kisah seorang remaja yang hidupnya dikelilingi oleh kematian pada setiap jalannya, mencari akhir dari sebuah misteri yang terjadi dan berharap mati. apakah baik jika mengharapkan kematian?
Hitam pekat yang kulihat kini berangsur jelas dengan berbagai pengenalan yang kuingat, hanya bergantung pada memori ingatan. seperti bermain video game, pandaganku terbatas, dan bukan 'sejauh mata memandang'.
Disana kulihat seorang pria 58kg lebih tinggi dariku dengan rambut hitamnya tersisir apik kebelakang mengenakan setelan piyama lengkap dengan guling kesangannya. ia menoleh dengan tatapan penuh arti kepadaku bersama air mata yg terjun menuruni wajah memelasnya itu.
"Apa yang kau lihat, Vero!", aku membungkam dengan segenap kebingungan
"Pergilah, seharusnya kau tidak kesini!"
kubalas tatapan datar padanya karena aku tak mengenalnya, lantas mengapa ia tau namaku? dan yang aku herankan siapa sosok yang sedang berusaha menusukkan belati emas padanya? apa yang dia inginkan?. Pertanyaan itu memenuhi isi kepala bagai minuman berkarbonasi ingin meledak dahsyat ketika dikocok.
Cukup lama pria tersebut menahan belati yang hendak merobek lehernya dengan berjarak satu kepalan tangan. Dor! tembakan senjata api yang tepat menembus tulang tengkoraknya dari belakang, juga lolosnya belati merobek lehernya yang semenjak tadi ditahan, pria itu tewas.
kriiing kriiing
Alarm dikamarku berdering untuk kesekian kalinya menyudahi sesi dunia bawah sadarku, yang sebelumnya kuatur lebih cepat dari biasanya. Hari ini aku akan berangkat lebih cepat kesekolah diantar ayahku.
"Tumben bangun pagi?" tanya ayahku selesai melahap roti selai kacang kesukaannya
"Lagi ada tugas yang belum selesai, yah" jawabku menarik kursi untuk duduk menikmati sarapan
"Oke ,dimakan sarapannya yaa, ayah mau siapin mobil sport kebanggaan biar langsung berangkat abis kamu sarapan" meeninggalkan meja makan dengan membawa jas hitamnya
Kuabaikan dengan melahap roti selai keju kesukaanku, dengan memikirkan siapa sosok pemuda yang tewas semalam?. Oh iya tugas pak badrun! aku langsung berlari menuju mobil ayahku dengan membawa sisa roti dimulut.
Gedung baru yang telah direnovasi selama setahun ini menjadikannya kesan tersendiri dengan cat biru muda berpadu coklat tua untuk ketiga lantainya, tampak depan sekilas terlihat sekolahku yang kecil yaitu tiga lantai dengan lima ruangan di lantai dua dan tiga, ruangan tengah itu cukup besar menghadap tiang setinggi 15 meter berkibar bendera kebangsaan juga lapangan yang cukup luas untuk melaksanakan upacara bendera, untuk lantai satu ada gerbang portal di tengah menuju bagian dalam sekolahan. Ada tiga lapangan memanjang yaitu basket, voly dan futsal yang di kelilingi ruangan kelas berlantai tiga. Siswa-siswi berdatangan dengan tasnya menuju ruang kelas masing-masing, terlihat di pojok kiri bangunan lantai dua sebuah ruang kelas ramai oleh suara muridnya, itulah kelasku yang selalu ramai setiap pagi bak pasar malam, untuk mengerjakan tugas yang belum sempat dikerjakan atau lebih tepatnya mereka yang ingin menyalin tugas temannya.
