/0/8366/coverorgin.jpg?v=7f911a9bc8a5fc1b2c82524542a66ba8&imageMogr2/format/webp)
Anindita Lestari terengah-engah, dadanya sesak seperti dihimpit benda berat.
Putranya yang berusia enam tahun, Leo, menatap dengan wajah pucat pasi karena ketakutan.
Syok anafilaksis.
Kondisinya memburuk dengan cepat.
Dengan susah payah, dia menyebut nama suaminya, Bramantyo, memohon agar pria itu menelepon 112.
"Bunda nggak bisa napas!" tangis Leo di telepon.
Tapi Bram, yang sedang sibuk "membangun jaringan" dengan selingkuhannya, Clara, menganggapnya enteng sebagai "serangan panik" biasa.
Beberapa menit kemudian, Bram menelepon kembali: ambulans yang seharusnya untuk Nindi dialihkan ke Clara, yang hanya "tersandung" dan pergelangan kakinya terkilir.
Dunia Nindi hancur berkeping-keping.
Leo, pahlawan kecil di hatinya, berlari keluar mencari bantuan, tapi malah tertabrak mobil.
Terdengar bunyi gedebuk yang mengerikan.
Dia hanya bisa menonton, seperti arwah dalam tragedinya sendiri, saat paramedis menutupi tubuh kecilnya yang hancur.
Putranya telah tiada, karena Bram lebih memilih Clara.
Kehancuran.
Kengerian.
Rasa bersalah.
Bayangan Leo menghantuinya, membekas begitu dalam.
Bagaimana bisa seorang ayah, seorang suami, menjadi begitu egois dan mengerikan?
Penyesalan yang pahit dan tak berkesudahan menggerogoti jiwanya.
Clara. Selalu Clara.
Lalu, mata Nindi terbuka lebar.
Dia terbaring di lantai ruang tamunya.
Leo, hidup dan sehat, berlari masuk.
Ini adalah kesempatan kedua yang mustahil dan menakutkan.
Masa depan yang mengerikan itu tidak akan terjadi.
Dia akan merebut kembali hidupnya, melindungi putranya, dan membuat mereka membayar semuanya.
Bab 1
Anindita Lestari megap-megap mencari udara. Dadanya menegang, seperti ada besi yang meremukkan paru-parunya.
Leo, putranya yang berusia enam tahun, menatapnya, wajah mungilnya pucat pasi karena ketakutan. "Bunda?"
Nindi meraba-raba mencari EpiPen-nya, pandangannya mulai kabur. Syok anafilaksis. Cepat sekali.
"Telepon... Bram," ucapnya terbata-bata. "Sembilan... satu... satu."
Leo, dengan hati pemberaninya, meraih ponsel ibunya. Jari-jari mungilnya kesulitan membuka layar.
Dia menekan tombol panggil untuk Bram.
"Ayah! Bunda nggak bisa napas! Kelihatannya parah banget!" tangis Leo di telepon.
Suara Bram terdengar dari seberang, jauh dan terganggu. "Mungkin Bunda cuma kena serangan panik, Leo. Kasih dia EpiPen. Ayah lagi ada acara networking sama Tante Clara. Nanti Ayah pulang."
"Bukan, Ayah! Ini serius! Bunda bilang telepon 112!"
"Oke, oke, Ayah panggilkan ambulans untuknya," kata Bram, tapi nadanya meremehkan.
Beberapa menit kemudian, saat Nindi melayang dalam kabut rasa sakit, Bram menelepon kembali. Leo menempelkan ponsel ke telinga ibunya.
"Nindi? Dengar, Clara tersandung. Pergelangan kakinya terkilir parah. Ambulans yang kupanggil untukmu, aku alihkan ke dia. Dia lebih dekat, dan dia kesakitan sekali. Kamu pakai saja EpiPen-mu, kamu akan baik-baik saja."
Dunia Nindi hancur. Clara. Selalu Clara.
Leo, mendengar ini, berteriak. "Nggak! Bunda butuh bantuan!" Dia menjatuhkan ponsel dan berlari ke pintu, mungkin mencoba memanggil Bu Ratih tetangga sebelah.
Klakson mobil meraung. Terdengar bunyi gedebuk yang mengerikan.
Nindi, di tengah kabut kesadarannya, mendengar jeritan yang berbeda, bukan jeritan Leo.
Lalu, hening.
Napasnya sendiri tercekat, sebuah helaan terakhir yang kasar. Rohnya terasa seperti tercabik, melayang ke atas.
Dia melihat Leo. Terbaring di jalan. Diam.
Tiba-tiba paramedis ada di sana, menanganinya, lalu bergegas ke arah Leo. Terlambat.
Gambaran itu membakar jiwanya: Leo, kecil dan hancur, karena Bram lebih memilih Clara.
/0/29076/coverorgin.jpg?v=96e71822624d7a180c1ff604caad4ad3&imageMogr2/format/webp)
/0/30255/coverorgin.jpg?v=01fcf3790ceef9e2d8d8c4f39f934836&imageMogr2/format/webp)
/0/7212/coverorgin.jpg?v=a93a4ff531b7a044cca38de6c68b3f2e&imageMogr2/format/webp)
/0/13466/coverorgin.jpg?v=81e65921a2deae8529f27d361223e649&imageMogr2/format/webp)
/0/29102/coverorgin.jpg?v=fe96be1fdce6c6b952b09697e2127b92&imageMogr2/format/webp)
/0/14093/coverorgin.jpg?v=4aa6e70fcd12d74f5c60b1176aac593c&imageMogr2/format/webp)
/0/24262/coverorgin.jpg?v=d429ea85c8fd7e620072a4fd1bb1787e&imageMogr2/format/webp)
/0/25081/coverorgin.jpg?v=3d5c547eb2a541aeedf7de0c0cc15e76&imageMogr2/format/webp)
/0/29180/coverorgin.jpg?v=37718d569ab1621ce3b76543300ebe2c&imageMogr2/format/webp)
/0/28969/coverorgin.jpg?v=e2667e0f3676b243d8721eb0c8a0c167&imageMogr2/format/webp)
/0/29155/coverorgin.jpg?v=99365a35579301b5ed1b6ddad78d04fd&imageMogr2/format/webp)
/0/30789/coverorgin.jpg?v=6e1d199a8bc82228a791c16cf1d6bf06&imageMogr2/format/webp)
/0/13576/coverorgin.jpg?v=5d82f09b814dd1b96a2f33a312ae4530&imageMogr2/format/webp)
/0/27352/coverorgin.jpg?v=d332dbd2fd6c23ffee6f11115c1d1cbc&imageMogr2/format/webp)
/0/18263/coverorgin.jpg?v=720de119bd06960062dad4d071c92481&imageMogr2/format/webp)
/0/3865/coverorgin.jpg?v=a43c3866e361ffebefe58626a42ce735&imageMogr2/format/webp)
/0/3932/coverorgin.jpg?v=0e554cf90326848b7e7e02c72af4a172&imageMogr2/format/webp)
/0/6982/coverorgin.jpg?v=386525d6839deabb39f04700330d93ab&imageMogr2/format/webp)
/0/7055/coverorgin.jpg?v=20250122151757&imageMogr2/format/webp)