Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Walaupun terasa malas kupaksakan untuk memeriksakan diri ke dokter. Batuk pilek membuatku tidak bisa tidur nyenyak.
Minum obat dari warung biasanya cukup efektif, namun sekarang memasuki hari ke empat dan juga mungkin hari-hari berikutnya tidak ada perubahan sama sekali.
Tiba di ruang praktek suasana sudah mulai gelap. Lampu-lampu di sepanjang jalan yang ku lewati mulai menerangi ruas jalan. Demikian juga hampir semua lampu di rumah penduduk yang terletak di sepanjang jalan itu menyala, walaupun tidak menerangi seluruh ruas jalan.
“Cepetan nanti dokternya keburu tutup!” seruku ke anakku agar memacu sepeda motornya lebih cepat lagi. Dari kejauhan ruang tunggu itu tampak sepi, tak ada tanda-tanda antrian pasien seperti biasanya. Setelah memarkirkan sepeda motor, kami gegas memasuki ruangan.
“Bu kayanya udah tutup tuh, sepi gitu,” bisik anaku seraya kami berdua turun dari sepeda motor setelah memarkirkan di tempat gelap. Lampu di beberapa ruang tempat praktek itu belum semua dinyalakan, kesan horrorpun tampak jelas.
“Masih buka kok,” tiba-tiba ada suara parau seorang kakek-kakek tanpa wujud mengejutkan kami. Nyaris kami berdua berteriak namun segera reflek menutup mulut ini dengan tangan.
“Nih karcis parkirnya,” tiba-tiba suara itu muncul lagi dari arah belakang yang gelap. Seorang kakek tua seraya memberikan secarik kertas. Gegas ku ambil kartu tanda parkir itu tanpa keluar sepatah katapun. Kami pun segera menuju ke ruang tunggu. Tampak di ruangan tunggu itu tinggal satu orang pasien yang sedang menunggu antrian.
Tak kurang dari lima belas menit kemudian petugas menyuruh kami berserta si sulung memasuki ruangan untuk diperiksa. Tak perlu lama kamipun beranjak dari ruangan itu untuk kemudian mengambil obat di ruang terpisah.
Melewati lorong dengan pencahayaan remang-remang membuat tangan kami saling memegang erat. Tak lama kamipun tiba di sebuah ruangan.
Obat ini dimakan satu tablet sesudah makan pada sore hari, kemudian yang ini satu kali satu pada waktu malam hari satu tablet diminum sesudah makan, dan yang terakhir ini satu tablet dimakan sebelum sarapan!” seru petugas itu menerangkan panjang lebar dosis dan waktu meminumnya. Kemudian menyerahkannya kepada kami.
Kemudian proses pengambilan obatpun selesai, dan tampak diruang tunggu itu ada seorang pasien wanita paruh baya beranjak masuk setelah kami ke luar ruangan.
"Pak jangan dulu ditutup pintunya, masih ada seorang pasien lagi di ruang pengambilan obat itu,” kata salah satu dari kami memberitahukan kepada petugas tatkala akan menutup pintu gerbang ruang praktek itu.
“Udah enggak ada pasien lagi, ibu ini merupakan pasien terakhir,” timpalnya seraya mengerutkan dahi, tampak terkejut. Namun kemudian tersenyum aneh.
“Lah, itu tadi siapa?” tanya saya penasaran.
Namun tak lama tangan saya serasa ada yang menarik ke luar ruangan itu.
“Cepetan pulang!” seru anakku berbisik seraya mendekati sepeda motor yang terparkir tak jauh dari kami. Namun tiba-tiba mataku terpaku pada seorang lelaki yang sedang mengayunkan stik di sebuah lapang golf mini di samping ruang praktek itu.
Lelaki itu mirif dokter yang barusan memeriksa saya. Tiba-tiba hawa dingin melesak ke dalam tubuh ini hingga membuatku mengigil. Di tengah-tengah ketakutan tiba-tiba terasa bahu kanan ada yang menepuk, rasanya dingin sekali seketika terlonjat aku dibuatnya.
“Cepetan mah naik ke motor!” seru si sulung menarik lenganku setelah beberapa lama kami tak bersuara. Seolah terdiam kena hipnotis malam itu.
Sepeda motor melesat meninggalkan ruang praktek itu. Di dorong rasa penasaran akhirnya ku mencoba melirik kebelakang dan lagi-lagi kami hampir terjatuh. Apalagi tampak dari kejauhan ada sosok seseorang lelaki menyeringai, menampakkan kedua gigi taringnya keluar.
Ku alihkan pandangan ini ke depan searah dengan jalannya sepeda motor yang terus melaju di bawah kendali anakku. Sosok lelaki di lapangan golf itu sanggup membuatku bergidik hingga sepeda motor yang tengah melaju ikut oleng dibuatnya.
Brak kamipun terjatuh hingga luka lecet di kedua kaki ini. Namun rasa nyeri tak dihiraukan, dan berusaha bangkit sekuat tenaga tapi bobot badan membuatku kepayahan.
“Cepetan bangun, Bu!” seru anakku seraya menunggu diatas motor yang baru saja terjatuh. Sementara aku tak kuat lagi berdiri.