Luka Yumna bermula ketika Ilham memutus lamaran secara sepihak. Saat itu pula hinaan dan fitnah dari tetangga membabi buta menusuk hati. Namun, suatu hari ada fakta mengejutkan terkait lamaran yang batal itu baik karena alasan sebenar Ilham atau karena kisah delapan tahun lalu.
Ilham : Maaf, lamarannya aku batalkan karena alasan pribadi.
Aku tercengang melihat pesan yang dikirim Mas Ilham via WhatsApp. Pasalnya dia datang ke rumah melamar dua minggu lalu, tetapi sekarang malah memutuskan sepihak bahkan dengan cara tidak hormat.
Bukan aku ingin dihargai, tetapi hubungan yang melibatkan keluarga itu jika ingin diakhiri seharusnya dilakukan dengan baik. Tidak usah memikirkan perasaanku, cukup orang tua dan keluarga lainnya. Pesan singkat itu teramat melukai hati hingga aku kesulitan mengambil napas.
"Ada apa, Yum?" tanya ibu memecah lamunan. Ponsel yang ada dalam genggaman jatuh ke lantai tanpa mampu aku cegah.
"M-mas Ilham, Bu." Aku menatap kedua mata ibu yang sayu.
"Kenapa dengan Ilham?"
Tanpa mampu menjawab, aku langsung menghamburkan diri dalam pelukan ibu berharap semua ini hanya mimpi. Selama ini tidak ada praduga akan dilukai calon suami yang kelihatannya taat pada agama dan Tuhannya. Air mata merembes begitu cepat bahkan bahu mulai terguncang. Aku tidak bisa menangis dalam diam.
Ibu mengelus lembut belakangku. Aku mengerti pasti beliau masih bertanya-tanya apa yang terjadi. Mungkin juga menebak kalau Mas Ilham mengalami kecelakaan atau sakit keras. Namun, kurasa hati ini tidak sanggup untuk menyampaikan pesan aksara itu. Terlalu sakit.
"Aku ke kamar dulu, Bu. Nanti kalau sudah tenang baru cerita ke Ibu," ucapku sambil memungut ponsel dan menyembunyikannya dalam kantong gamis.
"Tapi kamu baik-baik saja, 'kan?"
"Iya, Bu. Aku baik-baik saja." Aku berusaha tersenyum walau sebenarnya sulit sekali.
Setelah itu, aku melangkah pelan masuk kamar dan mengunci dari dalam. Sekali lagi kubaca pesan itu untuk memastikan kalau ini bukan halu atau mimpi bahkan sengaja mencubit lengan. Dua detik kemudian aku memberanikan diri menelepon Mas Ilham dan langsung terhubung.
Hening. Aku terlalu takut memulai pembicaraan duluan apalagi kami kenal melalui proses ta'aruf. Sebenarnya sudah lama mengenalnya, tetapi untuk lebih dekat baru enam bulan terakhir. Huh, jantung berdegup begitu cepat.
"Ada apa, Yum?" Suara Mas Ilham terdengar santai seakan pesan yang dikirim itu tidak pernah ada.
Dengan mengumpulkan keberanian, aku mulai membuka suara. "P-pesan yang Mas Ilham kirim t-tadi maksudnya apa?"
"Oh itu ...." Mas Ilham terdengar mengembuskan napas berat, lalu melanjutkan, "lamarannya aku batalkan karena alasan pribadi, Yum. Tolong, kamu sampaikan ini sama orangtua dan keluargamu. Maaf sekali."
Aku yang sedang berdiri langsung terduduk di lantai seraya menggigit bibir menahan luka. Kalimat Mas Ilham bagai petir yang menyambar di siang bolong. Enteng sekali dia mengucapkan itu bahkan seakan aku ini tidak punya hati.
Memutuskan lamaran karena alasan pribadi? Aku tidak mengerti maksud dari kalimat itu, apa karena kami yang bukan keluarga kelas atas atau tinggal di kampung? Bahkan ada prasangka lain bahwa Mas Ilham telah menemukan perempuan yang jauh lebih cantik.
"K-kamu gak lagi bercanda, 'kan?" Aku masih menyimpan secuil harapan.
"Tidak, aku serius. Maafkan aku karena tidak bisa datang meminta maaf secara langsung. Jangan hubungi aku lagi karena ... lupakan saja!"
"Hubungan kita sudah melibatkan orangtua, ini cara yang tidak baik untuk membatalkan lamaran, Mas!" kataku dengan suara tertahan.
"Baiklah, nanti ummi akan menelepon keluargamu. Assalamu'alaikum, Ukhti Yumna."
Belum sempat aku menjawab salam lelaki itu, panggilan sudah terputus. Aku hanya bisa mengembus napas kasar untuk melonggarkan dada yang terasa sesak. Air mata jatuh membentuk anak sungai. Hati sudah sangat hancur dan entah bagaimana cara menyampaikan ini pada keluarga.
Terutama Mas Dika yang kemarin membujukku untuk menolak lamaran Mas Ilham. Dia selalu berasumsi bahwa lelaki itu bukan yang terbaik karena firasat padahal mereka tidak saling mengenal. Aku yang selalu berusaha menerima takdir dengan prasangka baik tidak peduli dengan penolakan Mas Dika.
Ponsel berdering memecah lamunan, nomor baru ini mungkin milik orangtua Mas Ilham. Dengan tangan gemetar aku menekan ikon hijau hingga panggilan terhubung. Perlahan benda pipih itu aku dekatkan ke telinga dan berucap salam, ada jawaban dari seberang sana.
"Ini ummi, Nak. Maaf sekali dengan keputusan Ilham. Ummi juga kaget karena tidak diberitahu lebih dulu dan sekarang tidak tahu harus melakukan apa. Untuk ke rumahmu meminta maaf dan menjelaskan semua ini rasanya sulit," lirih perempuan paruh baya yang aku panggil ummi sejak resmi menjadi calon menantunya.
"Ummi, apa kalian tidak memikirkan perasaanku diperlakukan seperti ini? Bukan hanya aku, tetapi orangtua dan keluarga besar lainnya. Kabar pernikahan yang akan dilangsungkan dua bulan ke depan sudah beredar di kalangan tetangga dan kerabat–"
"Maafkan kami, Nak. Kami sebagai orangtua Ilham tidak tahu harus melakukan apa karena ini sudah menjadi keputusannya." Ummi memotong kalimatku. Beliau seperti ingin membela diri.
Dengan berat hati aku memutus panggilan telepon sepihak. Rasanya benar-benar hancur bahkan tidak sanggup rasanya jika berita ini diketahui tetangga. Mereka tidak akan ragu untuk menggunjing bahkan mungkin saja menyalahkan jilbabku. Takdir begitu kejam merenggut kebahagiaan yang baru dimulai.
Ponsel kembali berdering, ada telepon dari nomor yang sama. Aku mengusap wajah gusar, lalu beralih memijit kening. Ingin sekali berteriak untuk meminimalisir luka, tetapi apa kata tetangga? Sungguh, aku frustrasi dengan keputusan yang tidak terduga ini.
"Tuhan, aku harus apa? Tidak terbayang bagaimana terlukanya ayah sama ibu kalau sudah tahu lamaran ini batal," monologku disertai senyum getir.
Ketukan di pintu membuatku terperanjat. "Yumna, ibu mau masuk!"
Terpaksa aku beranjak, mengusap air mata dan meraih kenop pintu. Ibu menatap sendu dan langsung menyeretku pelan masuk kamar. Beliau menggeleng sambil menggenggam erat tangan ini.
"Ada apa? Ceritakan sama ibu, Yum!"
Ponsel kembali berdering untuk kedua kalinya. Tanpa ragu lagi, aku mengangkan telepon itu dan menyerahkan pada ibu. Selebihnya biar Tuhan yang mengatur. Aku sudah siap dengan semua cemooh atau hinaan dari tetangga. Semoga Allah melindungiku dan sekeluarga.
"Loudspeaker dulu, Yum! Ibu tidak bisa mendengar jelas!" titah ibu, aku pun menekan ikon speaker. Setelah itu beliau melanjutkan, "silakan diulang, Bu!"
Embusan napas berat dari ummi terdengar sekali. Aku bisa mengerti bagaimana malunya beliau menyampaikan keputusan yang sangat tidak beretika ini. Namun, bagaimana lagi karena Mas Ilham sudah memilih yang bahkan alasan jelasnya belum diungkapkan.
Dada berdebar tak ubahnya pacuan kuda menunggu kalimat ummi. Aku bahkan ingin menghilang saja karena tidak sanggup melihat kesedihan di wajah ibu. Bukan mungkin, pasti beliau menitikkan air mata mengetahui anak gadisnya batal dipersunting lelaki yang dulu dibanggakannya.
"Kami minta maaf, Bu. Dengan berat hati lamaran Yumna Alishba Nazafarin dibatalkan," lirih ummi yang berhasil membuat air mata kembali tumpah tanpa permisi. Ibu memandangku dengan linangan air mata.
Bab 1 Pesan WhatsApp
26/06/2022
Bab 2 Luka yang Terpatri
26/06/2022
Bab 3 Lelaki Pecundang
26/06/2022
Bab 4 Ternyata Ada Orang Ketiga
26/06/2022
Bab 5 Namanya Muhammad Ilham
26/06/2022
Bab 6 Hinaan Tetangga
26/06/2022
Bab 7 Status Sindiran
26/06/2022
Bab 8 Aku Tidak Hamil
26/06/2022
Bab 9 Hampa
26/06/2022
Bab 10 Sebaris Asa
26/06/2022
Bab 11 Undangan Pernikahan
26/06/2022
Bab 12 Bertemu Mas Ilham Lagi
02/07/2022
Bab 13 Saudara Kembar Nurul
02/07/2022
Bab 14 Pesta Pernikahan
02/07/2022
Bab 15 Tuduhan Hamil
02/07/2022
Bab 16 Ulah Bu Wenda
02/07/2022
Bab 17 Kepercayaan yang Goyah
02/07/2022
Bab 18 Ustaz Hasan Berubah
02/07/2022
Bab 19 Gara-gara Viral
02/07/2022
Bab 20 Ternyata Dia adalah Marry
02/07/2022
Bab 21 Secarik Kertas
02/07/2022
Bab 22 Akun Kloningan
11/07/2022
Bab 23 Akun Kloningan (2)
11/07/2022
Bab 24 Dituduh Pelakor
11/07/2022
Bab 25 Mas, Kamu Kenapa
11/07/2022
Bab 26 Kerja Sama dengan Amel
11/07/2022
Bab 27 Rencana Amel
11/07/2022
Bab 28 Sebuah Maaf
11/07/2022
Bab 29 Apakah Sandiwara
11/07/2022
Bab 30 Hadiah dari Gus Qabil
11/07/2022
Bab 31 Terjebak Hujan
13/07/2022
Bab 32 Gara-Gara Payung
13/07/2022
Bab 33 Sesak di Dada
13/07/2022
Bab 34 Kedatangan Gus Qabil
13/07/2022
Bab 35 Rahasia Ibu
13/07/2022
Bab 36 Bukti-Bukti
13/07/2022
Bab 37 Siapa Yang Munafik
13/07/2022
Bab 38 Duren Meresahkan
13/07/2022
Bab 39 Hacker!
13/07/2022
Bab 40 Pesan Baru
13/07/2022