Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
“Ayah sudah mengatur jadwalmu untuk hari ini, Raya. Kamu akan bertemu general manajer dari brand kosmetik Chinara.”
Raya terdiam lama, tidak merespon kalimat yang diucapkan Prames Chinar, ayah sekaligus pemimpin Chinar Group untuk saat ini. Raya masih tidak mengerti mengapa ayahnya sangat ingin sekali dia terjun ke dunia bisnis.
Tidakkah ketiga kakaknya saja sudah cukup mampu mengurus semua anak perusahaan Chinar Group atau bahkan menjadi pemimpin setelah ayahnya nanti? Kenapa sang ayah justru masih tidak puas dan ingin Raya ikut terjun ke dalam dunia bisnis?
“Ayah mau kamu mandiri, Raya. Tidak selamanya kamu hidup bergantung pada ayah dan kakakmu bukan? Kamu harus mulai mengurus bisnis supaya kehidupanmu setelah ayah pergi nanti tidak banyak berubah.”
Perkataan Prames terdengar sangat jelas di telinga Raya. Tidak ada yang Raya lewatkan sedikit pun, tapi entah mengapa dirinya tetap saja tidak berminat melakukan itu.
“Tinggal menikah saja kalo gitu. Aku bisa bergantung pada suamiku.”
“Itu namanya tidak mandiri.” Seorang laki-laki mendatangi meja makan, tempat di mana Raya dan Prames berbincang.
Raya memandang sekilas ke arahnya, mencebikkan bibir. “Emang kenapa? Selagi ada yang bisa dimanfaatkan, kenapa harus mandiri?”
“Dasar anak ini.” Theodore, kakak pertama Raya menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya.
Raya memang sering dimanjakan oleh ayah dan tiga kakak laki-lakinya, karena itu dia terlalu malas menjalankan perintah sang ayah. Menurutnya, untuk apa susah-susah menjadi pemimpin? Mencari uang? Dia bisa meminta semua itu pada ayah dan kakaknya.
“Aku sudah pernah bilang, Yah. Raya tidak akan tertarik dengan bisnis.” Jayden, kakak kedua Raya ikut masuk ke dalam pembicaraan. Dia mengambil kursi di sebelah kiri Raya, dekat dengan sang ayah.
“Itu karena kalian semua memanjakannya.” Prames menunjuk dua anak laki-lakinya, Theo dan Jayden. Yang ditunjuk hanya tertawa saja, sadar bahwa mereka memang selalu memanjakan sang adik.
“Apa aku tidak termasuk hitungan?” Mahen, anak laki-laki ketiga di keluarga Chinar memasuki ruang makan. Dia mengambil tempat duduk di hadapan Raya, tepat di samping Theo.
“Kamu juga sama saja. Kalian bertiga selalu memanjakannya.”
Raya yang mendengar percakapan antara ayah dan kakaknya tertawa. Itu benar sekali dan dia tidak bisa mengelak. Sebab dia juga suka dimanjakan oleh mereka.
“Sudah, lupakan pembahasan itu. Ayah harus bicara serius dengan Raya. Hari ini kamu akan bertemu Bu Puji, tidak ada penolakan. Ayah juga sudah mencarikan sekretaris untukmu, dia akan membimbing dan mengajarimu cara menjadi pemimpin yang baik.”
“Hah? Sekretaris apanya? Ayah tidak bilang padaku.”
“Ini Ayah sudah bilang ‘kan? Jadi kamu tinggal mengikuti saja apa kata Ayah.”
Raya memajukan bibirnya, malas sekali dengan perintah beruntun dari Prames. Terlebih lagi semua itu terdengar seperti paksaan yang harus dituruti, mau atau tidaknya Raya sama sekali tidak masuk ke dalam pertimbangan.
“Udah, Dek. Turuti aja ya, selamat menjadi perempuan sibuk.” Jayden menepuk pelan kepala Raya, lalu menggusak rambut adiknya.
“Ah elah Kak, berantakan nih rambutku. Nyebelin banget sih!” sungut Raya kesal.
Bukannya apa, dia sudah menata rambut selama kurang lebih tiga puluh menit untuk mendapatkan model yang dimau dan Jayden bisa-bisa mengacak rambut ini. Memang kakak keduanya itu suka sekali membuat dia kesal.
“Udah ya, pembicaraan udah selesai. Ayo fokus makan.” Prames mengucapkan kalimat terakhir sebagai penutup pembicaraan di meja makan. Selanjutnya suasana mulai hening sampai semua makanan yang disajikan pelayan di atas piring tandas.
Para pelayan sibuk mengambil piring dari atas meja, merapikan semuanya. Belum sempat semuanya bangkit dari kursi, bel rumah berbunyi, menandakan ada tamu yang datang.
Pelayan segera bergegas membuka pintu, mempersilahkan tamu itu masuk ke ruang tengah. Seorang laki-laki dengan tinggi 175 centimeter memasuki ruang makan, tubuhnya dibalut kemeja putih dengan jas biru tua serta celana warna senada. Dasi hitam bercorak garis maroon terlampir di lehernya. Dia sedikit membungkuk, memberi hormat pada Prames.