Viskha Katherin lari dari pelaminan demi memenuhi janji kepada kekasihnya, Zumar Wiyaksa. Bertahun-tahun bertahan dalam penantian dan dibelenggu kerinduan, tibalah saatnya Zumar pulang dari negeri seberang. Bersamaan dengan kabar mengejutkan yang membuat Viskha terseret dalam pernikahan rahasia dengan pria yang sudah berkeluarga. Sanggupkah Viskha mengurai benang-benang takdir yang semrawut dan terbebas dari situasi tersebut? Bisakah dia mewujudkan mimpi yang sempat tertunda atau malah terbelenggu rindu sepanjang masa?
Isak tangis dan teriakkan memekakkan saling bersahutan. Menggema di rumah megah yang dipenuhi keluarga besar dan sanak saudara. Kecemasan, kekalutan, dan kekacauan berbaur merasuki jiwa-jiwa insan di sana.
"Ke mana dia, Bu?" tanya Mardhan seraya memeriksa kamar besar berhias kain lavender berpadu putih. Dibantingnya pintu setelah mendapati tiada siapa pun di dalamnya. Berlari ke arah balkon pun tak ada. Pagar menuju tangga dari tempat tersebut yang mengarah ke halaman belakang tampak terbuka.
"Mau jadi apa anak itu, Bu. Ya Tuhan, malu kita, Bu. Malu!"
Seluruh yang hadir berdesakkan, persiapan untuk acara besok pun terabaikan.
Lika hanya menunduk seraya terisak duduk di kasur. Memikirkan penyebab putrinya yang selama ini penurut tiba-tiba menjadi pemberontak dan senekat itu. Terlebih pada acara penting yang hendak dilangsungkan tinggal hitungan jam.
"Mau di kemanakan wajah kita, Bu? Kamu enggak becus, ngedidik anak!"
Lika terisak, tak kuasa menahan sesak di dada. Hanya bisa pasrah menerima lontaran kalimat tajam suaminya.
Bisik-bisik keluarga dan sanak saudara yang berdesakkan depan ruangan itu, membuat Mardhan sampai tidak terkendali. Dia bangkit membanting barang-barang di kamar itu. Hingga dadanya terasa nyeri seiring napas yang terasa berat. Urat-urat di lehernya tampak menegang. Disertai sorot netra tajam dan memerah.
Hisyam, selaku anak sulung di keluarga itu lekas menginterupsi. "Tolong pahami keadaan kami, semuanya." Dia mengatupkan tangan depan dada seraya menyorotkan tatapan penuh penyesalan.
"Kelihatannya aja adikmu itu penurut, ternyata kelakuannya lebih kurang ajar ketimbang anak kami yang bebas dan terkesan kurang sopan," celetuk salah seorang kerabat Mardhan.
"Topengnya udah kebuka sekarang, kan?" timpal salah seorang lagi.
"Weslah, bubbar! Ora ono gunane nang omah iki. Wes mulih kabbeh!" teriak seorang bapak-bapak berkumis yang merupakan kakak Lika.
"Enggak nyangka, ya!"
"Iya, igh. Amit-amit cah weddok macam iku."
"Kurang didikan atau terlalu dimanja kali!"
"Sia-sia semuanya!" Berlanjut banyak komentar dan hujatan insan-insan di sana.
Hisyam hanya bisa menunduk sembari terpejam, tak berkutik mendengar seluruh kalimat tajam yang dilontarkan. Dia hanya bisa pasrah menerimanya, sebab dirinya pun sama sekali tidak bisa menoleransi tindakan adiknya.
Sungguh memalukan!
Hisyam menggemeretukkan gigi seiring tangan yang terkepal erat. Menyorotkan tatapan tajam ke arah para tamu yang berangsur pulang. Demi Tuhan, dia sangat kecewa terhadap adiknya. Benci tindakan tak bertanggung jawab macam demikian.
Sandrina, istri Hisyam mendekat, lantas menyentuh bahu suaminya. "Kendaliin dirimu sekarang, Mas. Jangan sampe kita kena batunya. Kamu kudu tegas sama adikmu itu!"
"Ya, Mas harus tegas bahkan lebih keras. Untuk kali ini." Pria itu berjalan ke kamar Viskha yang masih terdengar barang-barang dipecahkan.
Mendapati ayahnya berang dan sulit ditenangkan, juga ibunya yang tak henti meneteskan air mata.
Dia mendekati Lika, membimbingnya berdiri, lantas membawa ke dekat istrinya. Khawatir terkena imbas kemarahan ayahnya.
"Sand, tolong bawa Ibu ke kamarnya!" pintanya kepada sang isri, lantas kembali ke ruangan sebelumnya.
Kedua wanita itu pun berjalan dengan Sandrina memegangi bahu ibu mertuanya ke tempat yang disebutkan Hisyam.
"Yah, stop! Tolong kendaliin amarah Ayah. Semua ini enggak ada gunanya."
"Gimana Ayah bisa tenang mendapati semua ini? Adikmu lari dan kita menanggung malu akibatnya. Mau dikemanain wajah kita, Syam? Dia udah mencoreng nama baik keluarga." Sang ayah duduk terhempas di lantai dengan penampilan sudah tak karuan.
"Ya Hisyam juga marah dan kecewa, tapi kita harus nyari dia buat pertanggung jawabin perbuatannya, Yah. Kepalang basah nyebuh sekalian. Kita harus bikin Viskha menyadari kesalahan dan menyesalinya." Pria berumur tiga puluh enam tahun itu mengepalkan tangan dan menggemeretukkan gigi ketika menyebut nama adiknya.
"Ayah bahkan enggak mau lihat lagi dia menampakkan batang hidungnya di depan ayah! Meski sampe mati pun!"
Hisyam terkesiap mendengarnya, walau bagaimanapun dia tak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Namun, memang amarah bisa membutakan segalanya. Dia sebagai kakaknya saja sudah sangat kecewa apalagi orang tua mereka, bukan? Memaklumi tindakan ayahnya, hanya itu yang bisa dilakukannya kini.
"Kenapa adikmu sampe senekat itu? Enggak ada satu pun didikan rumah ini yang dia pake. Dianggapnya apa kita ini?" Sang ayah bangkit berdiri lalu mondar-mandir gusar.
Hisyam hanya bisa jadi pendengar dan memikirkan tempat yang kira-kira jadi pelarian adiknya.
"Ya, Gusti! Apa kata keluarga Kertajaya nanti? Gimana perasaan dan tindakan mereka? Syam, ayah enggak tahu lagi mesti gimana."
"Tenang dulu, Yah. Untuk itulah Hisyam lagi mikirin gimana caranya untuk meminimalisir risiko itu. Aku tahu keluarga mereka bukan orang sembarangan. Takutnya gara-gara ini bakal bawa masalah yang berbuntut panjang. Makanya kita harus nyari dulu Viskha, nanya alasan di baliknya. Mungkin aja ada campur tangan Leonard juga, kan? Mengingat respons pemuda itu waktu pertemuan pertama dengan Viskha. Ayah, inget?"
"Ya, kamu bener, Syam!" Mardhan melangkah panjang-panjang, lantas membanting pintu.
Hisyam pun mengekorinya menuruni tangga menuju ruang keluarga. Berbelok ke kamar untuk membawa kunci dan jaket, lantas kembali ke dekat ayahnya yang juga baru kembali dari kamar. Kedua pria itu pun melangkah tergesa-gesa menuju garasi. Segera naik, lantas melajukan tanpa tujuan.
Mardhan berusaha menghubungi nomor anak bungsunya, tetapi tidak aktif.
"Sial! Anak durhaka kamu, Viskha!" Pria itu terus mengumpat-umpat sepanjang jalan.
"Coba hubungin temen-temen deketnya, Yah."
"Kamu ada nomornya?"
Hisyam menghentikan mobil, lantas merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel.
"Cari aja username kontak Friends Vika." Vika, panggilan Mardhan kepada adiknya. Kecuali saat dia marah akan menyebutnya dengan nama asli gadis itu.
Mobil kembali dilajukan Hisyam setelah ayahnya menerima gawai.
Mardhan pun lekas mengetik kata yang disebutkan putranya. Muncullah beberapa kontak dengan user serupa dan diikuti nama masing-masing pemilik nomor.
Seorang teman Viskha mengangkat, tetapi menjawab tidak mengetahuinya. Dua orang, tiga orang, empat orang, hingga nomor-nomor selanjutnya pun hampir mengatakan jawaban serupa. Mardhan menepuk jidat sendiri sambil mengempaskan punggung, lantas menyugar rambut kasar. Menatap langit-langit mobil dengan tajam.
Menangkap gelagat sang ayah, Hisyam sudah bisa menduga penyebabnya.
Dia terus berpikir, mengingat kemungkinan yang akan jadi pelarian adiknya. Hingga dia mengingat suatu waktu, saat adiknya menceritakan rahasianya. Beberapa tahun lalu.
"Ya, dia. Pasti ke sana!" pekiknya seraya memutar arah.
Mardhan terheran-heran melihat tingkah putranya.
"Apa kamu tahu sesuatu?"
Hisyam mengangguk yakin, entah mengapa dia begitu mempercayai firasatnya.
"Hisyam tahu ke mana dia pergi!"
"Cepatlah! Semoga dugaanmu benar."
Hisyam memacu mobil menuju suatu perkampungan yang samar-samar masih diingat nama tepatnya. Hingga kembali menghentikan mobil. Dia meminta ponsel miliknya dari tangan sang ayah, kemudian mengetikkan nama dusun tersebut di internet. Dia salah eja sedikit, tetapi Google mengoreksinya hingga muncul nama tempat yang benar. Beralih ke aplikasi Maps dan mendapatkan petunjuk rute menuju ke sana.
Selanjutnya kembali menjalankan kendaraan ke tempat tujuan. Sampai tak terasa puluhan menit berlalu dalam harapan dan kecemasan. Tibalah mobil Hisyam di suatu kampung yang masih terlihat asri dan menghijau. Namun, dia tidak tahu di mana tepatnya rumah orang yang kemungkinan jadi tempat pelarian Viskha. Dia memutuskan turun disusul Mardhan. Berjalan mendekat ke arah kerumunan ibu-ibu yang tengah mengobrol.
Baru saja mulutnya terbuka, dering gawainya menginterupsi. Ditatapnya layar ponsel yang menampakkan nomor istrinya.
Tepat saat telepon di terima dan ponsel telah menempel di telinga. Kabar dari Sandrina membuatnya membulatkan mata dengan raut cemas yang tiba-tiba tercetak jelas.
-¤¤¤-
Bab 1 Campuran Perasaan
13/03/2022
Bab 2 Keputusan yang Melegakan
13/03/2022
Bab 3 Tiba di Ibu Kota
13/03/2022
Bab 4 Berita Pembawa Petaka
13/03/2022
Bab 5 Rumit
13/03/2022
Bab 6 Dilema Seorang Pria
13/03/2022
Bab 7 Zumar Wiyaksa
13/03/2022
Bab 8 Rindu yang Tertahan
13/03/2022
Bab 9 Bayaran Atas Penantian
13/03/2022
Bab 10 Pesakitan Cinta yang Terlunta
13/03/2022
Bab 11 Berita dari Talita
16/03/2022
Bab 12 Dihantam Duka
19/03/2022
Bab 13 Berselimut Kabut
21/03/2022
Bab 14 Hutang Kesepakatan Dibayar Kehilangan
21/03/2022
Bab 15 Manipulasi Klarifikasi
21/03/2022
Bab 16 Dua Putra Tuan Kertajaya
21/03/2022
Bab 17 Rencana Geranta
21/03/2022
Bab 18 Ambang Kehancuran
21/03/2022
Bab 19 Sebuah Kesepakatan
21/03/2022
Bab 20 Menjadi yang Kedua
21/03/2022
Bab 21 Pengambilan Keputusan
21/03/2022
Bab 22 Terbongkar
22/03/2022
Bab 23 Permainan Perasaan
23/03/2022
Bab 24 Penjara Luka
25/03/2022
Bab 25 Ulah Geranta di Malam Pertama
26/03/2022
Bab 26 Kesialan Bertubi-tubi
27/03/2022
Bab 27 Rindu Camperenik
28/03/2022
Bab 28 Fotografer Dadakan
29/03/2022