Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
28
Penayangan
5
Bab

"Gadis" adalah kisah tentang pertikaian dan pertumbuhan dua wanita yang terhubung oleh cinta, kehilangan, dan tanggung jawab. Rey, seorang office boy di PT. Maya Food, menjalani kehidupannya dengan penuh kesederhanaan. Sementara itu, Bu Maya, pemilik perusahaan dan janda kaya, berjuang untuk mendidik putrinya, Gadis, yang berperilaku urakan dan terjebak dalam dunia malam. Ketika Gadis hamil dan pacarnya kabur, Bu Maya terpaksa meminta Rey untuk menikahi Gadis demi menjaga kehormatan mereka. Dari pernikahan kontrak yang penuh konflik ini, tumbuhlah cinta yang tak terduga, mengubah hidup mereka selamanya.

Bab 1 Rey Office Boy

Hari itu, seperti biasa, Rey datang lebih awal di PT. Maya Food. Suara deru mesin kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan Surabaya sudah menjadi musik pagi yang akrab di telinganya. Dengan langkah ringan, Rey melangkah memasuki gedung perusahaan yang cukup megah itu. Dia adalah office boy, tapi bagi Rey, gelar itu bukanlah penghalang untuk bersinar.

"Pagi, Rey! Siap-siap bikin kopi?" sapa Dika, salah satu karyawan bagian pemasaran, sambil tersenyum lebar.

"Pagi, Dik! Siap, siap! Kopinya mau yang kayak biasa, kan?" jawab Rey sambil mengangguk, matanya berbinar penuh semangat. Rey memang dikenal sebagai orang yang supel dan mudah bergaul. Setiap pagi, dia selalu menyapa semua orang dengan semangat, membuat suasana kantor terasa lebih hidup.

Rey cepat menuju pantry, mengambil bahan-bahan untuk membuat kopi. Di sana, dia mulai bercanda dengan beberapa karyawan yang sedang sarapan.

"Eh, Rey! Kapan nih kita bisa traktir kamu makan? Mau makan di mana, nih?" tanya Lisa, salah satu karyawan HRD, dengan senyum nakal.

"Traktir? Haha, jangan harap! Kalian yang sering makan enak, gue masih nabung buat beli sepatu baru!" balas Rey sambil tertawa. "Tapi, kalau mau ajak gue makan, ya boleh aja. Asal kalian bayar, hahaha!"

Suara tawa mengisi pantry. Rey memang punya cara tersendiri untuk mencairkan suasana. Dia tidak hanya sekadar OB; dia adalah jembatan komunikasi antara karyawan. Setelah menyajikan kopi dan makanan ringan, Rey kembali ke meja kerjanya.

"Rey, tolong ambilin dokumen di ruang rapat," teriak Pak Budi, manajer keuangan, dari ujung koridor.

"Siap, Pak!" Rey menjawab dengan sigap. Dia cepat-cepat berlari ke ruang rapat, mengambil dokumen yang diminta, dan kembali lagi ke meja Pak Budi.

"Thanks, Rey! Sehat selalu ya!" ucap Pak Budi sambil tersenyum.

"Siap, Pak! Sehat demi gaji, hehe!" Rey menjawab dengan senyuman.

Setelah menyelesaikan beberapa tugas, Rey meluangkan waktu untuk duduk di bangku taman kecil di luar gedung. Di sinilah tempat favoritnya untuk bersantai sejenak. Dia sering melihat Bu Maya, pemilik perusahaan, berjalan di sekitar dengan aura yang kuat. Namun, Rey tahu bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar karyawan dan bos; dia sudah menganggap Bu Maya seperti seorang ibu.

"Rey, kamu ngapain di sini? Kerja dong!" tegur Rina, salah satu staff marketing, yang lewat dengan langkah cepat.

"Wah, Rina! Lagi nyantai sedikit, lah. Nanti kerja lagi. Santai itu penting biar otak enggak seret," jawab Rey sambil melambai.

"Ya, ya! Santai-santai, tapi ingat deadline!" Rina melanjutkan perjalanannya, sambil tertawa.

Tak lama kemudian, Rey kembali ke dalam. Dia menyapu lantai dan merapikan tempat-tempat yang berantakan. Setiap kali ada karyawan yang lewat, mereka pasti melempar senyum dan sapaan. Rey sangat menghargai hubungan baik yang dia jalin dengan mereka.

"Oh, Rey! Ini ada paket buat Bu Maya," kata Sinta, receptionist, sambil menyerahkan dokumen.

"Siap, Sinta! Makasih ya!" Rey mengambil paket itu dan bergegas menuju ruang kerja Bu Maya.

Ketika dia mengetuk pintu, suara tegas Bu Maya terdengar dari dalam. "Masuk!"

Rey membuka pintu dan masuk. "Bos, ada paket untuk ibu," katanya sambil menyerahkan dokumen.

"Terima kasih, Rey. Sudah berapa kali saya bilang, panggil saja saya Bu Maya?" jawab Bu Maya, matanya menatap Rey dengan serius namun hangat.

"Maaf, Bos. Kebiasaan. Jadi, saya tetap panggil Bos," Rey menjawab sambil tersenyum.

"Ya sudah, terserah kamu. Tapi, tolong jangan panggil saya Bos kalau kita di luar kantor, ya?" Bu Maya menambahkan sambil tersenyum.

"Siap, Bu!" Rey mengangguk, merasa senang bisa bercanda dengan Bu Maya.

Seharian itu, Rey terus menjalani rutinitasnya dengan semangat. Baginya, pekerjaan ini bukan hanya sekadar mencari uang, tetapi juga tentang membangun hubungan dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Dia tahu, di balik kesederhanaan pekerjaannya, ada kekuatan untuk mengubah suasana hati banyak orang.

Rey sedang duduk santai di meja kerjanya setelah menyelesaikan tugas-tugas harian ketika tiba-tiba Dika, Rina, dan Bagas masuk ke ruang pantry. Wajah mereka tampak suram, seolah baru saja menerima kabar buruk.

"Eh, ada apa ini? Kalian kayak baru ditinggal pacar!" tanya Rey, mencoba menggoda mereka.

"Jangan bercanda, Rey. Ini serius!" jawab Rina, suaranya penuh keluhan. "Kita baru saja dimarahi Bu Maya."

"Marah kenapa? Proposal yang kalian buat jelek banget, ya?" Rey penasaran, sambil menyiapkan minuman hangat.

"Bukan jelek, Rey. Ini lebih ke... kurang menarik. Bu Maya minta kami untuk merevisi semua dan harus selesai besok!" Dika menjelaskan, menggelengkan kepala.

"Pasti stress, ya? Jangan khawatir. Minuman ini bisa bikin pikiran kalian lebih fresh," Rey berkata sambil menyajikan minuman hangat. "Coba minum ini. Rasanya enak, loh!"

Mereka bertiga mengambil minuman dari tangan Rey dan mulai menyeruputnya. "Hmm, enak juga, Rey! Tapi tetap saja, kita harus merombak proposal yang udah kita buat," kata Bagas, tampak putus asa.

"Coba deh, tunjukkan proposalnya ke gue. Siapa tahu ada yang bisa gue bantu," Rey menawarkan, ingin membantu mereka yang sedang terpuruk.

"Ya udah, ini dia," Rina menyerahkan proposal tersebut dengan ragu. "Tapi jangan kaget, ya. Ini hasil kerja keras kami."

Rey mengambil proposal itu dan mulai membacanya. Sementara itu, Dika, Rina, dan Bagas duduk menunggu dengan cemas. Rey membaca dengan seksama, sesekali mengernyitkan dahi.

"Wow, ini parah banget!" Rey akhirnya berkata, membuat mereka bertiga terkejut. "Gimana bisa kalian bikin proposal tanpa nilai jual? Semua produk kalian kayaknya cuma sekadar pajangan."

"Emang kenapa, Rey? Kenapa bisa dibilang gitu?" tanya Dika, penasaran.

"Pertama, kalian nggak menjelaskan keunggulan produk dengan jelas. Kedua, tidak ada strategi pemasaran yang menarik. Dan yang ketiga, presentasinya juga membosankan!" Rey menjelaskan dengan bersemangat. "Coba deh, kalian lihat di sini." Rey menunjuk beberapa bagian dalam proposal.

"Eh, bener juga ya. Kita nggak fokus ke apa yang bikin produk kita beda dari yang lain," Rina mengangguk, mulai memahami.

"Gue bisa bantu kalian merombak ini. Kita bisa buat proposal yang lebih menarik dan nggak bikin Bu Maya marah lagi," Rey menawarkan, sambil tersenyum.

"Beneran, Rey? Kita bisa minta bantuan kamu?" tanya Bagas, masih tidak percaya.

"Ya, kenapa enggak? Kalian sudah bantu gue dengan banyak hal, sekarang giliran gue bantu kalian," Rey menjawab dengan percaya diri.

Dika, Rina, dan Bagas saling bertukar pandang. Mereka tidak menyangka bahwa Rey, yang hanya seorang office boy, bisa memberikan masukan yang begitu cerdas. "Oke deh, kita percaya sama kamu, Rey! Ayo kita mulai!" Dika bersemangat.

Rey pun mulai berdiskusi dengan mereka, mengajukan ide-ide segar dan menarik untuk dimasukkan ke dalam proposal. Dia menunjukkan cara mengemas informasi dengan lebih menarik dan mengedepankan nilai jual produk.

"Jadi, kita bisa bikin bagian promosi lebih menarik dengan menggunakan testimoni dari konsumen yang sudah mencoba produk kita. Ini bisa bikin orang lebih percaya," Rey menjelaskan.

"Wow, ide yang keren, Rey! Kenapa kita tidak terpikirkan sebelumnya?" Rina berkomentar, terkesan.

Setelah beberapa jam berdiskusi dan bekerja sama, mereka berhasil merombak proposal tersebut menjadi lebih baik. Rey merasa puas dengan hasil kerja mereka.

"Ini dia, proposal baru kita! Semoga Bu Maya puas kali ini," Rey berkata sambil tersenyum, menyerahkan proposal yang sudah direvisi.

"Rey, terima kasih banyak! Kamu luar biasa!" Dika berkata dengan penuh rasa syukur.

"Bukan apa-apa, guys. Kita satu tim, kan?" Rey menjawab, merasa bangga bisa membantu. "Yang penting, besok kita tunjukkan bahwa kita bisa lebih baik."

Dengan semangat baru, mereka bersiap untuk menghadapi hari berikutnya, bertekad untuk membuat Bu Maya bangga dengan kerja keras mereka. Rey, si office boy, telah membuktikan bahwa meskipun posisinya rendah, kecerdasan dan ide-idenya bisa membawa dampak besar bagi tim.

*****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh S Madji

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku