Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Misteri Menu Sarapan Mertua

Misteri Menu Sarapan Mertua

Fay Rizky

5.0
Komentar
3.3K
Penayangan
31
Bab

Setelah menikah, aku tinggal di rumah mertua. Niat hati agar aku bisa merawat mertua juga. Tapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda dengan mertuaku.

Bab 1 Awal

"Saya terima nikah dan kawinnya Hanum Humaira dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,"

"Bagaimana saksi?"

"Sah!"

"Alhamdulillah!"

Syukur dan bahagia atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku hari ini Ya Rab, aku telah resmi menjadi istri dari laki-laki yang cintai, Faris Ramadhan.

Pertemuanku bermula dari 4 bulan yang lalu. Kami bertemu di sosial media. Awalnya kami hanya saling berbalas komentar di sebuah postingan akun humor, namun ternyata kami jadi nyaman satu sama lain.

Dari berbalas komentar, kami berlanjut ke pesan pribadi, lalu ketemuan dan dia mengatakan niat untuk menjalin hubungan yang serius.

Tentu aku mengiyakannya, toh aku juga berada di usia yang sudah pantas menikah. Kami mengadakan pertemuan keluarga dan mendapatkan respon yang bagus. Tanpa menunggu lama, persiapan pernikahan langsung dilakukan.

Aku sudah merasa lelah dengan janji atau hubungan yang gantung, jadi aku berdoa untuk didatangkan laki-laki yang serius dan tulus kepadaku.

Wah tidak disangka, Allah langsung mendatangkannya. Dia laki-laki yang Allah kirimkan untuk menjadi imamku dan membimbingku ke jalan yang lebih baik.

"Hanum, kamu ingatkan? Kalau ibuku seorang janda dan aku adalah anak bungsu, jadi aku harus tetap menjaga ibu. Aku juga tidak akan melupakan tugas dan kewajibanku sebagai suami. Kamu tetap boleh melakukan apapun yang kamu mau," kata Faris.

"Ya, aku juga akan merawat ibu bagaikan ibu kandungku, karena aku anak tunggal yang tidak punya kesempatan merawat ibuku lagi," balasku.

Ibuku telah meninggal disaat aku masih SMA dan ayahku telah menikah lagi. Jadi aku rasa tidak apa-apa kalau aku harus tinggal di rumah mertua dan merawatnya.

Hubunganku dengan mertuaku juga tidak ada masalah. Ibu mertuaku baik dan ramah, jadi kemungkinan aku tidak akan mengalami drama perseteruan mertua-menantu seperti yang banyak terjadi diluar sana.

Akhir pekan telah usai, pesta pernikahan pun telah berakhir, saatnya kami kembali bekerja. Suamiku, Faris bekerja di bagian HR perusahaan makanan dan aku bekerja dibagian marketing perusahaan digital.

Setiap pagi hatiku sungguh bahagia, karena bangun langsung bertatapan dengan mata suami. Kami melaksanakan sholat subuh berjamaah dan mengaji bersama.

Setelah sholat aku turun ke lantai satu untuk menyiapkan makanan. Ternyata ibu mertuaku sudah lebih dulu memasak. Aku terkejut dan merasa malu karena terlambat sedikit.

"Tidak apa-apa Hanum, kamu bisa membantu ibu membereskan rumah seperti menyapu dan mengepel," sahut ibu mertua ketika melihatku.

"Ibu maaf seharusnya aku turun lebih cepat,"jawabku.

"Tidak apa-apa, lagi pula ibu memang hobi masak dan ibu tidak bisa sembarangan makan makanan yang dimasak orang lain. Maklum kan sudah tua, sudah banyak penyakit,"

Aku yang mendengar perkataan ibu mertua langsung bergegas membereskan semua sudut rumah, tidak lupa juga dengan menyapu dan mengepel.

Tidak masalah bagiku, aku kerjakan saja pekerjaan yang bisa kulakukan sebelym berangkat bekerja.

Waktu telah menunjukkan pukul 06.50 kami sudah selesai sarapan. Masakan ibu mertua ternyata sangat enak. Aku sampai kalap dan lupa diri.

Aku dan suamiku bekerja dengan naik kereta, namun kami berbeda jalur. Jadi kami berangkat bersama dengan motor atau mobil ke stasiun, setelah itu kami melanjutkan dengan kereta masing-masing.

