Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Aku Jauh di Luar Jangkauanmu
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Pagi itu, udara di kampung Cilendir terasa sejuk, membawa embusan angin yang menenangkan. Meskipun matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, kehidupan di kampung sudah mulai menggeliat. Di setiap rumah, suara burung berkicau, alat dapur beradu dengan suara riuh tangisan anak-anak yang baru bangun. Namun, di rumah Bi Wati, suasana pagi hari berbeda.
Bi Wati berdiri di depan pintu, tangan menyilang, wajah merah padam, matanya tajam menatap suaminya, Mang Amsar, yang tampak terburu-buru dengan tubuh masih setengah terbangun. Dari luar, hanya terdengar suara televisi dan gesekan sandal jari-jari kakinya yang gemetar.
"Eh, Amsar, kamu masih bisa tidur saja? Ronda tiap malam di rumah Tante Amor, terus pagi begini bangunnya kesiangan!" Bi Wati mulai menggertak, nada suaranya makin meninggi. "Gimana sih, ya? Udah tahu, rumah tangga itu butuh biaya, kamu pikir anak-anakmu gak butuh makan apa!"
Mang Amsar yang baru selesai mencuci muka, terlihat kebingungan. "Bukan begitu, Wati. Ronda itu tugas, tugas! Biar nggak ada pencurian di kampung, kita?" jawabnya dengan terbata, matanya yang mengantuk berusaha menatap istrinya, meskipun masih belum sepenuhnya sadar.
"Tugas? Tugas?" Bi Wati hampir teriak, tangannya mengepal. "Aku lihat, kamu justru rondanya gak jauh-jauh dari rumah si Amor! Apa kamu kira aku nggak tahu? Punya istri di rumah nggak pernah dipedulikan, malah ke sana-sini!"
Mang Amsar menggelengkan kepala. "Nggak gitu, Wati, jangan su'udzon terus. Aku cuma jaga di rumah Tante Amor kan kalau ada tugas dari Pak RT. Om Alfi kan memang sering gak ada di rumahnya!" jawabnya sambil berusaha menenangkan.
Tetapi, Bi Wati sudah terbakar emosi. "Bantuin apa? Ngobrol sambil ketawa-tawa sampai pagi?! Mau jadi apa rumah tangga kita, Amsar?" Bi Wati mulai mondar-mandir di ruang depan, gelisah dan tak sabar. "Kalau kamu masih suka begadang terus, udah deh, tidur aja di luar, di situ..., gak usah pulang sekalian, cuma ngabisin nasi aja!"
Mang Amsar menahan napas, berusaha meredakan kepala yang pusing akibat kurang tidur. "Wati, kamu jangan kebawa perasaan... Aku cuma... cuma..."
"Jangan cuma-cuma! Coba pikir, anak-anak butuh kasih sayang kamu, masa kamu lebih sayang sama rumah orang lain! ingat usia udah mau punya cucu!" Bi Wati memotong, tak memberi kesempatan Mang Amsar berbicara lagi.
Pertengkaran itu semakin panas, dengan setiap kata yang keluar dari mulut Bi Wati semakin tajam, dan Mang Amsar yang hanya bisa diam, merasa tubuhnya seperti berfungsi setengah.
Pagi yang damai di Cilendir kini berubah menjadi tegang, dan dari luar, tetangga mulai memperhatikan, meski mereka mencoba terlihat biasa saja.
Sementara itu, suara langkah kaki kecil di luar rumah semakin banyak. Suara tawa riang anak-anak yang baru bangun tidur bertemu dengan suara cekcok dua orang tua yang menjadi saksi mata dari pergulatan perasaan yang tak terucap. Di balik keributan itu, hidup di kampung Cilendir tetap berlanjut, meski dengan sedikit kecemasan.
Di samping dapur, beberapa tetangga mulai bersuara pelan, mencoba mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Bi Wati dan Mang Amsar. Ada Mbak Darmi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan, lalu Pak Harun yang sibuk menyapu, serta Bi Edah yang berjalan dengan ember besar menuju sungai.
Mereka saling bertukar pandang, berusaha menangkap setiap detail pertengkaran yang tengah berlangsung di rumah Bi Wati.
"Eh, dengar-dengar, Mang Amsar semalam habis ronda di rumah Tante Amor ya?" bisik Mbak Darmi kepada Pak Harun sambil pura-pura sibuk memeriksa tanaman bunga.
Pak Harun mengangguk, matanya menyipit, "Iya, katanya sih, cuma ngobrol-ngobrol, tapi nggak tahu deh... Bi Wati pasti marah banget, kalau udah kayak gitu, ya kita semua kenal gimana mulut Bi Wati, gak ada remnya, hehehehe."
Sementara itu di area sekitar sungai, Bi Edah yang baru datang ikut bergabung, mengangkat ember dengan hati-hati, mencoba mendengarkan dengan seksama obrolan tetangganya yang ternyata sedang membahas topik yang sama.
"Nggak heran kalau Bi Wati mulai kebakar, siapa yang nggak panas kalau suaminya malah ke rumah tetangga terus begadang sampai pagi, ya kan?" Ia menambahkan dengan nada yang lebih rendah, sejatinya apa yang dialaminya sama persis dengan yang dialami Bi Wati, hanya dia tak berani protes.
"Jadi, Bi Wati itu marah besar, ya? Sampai ngomel-ngomel nggak karuan?" Bu Endang bertanya, sambil memeras pakaian yang basah.
"Iya, biar Mang Amsar bilang apa pun, tetap aja pasti nggak bisa ngeles," jawab Mbak Itar sambil menyentuhkan tangannya pada air sungai yang mengalir jernih. "Dia tuh suka lupa, kalau udah terlalu banyak begadang, jadi suami yang nggak peka."
Pak Harun yang kebetulan lewat tertawa kecil, "Suka-suka Mang Amsar aja, sih, kalau mau begadang. Tapi kalau udah nyampur dengan urusan rumah tangga, itu sih bukan urusan kita lagi, hehehe," ucapnya bijaksana.