Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Menit demi menit di pagi itu perlahan berlalu. Burung-burung dalam sangkar mulai berkicau terdengar merdu. Sang surya yang bobok semalaman kini terbangun dari peraduannya yang panjang, memancarkan warna ungu ke-kuning-kuningan yang membahana di ufuk timur angkasa, menghangati pohon-pohon nan rindang dan hijau, menebar cahaya bagi kehidupan umat manusia.
Angin di pesisir pantai berhembus sepoi-sepoi memulai pagi. Ombak di lautan pun berkejaran berlomba-lomba menuju pantai, bergemuruh halus membentuk lirik irama yang menyejukkan hati. Gravitasi matahari dan rembulan menimbulkan aliran air pasang surut yang terus bersirkulasi tak henti-henti. Indah memang anugerah dari yang Maha Kuasa, begitu Agungnya Dia, begitu perkasanya Dia menjaga keseimbangan yang begitu sempurna yang tak ada tandingannya.
Namun...., alam terkadang seketika bisa saja berubah jadi bencana. Ketika Sang Pencipta mulai murka kepada hambanya. Ketika bumi selalu dihiasi dengan kesesatan dan kemunafikan. Di mana kemaksiatan, tumpukan dusta dan dosa dan harta riba yang semakin merajalela, maka indah pun bisa saja berubah seketika menjadi petaka.
Detik berganti menit, sejuk berubah terik, samudra mulai bergemuruh, laut yang tenang tiba-tiba bergejolak. Pagi yang damai dan indah perlahan berlalu, kemudian berubah jadi petaka, sebegitu cepatnya. Alam pun ikut berubah seiring bergantinya waktu yang selalu diselimuti dosa-dosa oleh makhluk-makhluk durjana. Ombak-ombak kecil di lautan pun kini mulai murka membara.
*****
Seratus mil laut jauhnya setelah melintas di atas perairan kepulauan masalembo, secara mengejutkan, dua dari empat mesin turbo-propeller si burung besi Hercules lockheed C-130 dalam sebuah misi kemanusiaan mengangkut obat-obatan dan bahan makanan untuk korban bencana alam akhirnya menyerah kalah. Mesin pesawat mengalami kegagalan mekanikal karena over-load. Dua baling-baling pesawat tiba-tiba berhenti berputar.
“Bedebah....!” Sukhairi mendadak berteriak latah. Kedua bola matanya melotot plonga-plongo lihat sana sini tak tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi.
“Kapten....! apakah anda nggak merasakan ada sesuatu? sentakan, atau mungkin pressure drop?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Letnan-dua sukhairi begitu ada suatu sentakan keras yang dia rasakan di kursi kopilot.
Adam, pemuda usia 27 tahun yang duduk di kursi sebelah kiri ruangan kokpit kemudi pesawat Hercules Lockheed C-130 itu juga merasakan adanya sentakan. Namun pilot termuda dengan pangkat Kapten di korps penerbang penerbangan angkatan udara itu masih belum menampakkan kepanikan.
“Dua engine down Letnan!” Sahut Adam memelototi instrumen-instrumen yang ada di hadapannya.
“Speed....! speed....! speed….! oh Tuhan, we need speed, kita kehilangan kecepatan Kapten.” Sukhairi sontak panik setelah mendengar. Letnan itu ikut melirik panel instrumen pesawat, namun tak satu pun keanehan yang dia temukan.
“Ini gila....!” Sentak Sukhairi garuk-garuk kepala.
Ruang kokpit kemudi pesawat mendadak bergetar, cukup kentara terasa. Hal itu menunjukkan kecepatan pesawat melambat, namun tak ada feed-back yang terlihat dari ‘air speed allert incicator pesawat. Sukhairi yang mengetahuinya gempar. Sampai-sampai dia mengetok-ngetok display indikasi kecepatan pesawat ‘speed allert incicator’ dengan jari-jarinya. Begitu panel instrumen itu dia ketok, bunyi ‘biib.... biib.... biib.... biib.... biib.... biib....’ kemudian terdengar panjang.
“Bedebah....!” Lagi-lagi Sukhairi berteriak latah. “Oh my god...., oh my god...., oh my god....!” Ucap Letnan itu lagi urut-urut dada setelah dia menyadarinya.
Lampu ‘air speed indicator’ yang mengindikasikan terjadinya perubahan pada kecepatan pesawat terlambat me-respon adanya sesuatu kejadian yang tak normal. Kesalahan timbal balik pada sistem pesawat seperti itu tak biasanya terjadi. Berkemungkinan suhu di luar pesawat begitu dingin hingga menyebabkan ‘icing’ atau peng-es-an yang menyumbat ‘pitot tube,’ sebuah sensor luar yang tertancap di dinding bahagian depan pesawat. Hal itu bisa mengakibatkan ‘error’ pada pembacaan instrumen pesawat. Lampu ‘air speed indicator’ baru saja berubah warna menjadi merah, lalu berkedip-kedip.
“Air speed....?” Mata Letnan-dua Sukhairi menyipit menyaksikan angka-angka digital yang tertera di sana perlahan berkurang. Hal itu menunjukkan adanya penurunan pada kecepatan pesawat.
“Oh Tuhan, air speed drop Kapten....!” Teriak Sukhairi menepuk jidat.
“Letnan, lihat sayap sebelah kiri.” Seru Adam tanpa menonjolkan kepanikannya. Perwira muda itu mengintip ke sisi bahagian kiri pesawat melalui kaca jendela, lalu dia menunjuk-nunjuk dengan jempol kirinya ke arah sayap.
“Dua baling-baling ‘propeller’ stuck!” Adam mengulangi. Suaranya masih terdengar datar mengetahui kedua mesin pendorong di sisi sayap sebelah kiri itu tak lagi berputar.
“Air speed drop, tapi sekarang stabil Kep.” Sukhairi menyela setelah dia memperhatikan instrumen yang ada di hadapannya.
“Tetap stabil di 310 knots, aman Kep.” Ucap Sukhairi lagi menarik napas lega.
“Bagus, keep it constant....!” Sambut Adam mengacungkan jempolnya.
Dua mesin pendorong mati, kecepatan pesawat terdeteksi berkurang. Namun untuk beberapa saat kecepatan masih terpantau stabil di 310 knot, atau 592 kilometer per jam. Tujuh sirip ‘propeller’ pada masing-masing mesin sisi kanan sayap masih gagah berputar seperti gasing, menyemburkan ‘thrust’ atau daya dorong ke depan.
Sukhairi kemudian mengintip ke kanan melalui kaca jendela. “Dua propeller sisi kanan terpantau normal Kep.” Ujar Letnan itu. Lega-lega ngeri jantung Sukhairi menyaksikan dua propeller atau baling-baling yang tergantung di sisi kanan sayap pesawat masih berputar seperti biasa. Tinggal dua nyawa baling-baling lagi kini yang masih tersisa.
“Ok, di copy.’ Adam menganggukkan kepala.
Pesawat sedang melintas di tengah-tengah lautan pada ketinggian jelajah terbang 28.000 kaki yang terpantau oleh Adam saat itu. Hampir setara dengan 8.500 meter di atas permukaan laut. Tepat seratus mil timur laut jauhnya dari kepulauan Masalembo. Masih sekitar 175 mil laut atau 314 kilometer lagi menuju landasan pacu terdekat Sultan Hasanuddin di kota Makassar. Masih lumayan jauh, namun itulah satu-satunya bandara terdekat yang bisa dijadikan alternatif untuk melakukan pendaratan darurat.
Kontak radio segera dilakukan oleh Kapten Adam dengan bandara pengawas setempat meminta izin untuk melakukan pendaratan darurat.
“Ujung control, this is foxrot oscar el si one three zero, our two engines is down, we declare an emergency condition.”
“flight level two eight zero, another one seven five miles from run way, we ask permission for an emergency landing.”
*****
Beberapa menit setelah kontak radio dilakukan, pesawat Hercules Lockheed C-130 itu terhuyung beberapa detik. Tak lama kemudian, secuil lagi sentakan kembali dirasakan dalam kokpit. Dengungan mesin sedikit melemah, lalu meninggi lagi beberapa saat. Kecepatan pesawat terpantau masih berfluktuasi.
“Oh no, no, no, no....!” Sukhairi celetuk lagi. Kemudian dia gigit-gigit jari. Dada yang tadi lega kini kembali ngeri.
“Air speed turun lagi Kep, di dua puluh persen sekarang!”
“Nggak apa-apa, lihat tuh sekarang kembali stabil kan?”
“Oh ya, benar Kep, mudah-mudahan tetap bertahan.”
“Saya yakin kita masih aman Letnan.”
Level penunjuk bahan bakar pesawat masih cukup banyak, tujuh puluh persen tersedia dari kapasitas penuhnya. “Fuel di tujuh puluh persen Letnan, tak ada masalah, tapi paling tidak kita butuh 35 menit lagi sampai di landasan.” Ujar Adam, pilot berpangkat Kapten usia 27 tahun itu.
Namun...., ketegangan sepertinya masih enggan pergi, kecepatan pesawat terpantau menurun lagi. Indikator kecepatan pesawat menunjukkan adanya penurunan berputar ke kiri. Kekalutan pun kembali menyergap Sukhairi.
“Air speer drop lagi Kapten....!” Sukhairi mencak-mencak ngeri.
“Bagaimana Kapten, apakah kita tetap proceed?”
“Letnan, tahan dulu….!”
Radar cuaca kebetulan diintip oleh Adam. Ternyata apa yang sedang terjadi di depan pesawat begitu mencengangkan. Warna merah terlihat berhamburan pada layar radar. Adam pun sontak diterjang keterkejutan.