Sesampainya di kantor, semua orang seperti orang gila, tersenyum padaku. Sungguh pemandangan yang aneh, karena biasanya mereka semua tipe yang serius.

"Ada apa sih kalian semua? Salah makan?" Tanyaku yang heran.

"Cie penganten baru, kenapa engga pergi bulan madu aja?"

"Nanti aja sekalian akhir tahun, kan banyak target yang harus dicapai sebelum aku pergi bulan madu."

Perbincangan sehat pagi hari di kantor. Aku pergi meninggalkan mereka dan menuju ruanganku. Disana sudah ada Kana, teman semeja kantorku.

"Eh gimana Num, nikah? Berarti kamu sudah enggak perawan lagi kan ya?" Pertanyaan frontal keluar dari mulut Kana.

Aku langsung melirik sinis ke arahnya sambil membuka laptopku. Ternyata begini ya rasanya langsung masuk kerja setelah menikah. Tau gitu aku ambil cuti sekalian.

Aku tidak menjawab pertanyaan Kana karena aku langsung melanjutkan pekerjaanku. Banyak yang harus dikerjakan sebelum rapat nanti siang. Aku tidak mau waktu habis terbuang hanya untuk menceritakan kisah pernikahanku.

Makan siang pun tiba, aku dan Kana makan di food court kantor. Kami memilih bakso sebagai menu makan siang kami.

"Yah Kan, masa enggak ada sendok garpunya, terus kita makan pake apa dong?" Tanyaku.

"Makannya kita dicomot,"

"Sembarangan! Emang ini bakso kering, aku habis ini masih ada rapat tau, masa persentasi tangan bau bakso, kan enggak lucu!"

"Ini sendok garpunya,"

Aku yang sedang mengomeli Kana jadi terhenti karena ada tangan yang memberikan sendok garpu kepada kami. Tangan itu adalah tangan Tio.

"Makasih sendok garpunya," kataku pelan.

Tio adalah orang yang bisa dibilang sebagai calon suamiku tapi tidak jadi. Keluarganya tidak menerimaku karena perbedaan suku. Tio berasal dari keluarga Padang dan aku dari Betawi. Keluarga Tio menginginkan ia berjodoh dengan darah sesama minang.

"Wah sendok dari mantan tuh,"

"Apasih Kan, kaya bocil,"

"Kalau kamu jadi nikah sama dia, wah engga tau bakal secakep apa anaknya nanti, jujur ya menurutku masih ganteng Tio dari Faris,"

"Ganteng tapi engga dinikahin iya buat apa juga Kan, aku butuh yang lebih siap,"

Setelah pembicaraan itu, aku dan Kana langsung menghabiskan bakso kami dan kembali bekerja hingga sore hari.

Pulang kerja, suamiku telah menungguku di stasiun transit. Rasanya senang karena ditunggu. Kami pulang dengan bergandengan tangan sepanjang jalan.

Segitu tiba di rumah, ibu mertua juga sudah menanti kami, menyambut kami dengan senyuman dan makanan yang hangat. Setelah sholat maghrib kami semua makan malam bersama.

Dan itu lah kisah hari pertamaku sebagai istri, sungguh bahagiakan, tetapi kisah sebenarnya baru saja dimulai setelah pernikahan kami berjalan lebih dari 3 bulan.

Semua orang kini mempertanyakan, kapan hamil? Kapan ngisi? Kenapa belum hamil juga?

Wah rasanya telingaku menjadi panas. Mereka yang bertanya tidak sadar, aku ini baru 3 bulan menikah bukan 3 tahun menikah. Kami juga sudah berusaha agar kami cepat diberi momongan. Tapi bagaimana kami hanya bisa sebatas berusaha.

Semua mempertanyaannya, mertua, ipar, ayah bahkan ibu tiriku pun sama. Belum lagi dari lingkungan kantor dan tetangga. Mereka semua apa sih?! Seolah aku sudah bertahun-tahun belum hamil juga.

Aku juga tidak tahu kalau tidak akan hamil cepat. Asal kalian tahu, aku juga inginnya hamil cepat. Tapi bagaimana? Kami sudah melakukan prosedur yang seharusnya, tinggal Allah lagi yang memberikan yang entah kapan itu.

Terlalu banyak tekanan dan pertanyaan membuat aku tertekan. Rasanya aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk berangkat kerja.

Brugh...

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku