Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Di tengah padatnya pusat kota Moscow, di atas hamparan tanah rata dan di bawah langit ke-7. Pria entah-berantah, tak tau kapan dan darimana ia muncul, tiba-tiba menodongkan benda hitam berisi timah panas, atau sebut saja pistol.
Dorrr.
Suara tembakan terdengar nyaring, memporak-porandakan semua umat. Mereka yang tampak seperti tentara semut dari ketinggian 3000 kaki, berhamburan kesana-kemari.
Aaa … tolong … tolong …
Ibu …
Ayah …
Hanya sekali tembakan ke atas sana, para manusia tersebut sudah tak kalap. Tiada seorangpun yang tidak melarikan diri, terkecuali seseorang di balik kamar telepon umum.
Di luarnya orang-orang sibuk menyelamatkan jiwa dan raga, tapi ia malah bercanda-tawa bersama suara di seberang sana.
"Iya … iya, di depan mataku sedang ada peperangan, Bu," katanya, sambil menghitung setiap detik yang ia habiskan.
"Tentu saja ramai, Bu. Suaramu sampai terdengar tidak jelas."
57 … 58 … 59.
"Sudah yah, Bu. Koinku hanya cukup untuk satu menit saja. Telepon akan segera berakhir, dahhh."
Sang pria menghela lega, seakan beban terberat yang ia panggil telah hilang.
Ia berdiri lama, memperhatikan setiap orang yang melalui pintu kamar telepon umum di depannya.
Kemudian, seorang pria seumuran berhenti tepat di depan pintu. Pria itu berjaket tebal serta terdapat kamera yang ia kalungi. Ia memberi kode supaya pintu kamar telepon umum dibuka.
Dan kini di dalam kamar tersebut terisi dua manusia saling memfokuskan diri pada kekacauan kota.
"Hei!" Sapa pembawa kamera.
"Aku Jhon Christy, seorang penulis terbaik di Negeri rempah-rempah," ucap pria bernama Jhon, memperkenalkan diri.
"Kau tau aku akan menanyai namamu?"
"Aku akui semua orang ingin bertanya, tapi kau termasuk paling beruntung."
"Aku?" Tunjuknya pada dada sendiri.
"Iya, karena aku sendiri yang memperkenalkan bukan teman atau teman dari temanku."
Si pembawa kamera meringis kecil, antara mentertawakan atau menyambut kelucuan Jhon Christy.
"Baiklah, selamat tinggal."
Tanpa ada perbincangan lain, Jhon Christy mendorong gagang pintu. Suasana kacau yang belum mereda ia lalui amat santai. Saking santainya, ia mampu mengambil sebatang rokok yang tersimpan rapi dalam saku kemejanya. Kemudian kepulan tipis membumbung tinggi secara perlahan.
"Pria yang aneh," lontar si pembawa kamera.
Kekacauan belum usai, dari kejauhan mulai terdengar sirene mobil Polisi. Tak terhitung jumlah mereka, semuanya datang dari segala arah hingga mengepung jalanan kota.
Si pembawa kamera menyempatkan diri mengambil beberapa jepretan sebelum akhirnya ia diminta keluar untuk mengungsi oleh Polisi.
Teknologi terbilang canggih. Seluruh dunia pun mendengar kabar teror di tengah kota melalui pemberitaan layar TV masing-masing.
Begitup Jhon Christy, ia tahu menaung ketika kejadian berlangsung. Namun, seperti yang lain, ia juga menonton pemberitaan tersebut hanya untuk mencari sosok dirinya yang tertangkap kamera.
"Hem, mengapa tidak terlihat?" Pikirnya terdengar menyayangkan.
Tok … tok …
"Tuan Jho!"
Mendengar ketukan pintu sekaligus nama legendnya disebut, Jhon bergegas bangkit dan membuka pintu selebar ukuran kepalanya.
"Nyonya Maria …" sapa Jhon.
Wanita berparas ayu, tubuh berisi, kulit kemerahan serta rambut pirang tergerai. Mengangkat baki berisi semangkuk mie panas. "Pesananmu," ucapnya.
"Oh wah, terimakasih, Nyonya Maria," balas Jhon, mengambil alih semangkuk mie panas dari baki Nyonya Maria, "katakan kalimat ajaibnya!"
"Pria gagah pemegang kendali …" suara Nyonya Maria menggoda.
Lantas Jhon merogoh saku celana, mengeluarkan selembar uang kertas berangka 100 Rubel Rusia. "Ambil ini."
Nyonya Maria menerima penuh suka-cita, ia membungkuk setengah badan lalu berbalik pergi.
Jhon menutup pintu, kembali duduk bersila di depan TV, sembari menyeruput makanan panjang dan berkuah tersebut.
"Hem, sang pembawa kamera?"