“Subhanallah.... Allahuakbar....” Sekejap Adam berzikir bersunyi diri. Perwira itu mengatur keseimbangan antara tarikan nafas dan hembusannya, dia jaga agar tetap seirama untuk mengurai kepanikannya.
Adam baru saja mengetahui ternyata ada kendala lain yang lebih serius yang akan mereka hadapi. Awan-awan badai cumulonimbus mendadak bermunculan walau tak pernah diundang. Tumpukan-tumpukan acak berwarna merah mirip ceceran darah menghiasi layar radar. Sebagian terlihat bergerak menyebar, sebagian warna merah yang lainnya mulai membesar. Pembentukan awan-awan badai terjadi sebegitu cepat, dan celakanya lagi awan-awan itu memuncrat tepat di jalur pesawat.
“Ya Allah, bagaimana mungkin ini bisa terjadi dengan tiba-tiba?” Adam memelankan suaranya.
“Apa yang terjadi Kep?” Sukhairi menyela. Dia ikut mendengar apa yang dikatakan Adam tadi.
“Sekarang masalahnya bukan pada air speed, tapi tapi lihat itu Letnan. Ada badai di depan, pola awannya semakin menyebar.” Tunjuk Adam pada display monitor cuaca. Badai kentara sekali terlihat menghadang mereka beberapa mil laut jauhnya di depan sana. Yang menakutkan, badai itu ter-indikasi akan terus meluas dan menyebar ke mana-mana.
Sukhairi mendekatkan wajahnya ke layar radar cuaca. Dia ikut mengamati apa yang tergambar di sana. Kulit jidatnya langsung berkerut lima setelah dia mengetahuinya. “Ya Tuhan, badai….?” Ucap Letnan itu geleng-geleng kepala. “Petaka....!” Sambung Letnan itu lagi menabok jidat.
Pada layar monitor terbaca memang cukup banyak area ter-indikasi warna merah yang menunjukkan adanya konsentrasi awan badai di sana. Lokasinya tepat berada di jalur pesawat sebelum mencapai landasan. Sebaran awan-awan badai itu cukup luas. Jika terpaksa harus memilih menghindar, maka pesawat akan berputar terlalu jauh. Dengan kondisi kehilangan dua mesin pendorong ‘propeller’ sekaligus, kekuatan daya dorong akan terus merosot. Hal itu akan menyebabkan pesawat akan kehilangan daya angkat dan mengalami aeoro-dinamic-stall. Akan dapat dipastikan, pesawat keburu jatuh terjerembab sebelum berhasil mencapai landasan.
“Konsentrasi badai seratus lima puluh mil menjelang pantai.” Jelas Adam mencoba memperhitungkan. .
“Tiga puluh derajat ke kanan mungkin lebih aman Kep.” Usul Sukhairi berbelok 30 derajat menghindari badai.
“Terlalu jauh Letnan, altitude tak memungkinkan, lihat….! masih terus drop, sepertinya kita akan terus kehilangan ketinggian.”
“Kita terobos Kep?”
“Jangan Let, high risk, energi yang terkumpul di sana terlalu besar.”
“Emergency landing apa mungkin Kep?”
“Tak direkomendasikan Let, juga tak memungkinkan, kita cari pertimbangan lain, pasti ada jalan keluar yang lebih baik.”
“Benar-benar rumit Kep!”
“Memang Let, tapi kita search dulu, kita coba temukan jalur dengan risiko yang paling minimal.”
Kondisi sebaran awan-awan badai melalui monitor radar cuaca diamati lebih detail lagi oleh Adam. Beberapa bagian dia ‘zoom’ diperbesar beberapa kali agar dapat menganalisa lebih jelas. Ada beberapa bagian yang mempunyai risiko lebih kecil untuk dilewati dan kemungkinan pesawat tersambar petir juga lebih kecil.
“Ada celah di depan sana, itu mungkin lebih baik Letnan.”
“Arah jam ‘2’ Kapten, lihat indikasi warnanya, rute itu kelihatannya lebih aman.”
“Tak mungkin Letnan, pesawat akan terlalu jauh memutar. Lihat warna merah yang ada di depannya masih setumpuk lagi dan tak ada jalan keluar di sana.”
“Maaaak....! matilah aku, aku ini belum lagi sempat kawin Kep, bagaimana nasib ku ini nanti....?” Suara Sukhairi terdengar pilu, namun wajahnya terlihat lugu.
“Masih ada kemungkinan, lihat dua tumpukan itu Let!” Tunjuk Adam pada tumpukan dua awan badai yang sedang mendekat satu sama lainnya.
“Alammaaak, tambah mati lagi aku Kep!” Sukhairi menggerutu, wajahnya berubah sayu.
“Takut mati Let.?” Adam berseloroh.
“Siap, tidak Kep....!” Sukhairi menjawab serius.
“Tapi kan katanya belum kawin?” Adam masih berseloroh.
“Biar saja Kep, yang penting aku tidak akan meninggalkan seorang janda!” Sukhairi menganggapinya masih serius.