Matthew Xaverius Anderson harus merubah identitas aslinya dengan nama Matthew Xaverius Lutof semenjak ia menjadi anak yatim piatu di usianya yang ketujuh tahun. Kedua orang tuanya meninggal akibat ledakan hebat yang terjadi pada sebuah kapal pesiar dalam pelayaran perdananya. Matthew diadopsi dan dibesarkan oleh Clark Lutof, seorang kapten yang bertugas pada pelayaran itu. Clark tahu bahwa Matthew adalah satu-satunya keturunan dari Althan Anderson, salah satu pemilik saham dari perusahaan Shipping Line tempatnya bekerja. Tetapi Clark sengaja menyembunyikan keberadaan dan identitas Matthew untuk sementara waktu demi keselamatan anak itu karena Clark mencurigai ada kejanggalan dari tragedi kebakaran kapal pesiar yang telah menewaskan ribuan nyawa itu. "Jadi menurutmu sekarang sudah waktunya kamu menunjukkan dirimu di hadapan mereka?" tanya Clark sembari menghisap cerutunya. Ditatapnya Matthew yang sedang menatap nyalang ke arah luar jendela. "Hmm," gumam Matthew seraya mengangguk kecil. Di tangannya ia memegang sebuah jam tangan peninggalan orang tuanya. Ada ukiran nama Matthew Xaverius Anderson di bagian case back jam itu. "Sudah waktunya aku mencari kebenaran dan mengungkap misteri yang tertutup selama ini," lanjut Matthew lagi yang kini berjalan mendekati Clark. Clark mengangguk pelan. Bibir yang sedang menghisap cerutu itu tersenyum bangga, "Pergilah, dan bawa kembali hakmu." "Hm!" sahut Matthew dengan anggukan penuh keyakinan, "Akan aku temukan semua bukti-buktinya, dan akan aku rebut kembali apa yang menjadi milik keluargaku!" Dalam benak Matthew sudah tersimpan nama Vincent Gregorius, orang yang dicurigai memiliki peran penting dalam terjadinya kebakaran kapal pesiar yang menewaskan nyawa kedua orang tua Matthew. Benarkah Vincent Gregorius adalah dalang di balik tragedi itu? Mampukah Matthew mengungkap misteri ini?
Dhuaarrr!!! Bummm!!!
Suara ledakan dan dentuman yang begitu keras berhasil memekakkan telinga seluruh penumpang kapal pesiar "The Eye of Ocean".
Kapal yang sedang melakukan pelayaran wisata dari Queenstown menuju ke New York ini rupanya mengalami kebakaran hebat.
Semua penumpang dari masing-masing deck kian berhamburan tak tentu arah.
"Daddy ...! Dad ...! Mommy! Daddy! Mommy!" Matthew yang masih berusia tujuh tahun berteriak-teriak dengan sekuat tenaga yang ia miliki. Berharap dengan begitu kedua orang tuanya bisa mendengar suaranya.
"Mommy! Daddy! Tolong Matthew! Matthew takut, Mommy! Daddy!" tak henti-hentinya Matthew berteriak meskipun suara polosnya teredam oleh hiruk-pikuk ribuan orang yang berlalu-lalang demi bisa menyelamatkan nyawanya sendiri.
Asap tebal dan api yang menyambar-nyambar sudah menguasai sebagian besar kapal.
"Cepat minta sekoci! Kita harus bisa dapatkan sekoci supaya bisa selamat!"
Matthew mendengar seruan orang-orang di sekelilingnya yang sudah dikuasai kepanikan.
"Tapi para petugas itu bilang sekoci di dalam kapal ini hanya tersedia 50 unit!" seru yang lainnya.
"Apa?! Kapal pesiar sebesar dan semegah ini hanya punya sekoci 50 unit? Yang benar saja! Kebakaran hebat sudah terlanjur terjadi, apinya sudah merambat ke segala arah! Kalau kita tidak segera mengambil sekoci, bisa-bisa kita semua habis dilalap lidah-lidah api ini!" tandas yang lainnya lagi dalam keadaan emosi dan panik.
Di tengah atmosfer yang menegangkan ini tiba-tiba mereka merasakan sepatu yang mereka pakai mulai basah dan dengan segera mereka bisa menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bahwa setiap lantai di kapal ini sudah digenangi dengan air laut.
"Sialan! Masalah apa lagi ini?!" seru pria berkumis yang berdiri tidak jauh dari tempat Matthew berada.
"Aaa ...!! Mommy ...! Daddy ...! Matthew takut!" Matthew kian dikuasai ketakutan tatkala ia merasakan air laut yang menggenangi kapal mereka sudah semakin tinggi hingga sebatas betisnya.
"Cepat keluar! Ternyata kapal ini terbelah jadi dua! Ayo, keluar!" seru yang lain lagi saat melintasi kerumunan orang-orang itu.
Mendengar celotehan di sekelilingnya membuat Matthew semakin panik. Anak kecil itu lantas berlari keluar deck untuk menemukan orang tuanya.
"Mommy! Daddy! Di mana kalian? Matthew takut! Matthew janji tidak akan pergi main tanpa izin lagi! Matthew janji tidak akan keluar kamar lagi tanpa Mommy dan Daddy!" sembari kaki kecilnya berlari, bibirnya terus meracau melontarkan barisan kata yang sarat akan penyesalan.
Tapi langkah Matthew terhenti seketika di saat ia sampai di sebuah koridor, sepasang bola matanya melihat ada tiga orang pria dewasa berbadan sangat kekar sedang menyeret dan mengumpulkan semua anak kecil yang mereka temui.
"Sini, cepat!" ucap salah seorang dari mereka yang sedang menjambak rambut seorang anak perempuan berambut pirang dan menyeretnya ke sudut koridor.
"Aaa! Tolong! Tolong! Sakit, Paman!" suara teriakan dan tangisannya menggema cukup kencang. Tapi sayang, sudah tidak ada orang di sepanjang koridor ini karena mereka semua sudah keluar dari deck masing-masing.
"Diam di sini dan jangan berisik!" bentak pria kejam itu pada anak kecil yang sudah merasa terancam.
Sepasang mata Matthew membulat seketika saat menyaksikan pemandangan kejam itu. Dan mirisnya semua pria berbadan kekar itu juga berbuat hal yang sama terhadap semua anak kecil yang sudah terpisah dari orang tua mereka.
Dengan debar jantung yang kian menderu, Matthew membekap mulutnya sendiri kuat-kuat agar tidak menimbulkan suara. Ia segera berbalik arah dan berlari cepat.
Ia memasuki sebuah ruang penyimpanan yang di dalamnya terdapat begitu banyak peti kemas.
Dengan air mata yang sudah berlinang membasahi pipi tembemnya, Matthew berusaha menyembunyikan dirinya di antara peti-peti kemas itu.
"Hey! Kenapa kamu di sini? Ayo, keluar!"
Deg!
Matthew menyadari ada yang berhasil menemukannya dari persembunyian ini.
Bersambung