"Aku selalu berpikir, jika aku harus menjalani hidup ini dengan perjodohan, maka aku harus cukup kuat untuk menghadapi semuanya. Tapi kenyataannya, aku bukan hanya pengganti. Aku adalah pilihan kedua, yang kini terjebak dalam relung sepi yang penuh kepedihan." Mira Aditya tidak pernah membayangkan bahwa perjodohan yang dipaksakan oleh orang tuanya akan membawanya ke dalam kegelapan yang tak terduga. Terikat dalam pernikahan dengan Rafiq Jaya, seorang pria tampan yang selalu penuh pesona, Mira merasakan kepedihan setiap hari ketika melihat kenyataan pahit: Rafiq ternyata memiliki kekasih lama, Elena Faris, yang ia nikahi diam-diam. Hubungan yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan berubah menjadi neraka, di mana Mira hanya menjadi bayangan yang selalu terpinggirkan. Meski sering diperlakukan seperti orang asing, Mira mencoba mempertahankan semangatnya. Namun, hati seorang wanita tidak bisa menipu. Seiring berjalannya waktu, luka-luka di hatinya semakin dalam, dan rasa cinta yang sempat ada mulai menguap, berganti dengan rasa kecewa yang menggerogoti. Di tengah perjalanan hidup yang kelam ini, Mira harus memilih: bertahan dalam kesendirian yang menguras jiwa, atau melepaskan semua dan menutup babak suram ini untuk mencari jalan menuju kebebasan.
Mira Aditya duduk di sudut ruang keluarga yang sunyi, memeluk lututnya dengan pandangan kosong. Sebuah lampu temaram di pojok ruangan menjadi satu-satunya sumber cahaya, menerangi wajahnya yang pucat dan sembap karena tangis. Di pangkuannya, sebuah undangan pernikahan bertuliskan nama suaminya, Rafiq Jaya, dan wanita lain, Elena Faris, tergeletak seperti duri yang menancap di hati. Surat itu tak lagi mampu mengguncangnya-ia sudah menangis terlalu banyak untuk hari ini, bahkan mungkin untuk seumur hidupnya.
"Kenapa aku harus menikah dengan pria yang sudah punya cinta lain?" Mira bertanya pada dirinya sendiri, suara hatinya pecah, bergema di ruang sunyi. Namun, seperti biasa, tidak ada yang menjawab.
Dua bulan lalu, hidup Mira berubah dalam sekejap. Ayahnya, seorang pengusaha besar, menyampaikan berita yang pada awalnya terasa seperti mimpi indah: ia akan menikah dengan Rafiq Jaya, anak dari mitra bisnis keluarga mereka. Rafiq adalah pria yang selama ini hanya ia lihat di layar media sosial-tampan, berkarisma, dan selalu terlihat elegan dalam balutan jas hitam. Mira, seorang wanita sederhana yang jarang terpapar kehidupan glamor, merasa seperti tokoh utama dalam dongeng. Namun, siapa sangka, dongeng itu berubah menjadi mimpi buruk yang ia tidak pernah bayangkan.
Mira masih ingat malam pertama mereka setelah akad nikah. Ia menunggu di kamar dengan hati berdebar, mengenakan gaun malam yang ia pilih dengan penuh harapan. Namun, yang muncul di ambang pintu bukanlah seorang suami yang siap merangkulnya dengan penuh cinta, melainkan seorang pria dingin dengan sorot mata kosong.
"Aku menikah denganmu hanya untuk memenuhi permintaan orang tua kita," kata Rafiq tanpa basa-basi, nada suaranya datar, tajam seperti pisau. "Jangan harap aku akan mencintaimu."
Saat itu, Mira hanya bisa menunduk, menyembunyikan air matanya. Ia mencoba memahami, mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin waktu akan mengubah segalanya. Tapi ia salah.
Pagi yang Menyesakkan
Mira terbangun dari tidurnya dengan mata yang bengkak. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya yang kosong. Sudah sebulan berlalu sejak pernikahan mereka, namun Rafiq lebih sering tidur di luar rumah, mengabaikannya sepenuhnya. Hari ini berbeda. Suara pintu kamar yang terbuka mengejutkannya. Rafiq berdiri di sana dengan wajah serius, mengenakan setelan jas rapi.
"Kita harus bicara," katanya singkat.
Mira duduk perlahan, mencoba menyembunyikan rasa takut yang menyelimuti hatinya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya, suaranya serak.
"Aku ingin kau tahu bahwa aku menikahi Elena tadi malam," ucap Rafiq tanpa jeda, seolah-olah berita itu adalah hal biasa.
Mira terdiam. Dunia seolah runtuh di hadapannya. "Apa maksudmu?"
"Aku mencintainya, Mira," Rafiq melanjutkan tanpa ekspresi. "Dia adalah wanita yang selalu ada untukku, dan aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya. Pernikahan kita ini hanya formalitas."
Mira ingin berteriak, ingin menangis, tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah sebuah bisikan lirih, "Kenapa kau tidak menolak pernikahan ini sejak awal?"
Rafiq menatapnya dengan pandangan tajam. "Karena aku tidak punya pilihan. Sama seperti kau."
Kata-katanya menusuk hati Mira lebih dalam dari yang ia bayangkan. Ia ingin berteriak, "Aku tidak pernah meminta ini!" tapi apa gunanya?
Kesendirian yang Membunuh
Hari-hari berlalu dengan lambat. Rafiq jarang pulang, lebih sering menghabiskan waktunya dengan Elena. Sementara itu, Mira berusaha mempertahankan martabatnya di depan keluarga besar mereka, berpura-pura bahwa pernikahannya baik-baik saja.
Namun, malam itu, semua topeng yang ia kenakan runtuh.
Mira duduk di meja makan, menunggu Rafiq pulang seperti biasanya. Ketika akhirnya ia masuk ke rumah, aroma parfum yang asing tercium dari tubuhnya. Elena pasti baru saja bersamanya.
"Kenapa kau pulang malam lagi?" Mira bertanya dengan suara pelan, mencoba menahan emosi.
Rafiq melemparkan jasnya ke sofa tanpa melihatnya. "Apa urusannya denganmu?"
Mira berdiri, hatinya membuncah. "Aku istrimu, Rafiq! Aku punya hak untuk tahu di mana kau berada."
Rafiq tertawa sinis. "Istriku? Jangan membuatku tertawa, Mira. Kau hanyalah seseorang yang terpaksa aku nikahi. Tidak lebih."
Air mata Mira tumpah. Ia menggenggam sisi meja, mencoba menjaga keseimbangannya. "Apa aku benar-benar tidak berarti untukmu? Sedikit saja, Rafiq?"
Pria itu mendekatinya, menatap tajam ke dalam matanya. "Kau tidak pernah berarti, Mira. Dan kau tidak akan pernah."
Tekad yang Tumbuh di Tengah Kehancuran
Malam itu, Mira menangis lebih lama dari biasanya. Namun, di tengah air mata dan rasa sakit, ia merasakan sesuatu yang berbeda-kemarahan yang perlahan-lahan menggantikan kesedihannya.
Ia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang penuh luka emosional. "Aku tidak bisa terus seperti ini," pikirnya. "Aku harus bangkit, harus melawan."
Keesokan harinya, Mira memulai langkah kecil untuk mengubah hidupnya. Ia mulai mengabaikan keberadaan Rafiq, memfokuskan energinya pada hal-hal yang membuatnya bahagia-menulis, melukis, bahkan bekerja di bisnis kecil yang ia mulai sendiri.
Namun, langkah itu tidak mudah. Setiap kali ia merasa kuat, Rafiq akan muncul dengan sikap dinginnya, mengingatkannya bahwa ia hanyalah bayangan di rumah itu.
Pertemuan dengan Elena
Semuanya berubah pada suatu siang ketika Mira tanpa sengaja bertemu dengan Elena di sebuah kafe. Wanita itu mengenakan gaun mahal, dengan senyum angkuh yang membuat darah Mira mendidih.
"Oh, Mira," sapa Elena dengan nada manis yang dibuat-buat. "Aku tidak tahu kau suka tempat seperti ini. Biasanya wanita sepertimu lebih suka bersembunyi di rumah, bukan?"
Mira mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak membalas. "Aku tidak punya urusan denganmu, Elena."
"Tapi aku punya urusan denganmu," Elena membalas, mendekatkan wajahnya. "Kau tahu, Rafiq hanya merasa kasihan padamu. Dia tidak akan pernah mencintaimu seperti dia mencintaiku."
Mira tersenyum tipis, meskipun hatinya hancur. "Kasihan atau tidak, aku adalah istrinya. Dan aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan harga diriku lebih dari ini."
Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa rencana. Tapi anehnya, itu membuatnya merasa lebih kuat, lebih berani.
Mira tahu, ini baru permulaan. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa bertahan-atau bahkan menang.
Buku lain oleh Eka Chandra
Selebihnya