Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
RUMAH LIMA LANGKAH

RUMAH LIMA LANGKAH

kapus040474

5.0
Komentar
4
Penayangan
1
Bab

Rindu kampung halaman membuatku ingin segera tiba di tanah kelahiran. Kebetulan libur panjang, dan kesempatan itu ku gunakan sebaik mungkin untuk pulang kampung bertemu orang-orang terkasih, termasuk Mirna. Hubungan kami yang masih abu-abu membuatku ingin menemuinya segera. Bukan cuma rumah kita saja yang dekat, namun ternyata hati kita juga. Malam itu ku kembali datang menemui Mirna yang beberapa tahun tak pernah ia temui meski jarak rumah mereka hanya beberapa langkah saja. Mampukan benih cinta singgah di hati mereka setelah pertemuan kembali itu?

Bab 1 1. Pasien Misterius

Walaupun terasa malas kupaksakan untuk memeriksakan diri ke dokter. Batuk pilek membuatku tidak bisa tidur nyenyak.

Minum obat dari warung biasanya cukup efektif, namun sekarang memasuki hari ke empat dan juga mungkin hari-hari berikutnya tidak ada perubahan sama sekali.

Tiba di ruang praktek suasana sudah mulai gelap. Lampu-lampu di sepanjang jalan yang ku lewati mulai menerangi ruas jalan. Demikian juga hampir semua lampu di rumah penduduk yang terletak di sepanjang jalan itu menyala, walaupun tidak menerangi seluruh ruas jalan.

"Cepetan nanti dokternya keburu tutup!" seruku ke anakku agar memacu sepeda motornya lebih cepat lagi. Dari kejauhan ruang tunggu itu tampak sepi, tak ada tanda-tanda antrian pasien seperti biasanya. Setelah memarkirkan sepeda motor, kami gegas memasuki ruangan.

"Bu kayanya udah tutup tuh, sepi gitu," bisik anaku seraya kami berdua turun dari sepeda motor setelah memarkirkan di tempat gelap. Lampu di beberapa ruang tempat praktek itu belum semua dinyalakan, kesan horrorpun tampak jelas.

"Masih buka kok," tiba-tiba ada suara parau seorang kakek-kakek tanpa wujud mengejutkan kami. Nyaris kami berdua berteriak namun segera reflek menutup mulut ini dengan tangan.

"Nih karcis parkirnya," tiba-tiba suara itu muncul lagi dari arah belakang yang gelap. Seorang kakek tua seraya memberikan secarik kertas. Gegas ku ambil kartu tanda parkir itu tanpa keluar sepatah katapun. Kami pun segera menuju ke ruang tunggu. Tampak di ruangan tunggu itu tinggal satu orang pasien yang sedang menunggu antrian.

Tak kurang dari lima belas menit kemudian petugas menyuruh kami berserta si sulung memasuki ruangan untuk diperiksa. Tak perlu lama kamipun beranjak dari ruangan itu untuk kemudian mengambil obat di ruang terpisah.

Melewati lorong dengan pencahayaan remang-remang membuat tangan kami saling memegang erat. Tak lama kamipun tiba di sebuah ruangan.

Obat ini dimakan satu tablet sesudah makan pada sore hari, kemudian yang ini satu kali satu pada waktu malam hari satu tablet diminum sesudah makan, dan yang terakhir ini satu tablet dimakan sebelum sarapan!" seru petugas itu menerangkan panjang lebar dosis dan waktu meminumnya. Kemudian menyerahkannya kepada kami.

Kemudian proses pengambilan obatpun selesai, dan tampak diruang tunggu itu ada seorang pasien wanita paruh baya beranjak masuk setelah kami ke luar ruangan.

"Pak jangan dulu ditutup pintunya, masih ada seorang pasien lagi di ruang pengambilan obat itu," kata salah satu dari kami memberitahukan kepada petugas tatkala akan menutup pintu gerbang ruang praktek itu.

"Udah enggak ada pasien lagi, ibu ini merupakan pasien terakhir," timpalnya seraya mengerutkan dahi, tampak terkejut. Namun kemudian tersenyum aneh.

"Lah, itu tadi siapa?" tanya saya penasaran.

Namun tak lama tangan saya serasa ada yang menarik ke luar ruangan itu.

"Cepetan pulang!" seru anakku berbisik seraya mendekati sepeda motor yang terparkir tak jauh dari kami. Namun tiba-tiba mataku terpaku pada seorang lelaki yang sedang mengayunkan stik di sebuah lapang golf mini di samping ruang praktek itu.

Lelaki itu mirif dokter yang barusan memeriksa saya. Tiba-tiba hawa dingin melesak ke dalam tubuh ini hingga membuatku mengigil. Di tengah-tengah ketakutan tiba-tiba terasa bahu kanan ada yang menepuk, rasanya dingin sekali seketika terlonjat aku dibuatnya.

"Cepetan mah naik ke motor!" seru si sulung menarik lenganku setelah beberapa lama kami tak bersuara. Seolah terdiam kena hipnotis malam itu.

Sepeda motor melesat meninggalkan ruang praktek itu. Di dorong rasa penasaran akhirnya ku mencoba melirik kebelakang dan lagi-lagi kami hampir terjatuh. Apalagi tampak dari kejauhan ada sosok seseorang lelaki menyeringai, menampakkan kedua gigi taringnya keluar.

Ku alihkan pandangan ini ke depan searah dengan jalannya sepeda motor yang terus melaju di bawah kendali anakku. Sosok lelaki di lapangan golf itu sanggup membuatku bergidik hingga sepeda motor yang tengah melaju ikut oleng dibuatnya.

Brak kamipun terjatuh hingga luka lecet di kedua kaki ini. Namun rasa nyeri tak dihiraukan, dan berusaha bangkit sekuat tenaga tapi bobot badan membuatku kepayahan.

"Cepetan bangun, Bu!" seru anakku seraya menunggu diatas motor yang baru saja terjatuh. Sementara aku tak kuat lagi berdiri.

"Kamunya kesini dulu, bantuin Ibu berdiri." Dengan susah payahnya anakku mengangkat tubuh ini agar kembali duduk di kendaraan tersebut. Tak lama kamipun tiba di rumah jam delapan malam.

Tok...tok...tok...

Klek suara pintu dibuka dari dalam.

"Loh habis dari mana jam segini baru pulang?" tanya suami menyambut kami dan ikut serta membantu memapahku juga.

"Udah dari dokter, Yah," timpal anakku seraya membaringkanku di ruang tamu beralaskan busa tipis tempat biasa kami rebahan sambil nonton televisi. Tak lupa juga ia menyelimutinya diri ini agar terasa hangat.

"Tapi itu kenapa bawahan sampai kotor dan robek-robek gitu?" tanya Ayah penuh selidik.

"Habis jatuh dari motor tadi tuh. Ada yang ngejar-ngejar kata Ibu sehingga saya melajukan sepeda motor dengan cepat," timpal si sulung menjelaskan kronologi kejadian itu.

"Duh ko ngebut seh, lagian kalo pergi kemana-mana jangan waktu magrib, ga baik kata orang tua dulu," kata Ayah menyarankan.

Akhirnya kami terdiam beberapa saat, ingin rasanya mata ini terpejam rasa kantuk dan lelah begitu mendera.

Sepanjang malam seluruh anggota keluarga mendampingiku. Ku terbaring lemah tak berdaya sepulang dari dokter. Luka lembam dan goresan serasa perih di sebagian tubuh dan kaki setelah terjatuh dari sepeda motor.

Aku dijenguk oleh saudara-saudaraku dan para tetangga. Si sulung tak kenal lelah merawatku selama beberapa hari ini. Dibasuhnya sebagian badan dengan air hangat kemudian dikeringkan dengan handuk kecil.

Kain kopresan masih menemani di atas kening. Besok paginya terasa agak baikan dan tubuhku segar kembali.

"Bu, sarapan dulu nanti baru minum obat!" serunya seraya mencari-cari obat di dalam bungkus plastik warna putih itu. Ia menyuapiku dengan pelan dan penuh kasih sayang.

"Biarin Ayahmu saja yang mengurus ibu, kamu pulang saja, enggak enak sama suamimu yang tinggal sendirian di rumah," pintaku kepada si sulung agar segera pulang.

Namun ia menolaknya dengan halus, apalagi Ayahnya hampir setiap hari bekerja di sawah. Mungkin tak tega rasanya jika meninggalkanku terbaring sakit seorang diri.

*****

POV Mira

Tak terasa sudah satu minggu aku tinggal di rumah orang tuaku. Sejak ibu jatuh sakit, pekerjaan rumah dan yang lainnya aku kerjakan semuanya. Kedua sodarku tinggal di kota bersama keluarganya masing-masing.

Kalaupun pulang kampung paling setahun sekali waktu lembaran saja. Terkadang juga jarang pulang seolah telah melupakan kedua orang tuanya.

Pagi menjelang siang pekerjaan rumah sudah selesai dan akupun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ruang tengah merupakan tempat pavorit untuk rebahan sambil menonton acara televisi.

Beberapa menit kemudian samar-samar terdengar suara pintu rumah diketuk orang dari luar. Aku segera menghampirinya, namun setibanya di ambang pintu tampak seorang lelaki yang membuatku terkejut dan keheranan.

"Ka...kamu, Ferdi kan?" tanyaku ragu. Suasana hening beberapa saat.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku