Terpaksa Menikah Karena Kesalahpahaman

Terpaksa Menikah Karena Kesalahpahaman

Susanto

5.0
Komentar
Penayangan
18
Bab

Karena sebuah kesalahpahaman yang tak terduga, kehidupan Marissa berubah drastis. Wanita yang dulu hidup nyaman dan bebas, kini harus menikah dengan Hendra, sopir pribadinya sendiri, seorang pria yang memiliki wajah yang jauh dari kata menawan. Semua bermula saat sebuah undangan pesta keluarga besar Marissa tertukar. Ia tiba di tempat yang salah, dan kejadian itu membuat keluarganya mengira Marissa telah melakukan sesuatu yang memalukan. Tanpa sempat membela diri, keputusan drastis diambil: Marissa harus menikah dengan Hendra sebagai "solusi cepat" untuk menutupi skandal itu. Marissa mencoba menolak, tapi setiap usahanya berakhir sia-sia. Hendra, meski bersikap lembut, jelas bukan tipe pria yang selama ini diidamkannya. Hari-hari mereka dipenuhi dengan ketegangan; Marissa merindukan kebebasan dan kehidupan yang pernah dimilikinya, sementara Hendra hanya bisa mencoba menjadi suami yang baik dalam batas kemampuannya. Namun, di tengah kesedihan dan konflik batin itu, Marissa perlahan mulai melihat sisi lain Hendra. Kebaikannya yang sederhana, kesetiaannya yang tulus, dan kesabaran yang tak pernah habis perlahan-lahan menembus kerasnya hatinya. Meski wajah Hendra tak sesuai standar cantik impiannya, hatinya mulai belajar menghargai ketulusan dan kesetiaan, nilai yang selama ini tak pernah ia sadari begitu penting.

Bab 1 pamannya menunggu

Pagi itu, matahari bersinar lembut menembus tirai kamar Marissa, menciptakan pola cahaya yang menari-nari di lantai kayu yang bersih. Marissa menarik selimut lebih rapat, mencoba menahan rasa malas yang aneh menghantuinya. Hari ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan; undangan pesta keluarga besar dari pamannya menunggu, dan Marissa, sebagai cucu kesayangan keluarga, tentu harus hadir.

Ia menatap bayangan dirinya di cermin. Rambut cokelat panjangnya tergerai sempurna, wajahnya yang cantik tanpa cela tersenyum sendiri. "Semua akan baik-baik saja," gumamnya sambil merapikan gaun berwarna peach yang baru ia beli semalam.

Namun, hatinya gelisah. Beberapa hari terakhir, rumor tentang dirinya yang beredar di kalangan kerabat membuatnya tak nyaman. "Hanya khayalan mereka," ia menenangkan diri. Tapi entah kenapa, perasaan tak enak itu sulit hilang.

Di luar kamar, terdengar langkah cepat Hendra, sopir pribadinya. Ia datang dengan setelan sederhana-kemeja putih, celana hitam rapi, dan senyum canggung yang selalu membuat Marissa merasa ada jarak di antara mereka.

"Hendra, kau sudah siap?" suara Marissa terdengar ramah tapi sedikit gugup.

Hendra menunduk, tangan kanannya memegang setumpuk amplop undangan yang sudah dikemas rapi. "Iya, Bu Marissa. Semuanya sudah siap. Mobil juga sudah di parkiran." Ia ragu-ragu sejenak, kemudian menambahkan, "Tapi... tadi pagi ada telepon dari keluarga. Mereka... mereka ingin memastikan semuanya aman."

Marissa mengangkat alis. "Aman? Maksudmu?"

Hendra menghela napas panjang. "Ah... tidak apa-apa, Bu. Hanya mereka ingin... memastikan tidak ada kesalahan." Ia menunduk lagi, seolah menyesal karena tidak bisa menjelaskan lebih banyak.

Marissa menggigit bibir. Ada sesuatu yang tidak benar, tapi ia menepisnya. "Baiklah, Hendra. Mari kita pergi."

Mereka berangkat dengan mobil hitam panjang yang biasanya digunakan keluarga. Jalanan Jakarta pagi itu sudah mulai padat, tapi Marissa menikmati perjalanan dengan menatap pemandangan di luar. Gedung tinggi, lalu lintas yang padat, pedagang kaki lima-semuanya seperti panggung di mana ia hanya bisa menjadi penonton.

Saat mobil berhenti di depan rumah pamannya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Marissa, yang terburu-buru keluar, menabrak seorang wanita tua yang membawa sekantong belanjaan. Wanita itu terjatuh, barang-barangnya berserakan di trotoar.

"Oh, maafkan saya!" Marissa cepat-cepat menolong. Tapi sebelum ia sempat mengangkat barang-barang itu, beberapa kerabat yang sudah menunggu di depan rumah pamannya menatapnya dengan mata penuh tuduhan.

"Kau... Marissa? Apa yang kau lakukan?!" teriak salah satu sepupunya.

Marissa bingung. "Aku... aku hanya menolong...."

"Cukup! Semua orang sudah melihat sendiri," interupsi seorang paman dengan nada tegas. "Ini... ini tidak bisa dibiarkan."

Seketika, Marissa merasa dunianya runtuh. Apa yang terjadi? Mengapa mereka begitu marah?

Dan di tengah kekacauan itu, keputusan yang mengerikan muncul: sebagai "solusi cepat" agar skandal tidak melebar, Marissa harus menikah dengan Hendra, sopir pribadinya sendiri.

Marissa menatap Hendra, yang tampak canggung dan menunduk. Hendra bukanlah pria yang pernah ia bayangkan akan menjadi pasangan hidupnya. Wajahnya biasa, tak ada ketampanan luar biasa, dan aura yang dimilikinya lebih sederhana dari apa pun yang ia kenal.

"Apa kau gila?!" Marissa menjerit, suaranya pecah karena campuran marah dan panik. "Ini tidak adil! Aku tidak mau menikah denganmu!"

Hendra menatapnya dengan mata sayu. "Bu Marissa... aku tidak punya pilihan. Dan... aku tidak ingin ini juga. Tapi... ini keputusan keluarga."

Hati Marissa hancur. Ia merasa dikhianati oleh dunia yang ia kenal, oleh keluarga yang seharusnya melindunginya. Tangisnya pecah di depan semua orang, tapi tidak ada yang peduli.

Malamnya, setelah semua tamu pergi, Marissa duduk di kamar sendirian. Tangannya gemetar, matanya merah karena menangis. Hendra mengetuk pintu perlahan, masuk dengan langkah hati-hati.

"Bu Marissa... aku tahu ini sulit," katanya pelan. "Aku juga tidak ingin ini, tapi... kita harus melewati ini bersama."

Marissa menatapnya tajam. "Bersama? Kau pikir aku bisa menerima ini begitu saja? Aku... aku tidak ingin hidup seperti ini!"

Hendra menunduk. "Aku mengerti... tapi aku akan mencoba membuatmu merasa nyaman. Aku akan... berusaha menjadi suami yang baik."

Marissa terdiam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang menghantam hatinya. Ia tidak yakin bisa mempercayai Hendra, tapi ada satu hal yang jelas: hidupnya sekarang telah berubah selamanya.

Malam itu, Marissa menangis di bawah cahaya lampu kamar yang temaram. Setiap air mata adalah kesedihan atas mimpi-mimpi yang hancur, atas hidup yang tiba-tiba terasa seperti perangkap. Ia tahu, perjalanan ini akan panjang, menyakitkan, dan penuh ujian. Dan di ujung jalan itu, siapa yang tahu apakah ia akan menemukan kebahagiaan atau hanya kepedihan.

Di luar jendela, Hendra menatap bulan dengan ekspresi berat. Ia tahu perannya bukan hanya sebagai sopir atau suami yang dipaksa, tapi sebagai seseorang yang harus menanggung luka hati orang yang dicintainya-meskipun orang itu belum tentu mau mencintainya kembali.

Dan di sanalah mereka, dua orang yang berbeda dunia, dipaksa bersatu oleh sebuah kesalahpahaman. Satu kesalahan yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku