yakin? Merantau nggak gampang, loh. Lo bakal dipaksa mandiri dan ngurus diri sendiri," ucap Erika.

Dia sendiri masih tak habis pikir, padahal lebih enak hidup dengan orang tua daripada sendirian. Mungkin karena didikan keluarga Mutia cukup keras, sehingga sahabatnya itu ingin sekali minggat dari rumah.

"Bodo amat, gue udah siap sama semua risiko dari merantau. Gua udah mempertimbangkan semuanya, gua yakin bisa!" Mutia meninju udara yang ada di depannya, mengepalkan rasa semangat membara.

"Nggak usah sok-sokan, nanti nangeees!" Willy datang dengan hobinya, memancing keributan. Pemuda itu menyeruput es teh milik Mutia tanpa ragu dan menghabiskannya.

"Eh, es gue, Asem! Minta, sih, nggak pa-pa, tapi, ya, jangan diabisin!" Mutia memukul lengan Willy beberapa kali sampai merasa puas.

"Lo kemarin pake hotspot gue buat main Tiktok lebih sadis mana?" Mendengar itu, Mutia cengengesan dan beralih mengelus lengan Willy yang tadi dipukuli.

"Lo nggak ada kumpul?" tanya Erika pada Willy yang duduk tepat di depannya.

Mutia, Erika, dan Willy memang sudah lama bersahabat. Mereka saling kenal sejak duduk di bangku SMP hingga saat ini berada di kelas 12 SMA. Namun, sayangnya, Mutia dan Erika berada di jurusan yang berbeda dengan Willy. Mereka anak IPS, sedangkan Willy anak IPA.

Berbeda dengan Erika yang hobi rebahan, Mutia dan Willy itu termasuk anak yang aktif berorganisasi sehingga keduanya sama-sama mengikuti organisasi tertinggi di sekolah. Bedanya, Mutia mengikuti organisasi MPK, sedangkan Willy mengikuti OSIS.

"Ada paling. Nggak tau gue. Anak-anak sukanya mendadak kalo ngasih kabar." Willy menyangga dagunya, melirik malas ke arah adik kelas yang sengaja caper di sekitarnya. "Habis ini keknya lo yang bakal sibuk, Mut," kata Willy.

Mutia menelan pentolnya sambil mengangguk. Pandangannya fokus pada layar ponsel yang menampilkan beberapa perempuan berjoget dengan trend baru. "Yes, empat acara besar dalam satu bulan. Mantap, 'kan?"

"Yang jadi ketua pelaksana di acara apa?" tanya Willy.

Erika hanya diam menyimak. Kalau sudah urusan organisasi, dia hanya bisa diam mendengarkan karena tidak mengerti apa-apa.

"Acara sidang pleno," jawabnya.

Willy pun manggut-manggut. "Acara serah terima jabatan, lo jadi apa?"

"Sekretaris." Mutia menghela napas panjang.

Selama ini, menjadi sekretaris adalah posisi terberat yang selalu ingin dia hindari. Pasalnya, terlalu banyak yang harus diurus walaupun tugas sekretaris adalah pra-acara. Tetap saja Mutia merasa malas untuk mengerjakan.

"Semangatlah, bentar lagi lengser!" kata Willy terkekeh melihat ekspresi Mutia yang tampak tertekan.

"Jangan ketawa lo. Liat fans lo pada jerit-jerit kesurupan." Ucapan Erika membuat mood Willy memburuk.

Dia memang merasa risih didekati oleh perempuan, apalagi yang sangat menunjukkan ketertarikan. Di mata Willy, mereka sangat genit.

"Simut!" Mutia, Erika, dan Willy menoleh.

Ketiganya memusatkan pandangan pada dua laki-laki yang berjalan ke arah mereka. Sosok yang dipanggil Simut itu tersenyum ke arah pacarnya. Memang, panggilan akrab Mutia adalah Simut karena kata orang-orang, tubuhnya begitu kecil dan imut sehingga dipanggil simut.

"Udah selesai?" tanya Mutia kepada Yusuf yang baru saja berdiri di sebelah mejanya. Pria itu adalah duta sekolah, tentu saja karena ketampanannya yang sangat menonjol.

"Udah. Pulang sekarang, yuk, takut keburu hujan." Yusuf memberikan jaketnya pada Mutia agar dikenakan.

Mutia menerimanya dan mendekap jaket itu. Diliriknya Wisnu-sahabat Yusuf sekaligus pacar Erika-yang sedang mencubit gemas pipi Erika. Gadis itu memang memiliki pipi yang gembul, jadinya orang-orang sering gemas ingin mencubit dan memainkannya seperti marshmellow.

"Rik, Nu, Wil, kita duluan, ya!" kata Mutia.

"Duluan, Bro," ucap Yusuf.

"Hati-hati, Cantik!" balas Erika.

"Yoi," jawab Wisnu dan Willy hampir barengan.

Di perjalanan menuju parkiran, Yusuf bertanya, "Simut, besok mau nonton, nggak? Aku ada tiket buat dua orang."

Mutia melirik Yusuf sekilas. "Nonton film?"

"Iya, film horor."

Mutia berpikir sejenak, mengingat-ingat apakah dirinya punya rencana besok.

"Boleh, tapi jemput di depan pos ronda, ya. Takut ketahuan Abang." Gadis itu membuat kesepakatan.

"Iya."

***

"Bunda, udah bangun? Minum dulu, Bun, biar tenggorokannya seger," ucap seorang pria berpakaian koko dan sarung yang melekat. Kopiah hitam juga masih bertengger di kepalanya, memancarkan aura segar untuk dipandang.

Wanita paruh baya berusia kepala empat itu berusaha membuka sempurna matanya. Dia melihat anak sulungnya, kebanggaannya, kesayangannya itu tengah membantunya bangkit dari tidur. Dengan memberikan sandaran bantal di belakang punggung, Rara menarik napas panjang. Dia menerima segelas air mineral dari sang anak.

"Husein," panggilnya.

Nadanya begitu lemah, membuat Husein tak kuasa menahan air mata yang hendak keluar. Baginya, bunda adalah perempuan paling kuat yang tidak pernah menangis atau mengeluh di depannya. Wanita kesayangannya yang begitu hebat, kini sedang menahan rasa sakit atas penyakit yang diderita.

"Iya, Bunda. Bunda butuh apa? Husein akan siapkan, apa pun." Husein dengan sigap menggenggam tangan Rara, seakan tidak pernah ingin melepasnya, kapan pun.

"Husein, anak Bunda yang paling ganteng," panggilnya lagi, kini diiringi belaian lembut di pipinya.

Husein terkekeh. "Anak Bunda yang cowok, kan, memang cuma satu."

"Sein, umur Bunda ...." Belum selesai menyelesaikan ucapannya, Husein sudah memotongnya.

"Nggak. Jangan ngomong gitu. Bunda bakal panjang umur, Husein akan selalu jaga Bunda. Jadi, jangan bahas soal itu, ya?"

Rara menggeleng dengan senyuman lembut. "Husein, kalau Bunda minta sesuatu, Husein mau nurutin?"

Sontak Husein mengangguk berulang kali. "Pasti! Pasti, Bunda! Apa pun, bakal Husein usahain."

"Pernikahan."

Raut wajah Husein spontan berubah. Dia menegang di tempat. Selama ini, sejak gagalnya pertunangannya waktu itu, bundanya tidak pernah membahas lagi soal pernikahan. Husein pikir, wanita berjasa dalam hidupnya itu tidak lagi berharap dan lebih memilih menunggu yang terbaik. Namun, ternyata selama ini, diam-diam bundanya masih berharap ada seorang wanita untuk segera membantu menyempurnakan agama.

"Sebelum nyawa Bunda nggak ada, untuk terakhir kalinya, Bunda ingin ditemani seorang menantu dari kamu. Bunda ingin melihat kamu bahagia sudah menemukan tulang rusukmu."

Sekadar berusaha menenangkan, Husein memajukan kursinya dan mengelus tangan Rara. "Iya, Bunda. Doakan yang terbaik, ya? Husein juga berharap ada-"

"Ada." Rara tahu bahwa Husein akan beralasan sedang menunggu seseorang untuk datang. Padahal selama ini yang dilakukan anaknya hanya fokus dengan pekerjaan. Seolah-olah dirinya sudah trauma dengan perempuan.

"Ada? Bunda sudah mengenal seorang perempuan?" Husein terkejut dengan jawaban Rara yang mengatakan ada perempuan untuknya.

"Tapi, siapa? Selama ini Bunda hanya berada di rumah sakit, sudah lebih dari sepuluh tahun." Pikirannya riuh.

"Bunda kenal seorang perempuan. Anaknya cantik, baik, periang, lucu. Cocok sama kamu yang jail dan overprotektif."

Husein dua kali terkejut kala mendengar deskripsi tentang gadis itu. "Husein kenal?" tanyanya.

Bunda menggeleng. "Mungkin kenal, mungkin tidak. Dia tetangga kita dulu sebelum pindah, tapi Bunda juga tidak tau sekarang dia tinggal di mana. Apa kamu mau mencoba mencari tahu?"

"Bunda yakin?"

Rara mengangguk mantap. "Kalau kamu mau."

"Siapa namanya, Bun?" tanya Husein dengan hati yang diselimuti ketegangan.

"Kalau tidak salah ... namanya Mutia Azzahra Wiranata."

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh shena

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku