Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Januar Keenan Morry, laki-laki dengan tinggi menjulang itu melayangkan senyuman usai melihat sosok pujaan hatinya yang tengah melambaikan tangan di depan sana. Seperti hubungan sepasang kekasih pada umumnya, Keenan dan Harnung yang kebetulan satu kampus tetapi beda jurusan tidak pernah melewatkan jam makan siang bersama. Anggap saja mereka beruntung karena tidak pernah memiliki jadwal tabrakan di siang hari.
“Besok-besok kita makan siang di kantin fakultas kamu aja, ya?” Harnung tidak tega melihat keringat Keenan mengucur membasahi rambut hingga ke pakaian laki-laki itu. Ia lantas mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya dan mengusapkannya pada dahi Keenan, membuat senyuman laki-laki itu semakin lebar. “Apa senyam-senyum? Kamu tuh ya, udah berapa kali aku bilangin jangan terlalu spesialin aku, nanti aku kebiasaan manja terus! Aku kan juga pengen makan di kantin fakultas kamu. Katanya, baksonya enak!”
Keenan terkekeh pelan. Ia menyambar tangan Harnung yang bebas dan menyelipkan jemarinya di antara jemari mungil gadis itu. Diperlakukan tiba-tiba seperti itu, Harnung yang tadinya ingin marah-marah karena khawatir seketika kembali jinak. Ia memukul pelan dada Keenan, tidak sungguh-sungguh.
“Fakultas kita kan nggak dekat. Aku nggak tega kamu yang kecapekan kalau harus jalan ke tempatku,” ujar Keenan menarik tangan Harnung memasuki area kantin.
Kantin FMIPA merupakan tempat yang lumayan ramai. Beberapa mahasiswa pasti sudah kembali ke kelas ataupun laboratorium, sementara sisanya tengah menghabiskan makan siang dengan khidmat. Meskipun sudah sering melihat pemandangan seperti ini, Keenan masih tetap takjub melihat betapa rajinnya mahasiswa FMIPA. Kebanyakan dari mereka bahkan makan sembari membaca ensiklopedia. Hebat.
Keenan dan Harnung memilih duduk di pojokan dekat jendela. Dari tempat duduk ini, Keenan bisa memperhatikan mahasiwa yang seliweran dengan buku tebal di tangan. Ada yang membaca sambil berjalan tanpa menabrak apalagi terjatuh. Lagi dan lagi, Keenan takjub dengan pemandangan itu.
“Sayang!”
Keenan terperanjat. Ia mengerjapkan mata menatap Harnung yang sudah siap memukulnya dengan sendok. Pacarnya itu memang galak, tapi anehnya Keenan tambah suka kalau Harnung mode galak. Menggemaskan sekali.
“Hm?”
Senyuman Keenan membuat Harnung bergidik ngeri. “Kamu ngapain sih dari tadi senyam-senyum terus? Kesambet arwah dosen?”
“Gimana nggak senyum terus kalau lagi berhadapan sama kebahagiaan.”
Keenan mengaduh kesakitan usai Harnung benar-benar memukul kepalanya dengan bagian belakang sendok.
“Gombal banget! Buruan deh ini makan apa. Kamu mau telat masuk kelas lagi?”
Sembari mengusap kepalanya yang—mungkin—benjol, Keenan mulai membaca menu makanan dan minuman satu per satu. Padahal ia sudah sering makan di kantin FMIPA, tapi tetap saja rutinitas membaca menu diperlukan. Bukan hanya formalitas, tetapi bagi Keenan membaca buku menu membuat gairah makannya meningkat.
“Aku pesan nasi kebuli sama es teh.”
Dan pada akhirnya pesanannya tidak berubah. Dasar Keenan.
Harnung mencatat pesanan Keenan di atas secarik kertas, sebelum pamit untuk memesankan makanan. Beberapa menit setelahnya gadis itu kembali membawa satu nampan penuh berisi dua piring nasi kebuli dan dua gelas besar es teh. Keenan refleks menangkap nampan di tangan Harnung saat melihat gadis itu terhuyung keberatan.
Harnung kembali duduk tanpa mempermasalahkan tatapan protes yang dilayangkan oleh Keenan. “Terima kasih, Sayangku.”