Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
"Mohon maaf Clara Sabrina, hari ini kamu resmi dipecat dari perusahaan karena kinerjamu yang semakin lama semakin memburuk. Hari ini adalah hari terakhir kamu bekerja di sini dan untuk gaji bulan ini akan segera saya kirimkan ke rekeningmu secepatnya. Silahkan kembali ke ruanganmu dan mengemasi barang-barangmu. Terima kasih."
Aku tersentak ketika mendengar atasanku berbicara. Apa katanya? Aku dipecat? Memangnya aku membuat kesalahan separah apa hingga sang atasan berani memecatku? Karena masih belum terima dengan perkataan atasanku baru saja, aku pun tidak keluar dari ruangannya. Aku masih membutuhkan penjelasan darinya mengapa bisa memecatku hanya dengan alasan kinerja yang semakin buruk.
"Mohon maaf, Pak. Memangnya kinerja saya seperti apa hingga Bapak sampai memecat saya?" ucapku tidak terima.
Bagaimana tidak, aku sudah bekerja di perusahaan ini selama lebih dari dua tahun. Semua usaha kerja keras aku tuangkan ke dalam perusahaan ini. Aku pun sangat setia kepada perusahaan ini dan tidak memiliki pikiran sama sekali untuk mencari perusahaan lain. Akan tetapi, mengapa perusahaan ini membalasnya dengan memecatku? Aku tidak habis pikir.
"Alasannya jelas, yaitu karena sudah lebih dari satu pekan ini kamu selalu datang terlambat dan tugas yang diberikan kepadamu selalu terlambat lebih dari satu hari," ujar atasanku.
Pikiranku seketika berputar kembali untuk mengingat apa yang terjadi selama satu pekan ini. Dan ternyata memang benar, sudah lebih satu pekan ini aku selalu terlambat berangkat ke kantor karena bangun siang dan sering terlambat mengirimkan tugas kantor karena aku lupa. Aku merutuki diriku sendiri karena semua ini adalah murni dari kesalahanku. Aku pun lantas menunduk kepada atasanku dan pamit untuk keluar dari ruangan.
"Baik, Pak. Terima kasih karena telah mempekerjakan saya selama dua tahun ini dengan baik. Semoga apa yang saya dapatkan di sini bisa berguna di kehidupan selanjutnya. Kalau begitu saya izin keluar. Selamat siang," ucapku kemudian segera berjalan keluar dari ruangan. Aku memijat dahiku pelan sesampainya di depan ruangan. Apa yang setelah ini akan aku lakukan? Ya, menjadi seorang pengangguran.
Perkenalkan, namaku Clara Sabrina tetapi orang-orang biasa memanggilku Clara. Usiaku saat ini sudah menginjak 25 tahun. Cukup tua bukan. Kebanyakan dari teman-temanku yang berusia sama denganku sudah menikah dan mempunyai anak. Namun, aku tidak seperti mereka. Aku lebih memilih untuk membangun karir yang tinggi dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sebelum menikah.
Aku hidup seorang diri. Kedua orangtuaku sudah meninggal akibat kecelakaan parah tiga tahun yang lalu yang langsung merenggut nyawa mereka di tempat. Aku juga berada di mobil yang sama dengan mereka tetapi Tuhan telah menyelamatkanku. Hingga sampai saat ini, aku berusaha membiayai hidupku sendiri dari hasil bekerja dan sisa tabungan kedua orangtuaku. Namun, sepertinya aku tidak bisa membiayai hidupku lagi jika sudah dipecat seperti ini.
Aku berjalan lemas menuju ke ruang di mana aku bekerja. Aku dipecat karena kesalahanku sendiri oleh karena itu aku tidak mengomel dan membantah apa pun. Mungkin sudah seharusnya aku mencari perusahaan lain yang akan menerima diriku. Semua kenangan selama dua tahun ini aku simpan dengan baik dan tentu saja aku tidak akan menyimpan dendam. Aku akan pergi dengan damai.
"Ada apa Clara? Kok tumben kamu dipanggil ke ruangan si Bos?" tanya Erika, salah satu rekan kantor yang dekat denganku ketika aku baru saja memasuki ruangan.
"Aku dipecat, Ka," jawabku sambil tersenyum kecut. Aku pun berjalan menuju ke meja milikku dan segera merapikan berkas-berkas yang terlihat berantakan.
"Hah?! Kok bisa? Kenapa kamu bisa dipecat?" sorak Erika kaget sehingga membuat beberapa karyawan yang ada di ruangan menoleh ke arah kami.
Aku lantas berusaha memberikan kode kepada Erika untuk diam. "Nanti aku ceritain lewat telepon, ya. Sekarang aku mau beresin barang-barangku dulu," ujarku.
Dengan cepat Erika pun mengangguk. Wanita itu langsung membantuku untuk merapikan berkas-berkas yang terdapat di atas meja kemudian meletakkannya di box yang sudah disediakan. Beberapa karyawan yang berada di ruangan melirik ke arah mejaku. Mereka pasti sudah menduga jika aku akan keluar dari perusahaan ini. Erika adalah temanku satu-satunya di sana. Selain itu, tidak ada lagi. Hidupku memang menyedihkan.
Aku membutuhkan waktu sekitar lebih dari dua jam untuk mengemasi seluruh barang-barangku yang ada di kantor. Kini semuanya sudah selesai. Meja kantor yang biasanya terlihat berantakan dengan banyak kertas berserakan serta bungkus makanan yang belum dibuang saat ini sudah tidak terlihat lagi di sana. Hanya tersisa tanaman kaktus dengan bunga kecil yang sudah mekar di atas meja.
"Kaktusnya nggak dibawa, Ra?" tanya Erika.
Aku menggeleng pelan. "Biarin aja dia di sana. Hitung-hitung sebagai kenang-kenangan kalau aku pernah bekerja di sini," ujarku.
"Kamu nih, aku pasti bakal kangen banget sama kamu, Ra. Nanti yang setiap hari bakal temanin aku makan di kantin siapa coba?" ucap Erika merengek.
"Kamu 'kan punya banyak teman di sini, Ka. Makanya cari pacar baru biar ada yang temanin kamu makan di kantin," timpalku terkekeh sambil meledek Erika.
"Mentang-mentang kamu udah punya pacar aja nih, ya," tukas Erika sebal. Aku hanya tertawa pelan merespons perkataan Erika.
Benar. Jika nanti aku sudah tidak bekerja lagi di sini, siapa yang akan menemani Erika makan siang di kantor? Biasanya setiap hari aku dan Erika selalu makan berdua di kantin. Orang-orang kantor pun sudah hafal dengan kami berdua. Jika di sana ada Clara, pasti Erika selalu membuntutinya dan juga sebaliknya. Ah, aku jadi belum siap untuk meninggalkan perusahaan ini.
Semua barang-barang milikku kini sudah diletakkan di dalam beberapa box dan aku hanya tinggal membawanya menuju mobil. Aku bahkan tidak ingin berlama-lama lagi di sini agar kenangan yang indah tidak terus menerus muncul di pikiranku. Namun, sebelum itu aku memutuskan untuk pamit kepada rekan satu divisi di kantorku. Meskipun tidak dekat, setidaknya aku harus mengucapkan salam perpisahan kepada mereka.
Aku pun menyalami satu per satu dari mereka sambil memberikan sekotak bingkisan yang baru saja Erika beli. Ya, aku menyuruh Erika untuk membeli beberapa bingkisan ketika aku sedang mengemasi barang-barangku. Setidaknya aku harus memberikan kesan terakhir kepada mereka dan tentu saja semoga mereka mengingatku.
"Aku yakin pasti setelah ini kamu bakal bekerja di perusahaan yang lebih besar, Clara," ujar Rendy yang merupakan rekan kerja satu divisiku.
Aku mengangguk terharu ketika mendengar ucapannya. Ternyata masih ada orang yang peduli denganku. "Terima kasih, Rendy. Semoga doamu membalik ke kamu juga, ya," timpalku.