Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Ilham : Maaf, lamarannya aku batalkan karena alasan pribadi.
Aku tercengang melihat pesan yang dikirim Mas Ilham via WhatsApp. Pasalnya dia datang ke rumah melamar dua minggu lalu, tetapi sekarang malah memutuskan sepihak bahkan dengan cara tidak hormat.
Bukan aku ingin dihargai, tetapi hubungan yang melibatkan keluarga itu jika ingin diakhiri seharusnya dilakukan dengan baik. Tidak usah memikirkan perasaanku, cukup orang tua dan keluarga lainnya. Pesan singkat itu teramat melukai hati hingga aku kesulitan mengambil napas.
"Ada apa, Yum?" tanya ibu memecah lamunan. Ponsel yang ada dalam genggaman jatuh ke lantai tanpa mampu aku cegah.
"M-mas Ilham, Bu." Aku menatap kedua mata ibu yang sayu.
"Kenapa dengan Ilham?"
Tanpa mampu menjawab, aku langsung menghamburkan diri dalam pelukan ibu berharap semua ini hanya mimpi. Selama ini tidak ada praduga akan dilukai calon suami yang kelihatannya taat pada agama dan Tuhannya. Air mata merembes begitu cepat bahkan bahu mulai terguncang. Aku tidak bisa menangis dalam diam.
Ibu mengelus lembut belakangku. Aku mengerti pasti beliau masih bertanya-tanya apa yang terjadi. Mungkin juga menebak kalau Mas Ilham mengalami kecelakaan atau sakit keras. Namun, kurasa hati ini tidak sanggup untuk menyampaikan pesan aksara itu. Terlalu sakit.
"Aku ke kamar dulu, Bu. Nanti kalau sudah tenang baru cerita ke Ibu," ucapku sambil memungut ponsel dan menyembunyikannya dalam kantong gamis.
"Tapi kamu baik-baik saja, 'kan?"
"Iya, Bu. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tersenyum walau sebenarnya sulit sekali.
Setelah itu, aku melangkah pelan masuk kamar dan mengunci dari dalam. Sekali lagi kubaca pesan itu untuk memastikan kalau ini bukan halu atau mimpi bahkan sengaja mencubit lengan. Dua detik kemudian aku memberanikan diri menelepon Mas Ilham dan langsung terhubung.
Hening. Aku terlalu takut memulai pembicaraan duluan apalagi kami kenal melalui proses ta'aruf. Sebenarnya sudah lama mengenalnya, tetapi untuk lebih dekat baru enam bulan terakhir. Huh, jantung berdegup begitu cepat.
"Ada apa, Yum?" Suara Mas Ilham terdengar santai seakan pesan yang dikirim itu tidak pernah ada.
Dengan mengumpulkan keberanian, aku mulai membuka suara. "P-pesan yang Mas Ilham kirim t-tadi maksudnya apa?"
"Oh itu ...." Mas Ilham terdengar mengembuskan napas berat, lalu melanjutkan, "lamarannya aku batalkan karena alasan pribadi, Yum. Tolong, kamu sampaikan ini sama orangtua dan keluargamu. Maaf sekali."
Aku yang sedang berdiri langsung terduduk di lantai seraya menggigit bibir menahan luka. Kalimat Mas Ilham bagai petir yang menyambar di siang bolong. Enteng sekali dia mengucapkan itu bahkan seakan aku ini tidak punya hati.
Memutuskan lamaran karena alasan pribadi? Aku tidak mengerti maksud dari kalimat itu, apa karena kami yang bukan keluarga kelas atas atau tinggal di kampung? Bahkan ada prasangka lain bahwa Mas Ilham telah menemukan perempuan yang jauh lebih cantik.
"K-kamu gak lagi bercanda, 'kan?" Aku masih menyimpan secuil harapan.
"Tidak, aku serius. Maafkan aku karena tidak bisa datang meminta maaf secara langsung. Jangan hubungi aku lagi karena ... lupakan saja!"