/0/23058/coverorgin.jpg?v=4c0ec1f46fbfddc72bcf6894813f78e9&imageMogr2/format/webp)
Isak tangis dan teriakkan memekakkan saling bersahutan. Menggema di rumah megah yang dipenuhi keluarga besar dan sanak saudara. Kecemasan, kekalutan, dan kekacauan berbaur merasuki jiwa-jiwa insan di sana.
“Ke mana dia, Bu?” tanya Mardhan seraya memeriksa kamar besar berhias kain lavender berpadu putih. Dibantingnya pintu setelah mendapati tiada siapa pun di dalamnya. Berlari ke arah balkon pun tak ada. Pagar menuju tangga dari tempat tersebut yang mengarah ke halaman belakang tampak terbuka.
“Mau jadi apa anak itu, Bu. Ya Tuhan, malu kita, Bu. Malu!”
Seluruh yang hadir berdesakkan, persiapan untuk acara besok pun terabaikan.
Lika hanya menunduk seraya terisak duduk di kasur. Memikirkan penyebab putrinya yang selama ini penurut tiba-tiba menjadi pemberontak dan senekat itu. Terlebih pada acara penting yang hendak dilangsungkan tinggal hitungan jam.
“Mau di kemanakan wajah kita, Bu? Kamu enggak becus, ngedidik anak!”
Lika terisak, tak kuasa menahan sesak di dada. Hanya bisa pasrah menerima lontaran kalimat tajam suaminya.
Bisik-bisik keluarga dan sanak saudara yang berdesakkan depan ruangan itu, membuat Mardhan sampai tidak terkendali. Dia bangkit membanting barang-barang di kamar itu. Hingga dadanya terasa nyeri seiring napas yang terasa berat. Urat-urat di lehernya tampak menegang. Disertai sorot netra tajam dan memerah.
Hisyam, selaku anak sulung di keluarga itu lekas menginterupsi. “Tolong pahami keadaan kami, semuanya.” Dia mengatupkan tangan depan dada seraya menyorotkan tatapan penuh penyesalan.
“Kelihatannya aja adikmu itu penurut, ternyata kelakuannya lebih kurang ajar ketimbang anak kami yang bebas dan terkesan kurang sopan,” celetuk salah seorang kerabat Mardhan.
“Topengnya udah kebuka sekarang, kan?” timpal salah seorang lagi.
“Weslah, bubbar! Ora ono gunane nang omah iki. Wes mulih kabbeh!” teriak seorang bapak-bapak berkumis yang merupakan kakak Lika.
“Enggak nyangka, ya!”
“Iya, igh. Amit-amit cah weddok macam iku.”
“Kurang didikan atau terlalu dimanja kali!”
“Sia-sia semuanya!” Berlanjut banyak komentar dan hujatan insan-insan di sana.
Hisyam hanya bisa menunduk sembari terpejam, tak berkutik mendengar seluruh kalimat tajam yang dilontarkan. Dia hanya bisa pasrah menerimanya, sebab dirinya pun sama sekali tidak bisa menoleransi tindakan adiknya.
Sungguh memalukan!
Hisyam menggemeretukkan gigi seiring tangan yang terkepal erat. Menyorotkan tatapan tajam ke arah para tamu yang berangsur pulang. Demi Tuhan, dia sangat kecewa terhadap adiknya. Benci tindakan tak bertanggung jawab macam demikian.
Sandrina, istri Hisyam mendekat, lantas menyentuh bahu suaminya. “Kendaliin dirimu sekarang, Mas. Jangan sampe kita kena batunya. Kamu kudu tegas sama adikmu itu!”
“Ya, Mas harus tegas bahkan lebih keras. Untuk kali ini.” Pria itu berjalan ke kamar Viskha yang masih terdengar barang-barang dipecahkan.
Mendapati ayahnya berang dan sulit ditenangkan, juga ibunya yang tak henti meneteskan air mata.
Dia mendekati Lika, membimbingnya berdiri, lantas membawa ke dekat istrinya. Khawatir terkena imbas kemarahan ayahnya.
“Sand, tolong bawa Ibu ke kamarnya!” pintanya kepada sang isri, lantas kembali ke ruangan sebelumnya.
Kedua wanita itu pun berjalan dengan Sandrina memegangi bahu ibu mertuanya ke tempat yang disebutkan Hisyam.
“Yah, stop! Tolong kendaliin amarah Ayah. Semua ini enggak ada gunanya.”
“Gimana Ayah bisa tenang mendapati semua ini? Adikmu lari dan kita menanggung malu akibatnya. Mau dikemanain wajah kita, Syam? Dia udah mencoreng nama baik keluarga.” Sang ayah duduk terhempas di lantai dengan penampilan sudah tak karuan.
“Ya Hisyam juga marah dan kecewa, tapi kita harus nyari dia buat pertanggung jawabin perbuatannya, Yah. Kepalang basah nyebuh sekalian. Kita harus bikin Viskha menyadari kesalahan dan menyesalinya.” Pria berumur tiga puluh enam tahun itu mengepalkan tangan dan menggemeretukkan gigi ketika menyebut nama adiknya.
“Ayah bahkan enggak mau lihat lagi dia menampakkan batang hidungnya di depan ayah! Meski sampe mati pun!”
/0/4891/coverorgin.jpg?v=7c534a36fdc7f3f36278ce3704d27f5f&imageMogr2/format/webp)
/0/18503/coverorgin.jpg?v=5330f9b3925b3980504f8499058459fe&imageMogr2/format/webp)
/0/16064/coverorgin.jpg?v=4e9d8eb5b180ddd8b9edfd662ecef4f9&imageMogr2/format/webp)
/0/8780/coverorgin.jpg?v=b064d962beb6d58a8985decb2c0c21bb&imageMogr2/format/webp)
/0/4406/coverorgin.jpg?v=58c06b9e512d4cbaa7ff6f716c071fa7&imageMogr2/format/webp)
/0/3926/coverorgin.jpg?v=4197dc5431d625fbde309664f6306c13&imageMogr2/format/webp)
/0/5368/coverorgin.jpg?v=78685ab92336d40ebadcdcf7620b0058&imageMogr2/format/webp)
/0/10891/coverorgin.jpg?v=35954a113c9f1b9eeb4607a5ae7a545e&imageMogr2/format/webp)
/0/14655/coverorgin.jpg?v=9b4117b067fce39f82af36eee761b4d5&imageMogr2/format/webp)
/0/4249/coverorgin.jpg?v=2b55e868690414efc217db2b331ff6ee&imageMogr2/format/webp)
/0/4808/coverorgin.jpg?v=3915812903a3807caa6b58a33ea2fd1e&imageMogr2/format/webp)
/0/18903/coverorgin.jpg?v=984dcde6bea4f1ca439a47808199ff0d&imageMogr2/format/webp)
/0/24907/coverorgin.jpg?v=63420b4c308ce8ccfe95e1b1aab2dabb&imageMogr2/format/webp)
/0/18855/coverorgin.jpg?v=80c04ca678813daeeefd6ab2885391a8&imageMogr2/format/webp)
/0/3570/coverorgin.jpg?v=d5742184555360c3885488556c45dfc7&imageMogr2/format/webp)
/0/3066/coverorgin.jpg?v=1968055e65003abae00f1e114a907847&imageMogr2/format/webp)
/0/12649/coverorgin.jpg?v=903995fe26e676f36bfbe4edae7404bc&imageMogr2/format/webp)
/0/16783/coverorgin.jpg?v=6f5af9220dd74d8a2e32f1388e982978&imageMogr2/format/webp)
/0/8828/coverorgin.jpg?v=9f0cb9a48303b3fe771a93609807e46a&imageMogr2/format/webp)