***
Berlari cepat aku menuju rumahku, senja itu mirip dengan bendera tanda kematian, mengapa harus kulihat bendera itu di sepanjang jalan menuju rumahku?. Ayolah ini bukan waktunya bercanda, rasa penasaran bercampur dengan gelisah yang melahirkan sebuah pemikiran buruk. Seperti bayi mencari induknya menelusuri komplek yang seharusnya sepi mendadak ramai, tak mempedulikan rasa lelah sepulang sekolah ataupun lemas karena belum makan. Ibu, ayah apa kau baik-baik saja?, melintasi sebuah toko baju yang sedang dibuka dengan air mata yang mulai terlepas dari belenggu kelopak mata.
Mereka melihatku dengan tatapan bingung juga iba. Rumah yang menjadi titik akhir dari jejak bendera kematian itu telah ramai entah sejak kapan. Sebuah rumah berlantai dua dengan latar yang lumayan luas sehingga para tamu layat dapat tertampung tanpa terdesak, rumah bertema ungu itu sangat tidak cocok dengan bendera kuning ini. Rasa lega menyambutku dengan menahan tawa atas tingkahku, bersimpuh menahan haru didepan rumah tetanggaku yang berjarak dua rumah bertema coklat dan putih dari rumahku.
"Kau tidak apa-apa, nak?" tanya ibuku yang sejak tadi memperhatikanku menatap keluar jendela bak mengharapkan sebuah keajaiban datang menuju kolam renangku.
"Aku tidak apa-apa, ibu hanya saja sedang memikirkan..."
"Sudahlah, lupakan itu hanya mimpi" potong ibuku seperti tau apa yang aku bicarakan, lalu pergi ke lantai bawah.
Bulan purnama tampak indah dengan cahaya yang terang menembus atmosfer bumi, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasakan ketenangan dalam istirahatnya. Banyak yang bicara senja itu hal terindah yg terjadi, namun apa yang kudapatkan senja tadi? sebuah bendera kuning yang kukira kabar dari rumahku tapi tetap saja duka yang cukup membuatku lemas karna ia adalah tetangga yang sering ibu ceritakan kebaikannya, dan aku belum pernah melihatnya. Terlepas senja tadi ada hal yang lebih membuatku bingung karena apa yang aku alami semalam dalam tidurku membuatku terus memikirkannya, bukan siapa yang memanggil namaku tapi mengapa aku mendapatkan mimpi tersebut. Memang akhir-akhir ini aku selalu mendapatkan mimpi aneh yang begitu nyata, mungkin karena aku terlalu lelah dalam kehidupanku yang penuh dengan kegiatan.
Aku membuka layar kaca yang kecil nan ringan untuk di genggam, ponselku bergetar dan mendapatkan notifikasi dari teman sekolahku 'INGAT! BESOK PENGUMPULAN TUGAS BAHASA INGGRIS', mengingatnya membuatku hilang selera untuk tidur, bahkan menyadarkanku dari lamunan mimpi srmalam. Guruku begitu tegas, siapa saja yang tak mengumpulkan tugas di hari pengumpulan akan mendapatkan hukuman darinya, membersihkan toilet satu lantai. Wah mereka yang normal akan menghindari hukuman tersebut dengan cara apapun untuk mengumpulkan tugas bahasa inggris, toilet di setiap lantai memang hanya ada empat, namun toiletnya itu sama dengan dua ruang kelas, tolet laki-laki dan toilet perempuan dengan enam kamar kecil untuk siswa, dan tuga kamar kecil untuk guru dan staf di setiap toilet. Biasa saja tentunya, namun untuk enam toilet di bagian laki-laki terkenal jorok bahkan biar sudah dibersihkan pun akan tercium aroma bau pesing. Tidak akan kulakukan hukuman itu, aku harus mengerjakannya. Tak peduli benar atau salah yang terpenting mengumpulkan tugas tidak dengan keterlambatan. Malam ini purnama sama sekali tidak menghiburku ataupun menenangkanku, bahkan kegiatan sebelum tidurku bukan menatap sang purnama namun sebuah tugas bahasa inggris, sungguh merepotkan.