Dijatah Lima Juta

Dijatah Lima Juta

Lia_Scorpio

5.0
Komentar
565
Penayangan
20
Bab

Hanya diberi jatah lima juta dalam sebulan, membuat aku kerap kali bersitegang bahkan bertengkar dengan suamiku. Entahlah, apa yang ada di dalam pikiran suamiku saat memberi jatah bulanan dengan nominal seperti itu?

Bab 1 (Dijatah Lima Juta)

"Ini uang bulanan untuk kamu! Kelola baik-baik, aku harap setelah ini tidak ada lagi yang namanya uang kurang!"

Wajahku memerah menahan marah saat mendengar Mas Umar mengatakan itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Bisa-bisanya ia hanya memberiku uang bulanan dengan nominal seperti itu.

Namaku Dila, aku hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung dengan suamiku. Bukan aku tidak mau bekerja atau apa. Tapi, Mas Umar, selalu saja melarang jika aku ingin bekerja seperti istri orang lain.

Jatah bulanan yang diberikan Mas Umar selama ini, benar-benar membuat aku kesal. Bagaimana tidak, aku hanya dijatah lima juta untuk satu bulan. Aku akui, nominal lima juta itu tidak lah sedikit untuk era seperti ini. Tapi, tetap saja itu masih kurang banyak untukku.

"Kenapa harus lima juta terus sih, Mas? Apa tidak bisa kamu naikkan lagi uang bulanannya? Gaji kamu kan delapan juta satu bulan, kenapa tidak enam atau tujuh juta?" protesku.

"Yang benar saja kamu Dil? Enam atau tujuh juta kamu bilang? Lima juta itu sudah nominal yang besar. Apa masih kurang? Gajiku memang delapan juta. Tapi aku harus memberi mama dua juta, dan satu jutanya lagi untuk aku simpan buat rokok dan uang bensin. Syukuri saja Dil!"

Tanpa mau mendengar protesku lagi, Mas Umar langsung menyerahkan uang bulanan lalu keluar dari kamar.

Mataku nanar melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Dengan sangat terpaksa aku mulai mengambil dan menyimpannya di dalam dompet khusus uang bulanan. Kepalaku terasa berat dan pusing, apalagi ini awal bulan. Banyak sekali yang harus aku pikirkan dengan jatah bulanan yang sedikit ini.

"Kalau begini terus aku bisa gila. Mas Umar benar-benar kelewatan sekali. Dia memberiku jatah bulanan hanya lima juta, sedangkan mama dua juta. Sepertinya aku harus mencari kerja kali ini,"

Keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau lagi terpaku dengan jatah bulanan yang selalu saja kurang. Aku mulai memikirkan melamar kerjaan dengan ijasah sarjana yang aku punya.

"Dila, sini sebentar!" teriak mas Umar dari arah dapur.

Awalnya aku tidak menghiraukan teriakan mas Umar. Namun, lagi-lagi Mas Umar mengulang teriakannya, dan terpaksa aku keluar dari kamar dengan kaki yang dihentakkan.

"Ada apa Mas?" tanyaku malas.

"Ada apa, ada apa. Lihat nih! Apa kamu tidak bisa masak atau pelit sih? Uang jatah bulanan sudah aku berikan, tapi kamu masih saja memasak menu yang sama setiap harinya. Tidak ada menu spesial, kamu bisa masak atau tidak sih?" omel mas Umar, menunjuk lauk pauk serta sayur di atas meja makan.

Emosiku benar-benar diuji kali ini. Aku hanya manusia biasa, mas Umar benar-benar membuatku meledak hari ini. Belum selesai masalah jatah bulanan, dia kembali mempermasalahkan makanan di atas meja.

"Syukuri saja Mas!" sahutku, mengulangi kalimat yang tadi ia ucapkan di kamar.

Dapat aku lihat wajah mas Umar memerah, telapak tangannya juga terkepal.

"Berani kamu mengulang kata-kata aku Dil? Syukur sih syukur, tapi kalau makan ini setiap hari aku juga bosan. Aku kerja dari pagi sampai malam cari uang, masa iya kamu hanya memasak ini? Percuma aku banting tulang, kalau makanan seperti ini yang tersaji. Aku cari uang itu untuk dapat uang banyak dan makan enak, bukan seperti ini!" bentak mas Umar, menatap nyalang ke arahku.

Aku tidak peduli dengan tatapan itu.Dengan santainya aku mendekati meja makan, lalu menutup kembali tutup saji yang tadi mas Umar buka.

"Kalau tidak mau makan, yasudah tidak usah sekalian!" ujarku, kemudian bersiap pergi ke kamar.

Baru saja aku berjalan melewati mas Umar, ia sudah menarik lenganku kasar.

"Apa-apaan sih kamu Dil? Kamu kenapa? Apa begini cara kamu memperlakukan suami sendiri? Aku capek kerja Dil, harusnya kamu itu memanjakan aku kalau pulang. Menyiapkan makanan yang enak-enak, bukan malah seperti ini!" ujar mas Umar, kali ini nada bicaranya tidak sekeras tadi, tapi penuh penekanan.

Perutku mual mendengar kata-kata mas Umar. 'Memanjakan?' cih, dia saja tidak pernah memanjakan aku sama sekali.

"Dengar ya, Mas! Aku ini bukan koki, aku ini hanya ibu rumah tangga biasa. Dalam satu bulan ada tiga puluh hari, dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh lima hari. Bagaimana caraku memikirkan menu yang berbeda-beda setiap harinya selama itu? Koki saja tidak akan sanggup, dan bisa saja memasak menu yang sama, apalagi aku yang hanya biasa ini. Makan saja apa yang ada, masih syukur masih bisa makan nasi dengan lauk dan sayur. Lihat orang-orang di luar sana! Jangankan buat makan ada lauk dan sayur, hanya makan nasi saja mereka sudah bersyukur," sahutku kesal.

Mas Umar mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak mempermasalahkan makanan yang dimasak berulang kali dalam satu tahun. Yang aku masalahkan, kamu sudah diberi uang bulanan, masa iya lauknya hanya ini terus? Dan lagi, aku bukan mereka orang jalanan. Aku punya uang, aku bekerja, sudah sewajarnya aku mengharapkan menu yang lebih," jelas mas Umar, wajahnya masih terlihat merah saat mengatakan itu.

"Tau ah Mas, nanti saja membahas masalah ini! Aku mau istirahat dulu, tubuhku lelah. Kalau mau makan, makan saja yang itu. Tapi kalau tidak mau, kamu bisa pulang ke rumah mama dan makan di sana, menunya pasti enak-enak!"

Setelah mengatakan itu, aku menghempaskan cengkraman mas Umar di lenganku. Aku melenggang pergi begitu saja masuk ke dalam kamar dan tak lupa menutup pintunya sedikit agak keras.

Dengan perasaan kesal campur aduk dengan marah. Aku kembali menatap kesal uang yang barusan aku simpan.

"Kalau saja kamu memberiku uang bulanan lebih, aku tidak mungkin memasak menu itu-itu saja Mas. Harusnya kamu mikir, semuanya sekarang ini serba mahal. Dengan uang segitu selama satu bulan, mana mungkin cukup. Biarpun saat ini kita belum punya anak, tetap saja tidak cukup. Harusnya kamu memberikan uang bulanan yang lebih kalau mau makan enak setiap harinya. Bukan malah memberi jatah bulanan ke mama kamu sebanyak itu. Mama kan sudah ada uang dari gaji pensiunan papa kamu, itu bahkan lebih dari cukup untuk biaya hidup satu bulan, bahkan masih lebih. Sedangkan aku masih banyak kurangnya, aku harus memutar otak memikirkan agar uang itu cukup sampai gajian bulan depan nanti." batinku.

Pintu depan tertutup keras, dapat aku dengar dari dalam kamar. Aku tidak memedulikan itu, aku tau itu adalah perbuatan mas Umar. Ia pasti sedang marah dan pergi ke rumah mamanya. Biarlah ia makan di rumah mamanya, paling tidak ia tau kenyataan jatah bulanan yang ia berikan itu kurang.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Lia_Scorpio

Selebihnya

Buku serupa

Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

kodav
5.0

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku