Mentari sore perlahan merangkak turun, membiaskan jingga dan ungu di cakrawala Jakarta. Namun, bagi Raya, senja itu tidak membawa kedamaian. Sebaliknya, setiap bias cahayanya terasa seperti tusukan baru di hatinya yang sudah remuk. Ia duduk di bangku taman yang dingin, di sudut sebuah pusat perbelanjaan megah yang ironisnya dipenuhi oleh tawa dan canda orang-orang. Raya, di usianya yang baru menginjak dua puluh satu tahun, seharusnya menikmati masa muda yang penuh warna, bukan terperosok dalam jurang kepedihan seperti ini.
Dulu, rumah adalah surga baginya. Rumah besar dengan halaman luas, di mana ia bisa bermain petak umpet dengan keempat kakaknya-Arjun, Bima, Candra, dan Dito. Mereka adalah pahlawannya, pelindungnya, dan teman sepermainannya. Kenangan itu kini terasa pahit, seperti seteguk kopi tanpa gula. Bagaimana mungkin cinta yang dulu begitu kuat bisa hancur berkeping-keping? Bagaimana mungkin ia, yang merupakan adik bungsu kandung mereka, bisa terbuang dan dianggap asing di tengah keluarga sendiri?
Semua berubah sejak Luna datang.
Luna. Nama itu seperti duri tajam yang terus menusuk setiap kali terlintas di benaknya. Luna, gadis yang ditemui Arjun di panti asuhan saat ia sedang melakukan bakti sosial. Arjun, yang selalu memiliki hati emas, merasa iba pada Luna yang mengaku sebatang kara. Tanpa banyak diskusi, Arjun membawa Luna pulang. Awalnya, Raya tidak keberatan. Ia bahkan ikut senang saat melihat Luna, dengan mata besarnya yang polos dan senyumnya yang manis, perlahan-lahan diterima oleh semua anggota keluarga. Ia ingat bagaimana ia dengan antusias mengajarkan Luna cara bermain biola, berbagi buku-buku kesukaan, bahkan membagi camilan favoritnya.
Namun, kepolosan itu hanyalah topeng. Di balik senyum lembut Luna, tersembunyi sebuah ambisi yang gelap. Perlahan namun pasti, Luna mulai menyingkirkan Raya dari posisi yang ia miliki di keluarga. Tidak secara terang-terangan, tentu saja. Luna adalah seorang manipulator ulung.
Misalnya, saat makan malam. Dulu, Raya selalu duduk di antara Arjun dan Bima, kakaknya yang paling dekat dengannya. Kini, kursi itu selalu terisi oleh Luna. "Kak Arjun, bisa Luna duduk di sini? Luna sedikit takut gelap," rengek Luna dengan suara manja yang membuat Arjun selalu luluh. Arjun akan tersenyum lembut, mengusap kepala Luna, dan membiarkannya duduk di sana. Raya, yang kini terpaksa duduk di ujung meja, akan melihat pemandangan itu dengan hati mencelos.
Bukan hanya tempat duduk. Perhatian, waktu, dan bahkan kasih sayang yang dulu tercurah padanya, kini beralih sepenuhnya ke Luna. Candra, kakaknya yang paling perhatian pada detail dan sering membantunya belajar, kini lebih banyak menghabiskan waktu membantu Luna mengerjakan tugas sekolah atau memilihkan pakaian. Dito, si sulung yang dulu selalu menjahilinya tapi juga melindunginya dari kenakalan teman-teman, kini lebih sering terlihat menertawakan lelucon Luna atau mengantar Luna berbelanja.
Dan Bima. Ah, Bima. Kakak kedua yang selalu menjadi sahabat terbaiknya, tempat ia mencurahkan isi hatinya. Hubungan mereka begitu dekat, bahkan lebih dekat dari ikatan persaudaraan. Raya percaya Bima akan selalu ada untuknya. Namun, kepercayaan itu hancur berkeping-keping ketika suatu hari Raya demam tinggi. Ia memanggil Bima berulang kali, suaranya serak dan tubuhnya menggigil. Namun, Bima tidak datang. Ketika akhirnya ia mampu bangkit dan mencari Bima, ia menemukannya sedang tertawa riang bersama Luna di ruang keluarga, menonton film favorit mereka berdua. Raya melihat mereka berdua dengan tatapan kosong, dan Bima hanya meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada layar. Saat itu, Raya tahu. Ia benar-benar sendirian.
Puncaknya terjadi beberapa bulan yang lalu, tepat di hari ulang tahun Raya. Ia sangat menantikan hari itu. Ibunya, sebelum meninggal dua tahun yang lalu, selalu membuatkannya kue cokelat kesukaan. Raya berharap tahun ini, mungkin para kakaknya akan mengingat tradisi itu. Ia bahkan sempat menyiapkan daftar lagu favorit yang ingin diputar saat perayaan kecil mereka. Namun, sepanjang hari, tidak ada satu pun ucapan selamat dari mereka.
Malam harinya, ia mendengar keributan di ruang makan. Ia mengira itu adalah kejutan untuknya. Dengan langkah bersemangat, ia mendekat. Namun, yang ia saksikan adalah pemandangan yang menghancurkan hatinya. Sebuah kue ulang tahun besar, dengan lilin-lilin menyala, tergeletak di meja. Di atas kue itu, tertulis nama: "Selamat Ulang Tahun, Luna!" Keempat kakaknya, ayah mereka, dan bahkan beberapa kerabat jauh, mengelilingi Luna, menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan riang. Luna tertawa, matanya berbinar bahagia, memeluk satu per satu kakaknya.
Raya berdiri di ambang pintu, tak terlihat, tak dianggap. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang dingin. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa mereka melupakan hari kelahirannya sendiri demi merayakan ulang tahun orang lain? Hatinya sakit, jauh lebih sakit daripada luka fisik manapun. Saat itulah, ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak lagi memiliki tempat di keluarga ini. Ia adalah bayangan, sebuah kesalahan, sebuah keberadaan yang tidak diinginkan.
Sejak saat itu, Raya mulai menjauh. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, mencari ketenangan di perpustakaan kota, di taman-taman sepi, atau sekadar berkeliling tanpa tujuan. Ia mulai membatasi interaksinya dengan anggota keluarganya. Rasanya terlalu menyakitkan untuk berada di dekat mereka, melihat betapa mereka mencintai Luna, sementara ia diabaikan. Ia merasa seperti seorang pengkhianat karena ia menyimpan kebencian yang mendalam pada Luna, meskipun ia tahu membenci seseorang tidak akan membawa kedamaian.
Ayahnya, yang dulu begitu menyayanginya, kini terlihat jauh dan acuh tak acuh. Sang ayah, yang sibuk dengan pekerjaannya, seolah tak menyadari perubahan dinamika di rumah. Atau mungkin ia menyadarinya, tetapi memilih untuk tidak ikut campur, terlalu lelah untuk menghadapi konflik di antara anak-anaknya. Raya merindukan pelukan hangat ayahnya, nasihat bijak yang dulu selalu ia berikan. Namun, dinding tak terlihat telah terbangun di antara mereka, dan Raya merasa tak punya kekuatan untuk meruntuhkannya.
Raya mencoba berbicara dengan Arjun, kakaknya yang paling tua dan yang paling dekat dengan ayahnya. Ia mencoba menjelaskan bagaimana perasaannya, bagaimana ia merasa terpinggirkan. Namun, Arjun hanya menghela napas, matanya dipenuhi rasa kasihan yang mengikis. "Raya, Luna hanya seorang anak yang membutuhkan kasih sayang. Kamu seharusnya lebih mengerti. Jangan cemburu seperti itu." Kata-kata Arjun menusuknya. Cemburu? Apakah merasa sakit hati karena diabaikan itu berarti cemburu? Raya merasa tidak dipahami, bahkan oleh kakaknya sendiri.
/0/24955/coverorgin.jpg?v=af2d787bcc8f396fff3d2354316deb53&imageMogr2/format/webp)
/0/2673/coverorgin.jpg?v=01bcae8d5f147832ddb6f44dfb02cfa8&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)
/0/3782/coverorgin.jpg?v=257f762159c1268ce587f41a803191f4&imageMogr2/format/webp)
/0/15565/coverorgin.jpg?v=3cde752980ea4bd5c953ca89bc4cce98&imageMogr2/format/webp)
/0/3853/coverorgin.jpg?v=b9640e1bc4332274459607b536ffc0db&imageMogr2/format/webp)
/0/23705/coverorgin.jpg?v=6209c31bca2b5f0db9b5e010ebeac781&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)
/0/2853/coverorgin.jpg?v=fd51cd88155fa6cc34f6b48d0336aed3&imageMogr2/format/webp)
/0/20413/coverorgin.jpg?v=ec86fab74cc2046f1ea680264dba5204&imageMogr2/format/webp)
/0/3629/coverorgin.jpg?v=7b79e3e2cfce30a72d9676681fbc5809&imageMogr2/format/webp)
/0/13745/coverorgin.jpg?v=561446b6eee65e8cba6b86ec5d98b026&imageMogr2/format/webp)
/0/13674/coverorgin.jpg?v=1413c5ec5e3dfea933b86330255a89ee&imageMogr2/format/webp)
/0/13203/coverorgin.jpg?v=dce661cc3a9f7d83e9b09db4a9dfd537&imageMogr2/format/webp)
/0/15950/coverorgin.jpg?v=509021433262d5a333b93286ab8868d6&imageMogr2/format/webp)