Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
GEJOLAK GAIRAH DILAN

GEJOLAK GAIRAH DILAN

Black Sky

5.0
Komentar
8.8K
Penayangan
201
Bab

Adult romance 21+ Hanya butuh tiga kali interaksi untuk membuat Dilan dan Nessa menjadi akrab dan dekat. Namun, Dilan tidak pernah mengira, pada interaksi ketiga pula, ia harus merasakan patah hati. Hingga satu kejadian tidak sengaja, akibat pil perangsang yang bereaksi di tubuh Nessa membuat Dilan harus melanggar janjinya untuk menjaga kehormatan wanita yang sangat ia cintai tersebut. Akankah cinta Dilan dan Nessa bisa bersatu ? Akankah Nessa bisa memaafkan Dilan ? Akankah segala kesalahpahaman diantara mereka menemui titik terangnya ?

Bab 1 TIGA MOMENT SAJA

Ketika terjaga dari tidur, Nessa merasakan sesuatu menindih tubuhnya. Hmm... inikah fenomena yang kerap dibilang orang Sunda sebagai eureup-eureup? Fenomena yang secara medis disebut sleep paralysis itu. Dan secara mistis dibilang sebagai fenomena ditindih makhluk halus. Asumsi yang disebutkan terakhir, sukses membuatnya panik setengah mati.

Lalu rasa panik menuntunnya untuk berusaha sekuat tenaga mendorong sesuatu yang menindih tubuhnya itu. Dan berhasil, karena Nessa merasakan tubuhnya ringan. Lalu sejurus kemudian, terdengar suara erangan. Sebentar, suara erangan?

Nessa mengarahkan pandangan pada arah yang ia rasakan menjadi arah jatuhnya sesuatu yang tadi didorongnya kuat-kuat. Dan ia mendapati sesosok tubuh manusia, tanpa pakaian, meringkuk telungkup di lantai dan mengerang kesakitan. Jatuh dari ranjang akibat dorongannya. Nessa pun sadar, bahwa tadi bukanlah eureup-eureup. Ia ditindih oleh manusia, makhluk yang nyata. Bukan makhluk halus.

What? Kepanikan selanjutnya pun segera ia rasakan. Dan kepanikan itu menuntun mata Nessa untuk menatap tubuhnya. Ya, tubuhnya pun tanpa sehelai benang, sama seperti sesosok manusia yang meringkuk kesakitan tertelungkup di lantai itu. Nessa makin panik.

Segera ia meraba area pangkal pahanya. Oh, my ...

Dengan panik bercampur marah, Nessa merengkuh bahu kanan tubuh telanjang bulat yang meringkuk telungkup di lantai itu. Disentaknya kuat-kuat, hingga tubuh itu telentang. Ia pun berhasil melihat wajahnya.

"Dilan ..." lirih Nessa. "Apa yang kamu lakukan, hah?!"

"Hmm?" gumam pemilik tubuh telanjang itu.

"Dilan?!" jerit Nessa tertahan. "Kamu... kamu mencabuli aku?"

"Kenapa?" Dilan sontak duduk, lalu menatap Nessa. "Aku mencabuli kamu? Nggak, lah!"

"Lha, ini apa artinya?" sungut Nessa. "Kita sama-sama telanjang. Kamu tadi menindihku. Dan... daerah kewanitaanku lengket."

"Kalau kamu yang memaksa aku untuk menyetubuhi kamu ..." tanggap Dilan. "Apakah itu bisa dianggap sebagai suatu tindakan pencabulan?"

"Aku, memaksa kamu... menyetubuhi aku?" tanya Nessa heran setengah mati. "Kamu mengada-ada," sugutnya.

"Siapa yang mengada-ada?" bantah Dilan.

"Kamu!" bentak Nessa. "Kamu mencabuli aku. Kamu tega ..."

Bertumpuk beban seolah tiba-tiba ditimpakan di atas tubuh Nessa. Berat dan menyiksa. Ia nyaris tak mampu menanggungnya, hingga pada akhirnya hanya bisa menangis.

"Kamu tega, Dilan ..."

Dilan bangkit. Duduk di tepi ranjang, lalu tangan kanannya terulur untuk menyentuh wajah Nessa. Namun perempuan itu berkelit dan menampar tangan itu. Dilan kembali berusaha menyentuhnya, namun urung karena tangan kanan Nessa yang terkepal terlanjur mendarat cukup telak di kelopak mata kirinya, hingga ia terhuyung mundur.

"Keluar kamu!" bentak Nessa. Lalu, ia mulai melemparkan beberapa helai pakaian lelaki itu.

"Keluar... kamu jahat!"

"Bukankah itu adalah keinginan kamu?" tegas Dilan, sambil memunguti dan mengenakan satu demi satu pakaiannya yang dilemparkan Nessa. "Bukankah kamu yang ..."

"Bullsh*t!" potong Nessa, sambil kembali melayangkan kepalan tangan ke arah wajah Dilan.

Kali ini, hidungnya yang menjadi sasaran. Telaknya pukulan tersebut, membuat darah segar mengucur dari kedua lubang hidung itu. Dilan sontak memegangi hidung mancungnya, sambil meringis. Ia menggeleng pelan, lalu melangkah. Bersiap masuk kamar mandi. Namun langkahnya terhenti, ketika tiba di area ujung ranjang. Ia menunduk.

"Lihat," Dilan menunjuk lantai.

Nessa sama sekali tidak berminat untuk melihatnya.

"Rasanya nggak ada satu pun korban pencabulan yang menjerit keenakan," sambung Dilan. "Orgasme hingga cairan ejakulasinya memancar deras sampai membasahi lantai."

Nessa tertegun.

***

Awal mula, 21 September 2000.

Dilan hanya butuh tiga momen saja, untuk jatuh cinta kepada Nessa. Ia mungkin takkan pernah membayangkan, betapa ketiga momen tersebut akan membimbingnya menuju beberapa peristiwa seru, sedih sekaligus menyebalkan di masa mendatang. Ketiga momen itu, sukses memaksa Dilan untuk mematri nama Nessa di sudut terdalam hatinya, sepanjang sisa hidupnya.

Momen pertama, tentulah saat pandangan pertama.

Bentakan para senior berseragam kaos hitam, baik laki-laki maupun perempuan, terdengar bersahutan. Memarahi dan berusaha menciutkan mental ratusan orang bertampang lugu yang baru sehari yang lalu dilantik oleh direktur kampus itu. Ratusan orang mahasiswa baru yang masih berseragam putih-kelabu, dengan ciri para lelaki berkepala nyaris plontos, dan perempuan berpita biru-jingga di rambutnya.

Dilan duduk tepat di belakang seorang perempuan, rekan satu gugus. Dua menit lalu, perempuan itu dibentak senior akibat tidak mengacungkan barang yang kemarin ditugaskan oleh panitia. Selain dibentak, senior juga memberi sebuah tanda ceklis pada ban name tag di bahu kanannya.

"Sekarang, angkat jeruk mencium matahari kalian!" perintah Komandan Lapangan, dengan media pengeras suara.

Perintah itu disikapi dengan kesibukan para mahasiswa baru mengaduk isi tasnya masing-masing, dibawah bentakan dan teriakan puluhan panitia berkaos hitam yang menyuruh mereka untuk bergerak cepat.

Dilan mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya yang memegang jeruk sunkist, alias 'jeruk mencium matahari' itu. Namun, tangannya kembali turun, saat melihat tangan perempuan yang duduk di depannya tidak kunjung terangkat. Disusul dengan gerakan menjulurkan tangannya ke arah depan, meletakkan jeruk sunkist di pangkuan perempuan itu.

Perempuan bertubuh agak gemuk itu menoleh ke belakang, dan beradu tatap dengan Dilan. Sorot matanya menyiratkan tanya. Dilan sedikit tertegun, seiring indera penglihatannya melakukan 'pemindaian' terhadap wajah yang baru kali ini dilihatnya.

Matanya cantik, meskipun terlihat keruh, batinnya. Wajahnya nggak cantik, tapi... manis.

"Hei ..." seru pelan perempuan itu, membuyarkan kata-kata di batin Dilan.

"Buat kamu," desis Dilan. "Lihat ke depan lagi."

Perempuan itu segera menoleh kembali ke arah depan.

"Kamu nggak bawa tugasmu, hah?" hardik seorang panitia berkaos hitam, yang tiba-tiba telah berjongkok di samping kanan Dilan.

"Tidak, Jenderal," jawab Dilan, tidak lantang namun tegas.

Panitia itu pun memberi sebuah tanda ceklis pada ban name tag di bahu kanan Dinan, disertai tatapan intimidatif.

Setengah jam kemudian, puluhan calon mahasiswa baru dipisahkan dari barisan. Mereka adalah orang-orang yang ban name tag-nya dihiasi tanda ceklis. Dilan termasuk di dalamnya, karena terdapat tujuh tanda ceklis, yang berarti dirinya lalai dalam mengerjakan tujuh item tugas.

Perempuan itu, juga berada di dalam barisan para terhukum, berdiri tepat di belakang Dilan. Ia hanya punya sebuah tanda ceklis. Perempuan itu menatap Dilan dengan nanar, saat sang lelaki dihukum push-up sebanyak tujuh seri, sesuai jumlah ceklis yang ia miliki. Dan mereka kembali saling pandang, ketika Dilan kembali ke barisan. Dilan mengedipkan kelopak mata kirinya.

***

Momen kedua terjadi di hari terakhir Masa Pengenalan Kampus, tak lama setelah acara secara resmi dinyatakan selesai.

"Hei, kamu," suara seorang perempuan.

Dilan berhenti melangkah. Bukan karena panggilan tersebut, melainkan tepukan tangan di bahu kirinya. Ia pun membalikkan tubuhnya, dan sontak tersenyum lebar.

"Terima kasih ya," ucap perempuan itu. "Kamu sampai rela dihukum karena tugas nggak lengkap, demi aku yang memang malas melengkapi tugas."

"Sama-sama," Dilan mengangguk. "Hmm... tiga hari selanjutnya, tugasmu selalu lengkap, ya?"

"Iya," perempuan itu tertawa kecil. "Aku nggak mau mengecewakan orang yang udah banyak menolong aku."

"Aku Dilan," Dilan mengulurkan tangan kanannya, mengajak berjabat tangan.

"Nessa," sambut perempuan itu.

"So, kalau kita bertemu lagi di kantin atau perpustakaan, misalnya," ujar Dilan. "Kita harus saling memanggil nama. Jangan pakai 'kamu'. Janji?"

Perempuan itu, eh... Nessa, tersenyum. Lalu mengangguk.

***

Dan momen ketiga, terjadi di hari pertama perkuliahan. Hari pertama petualangan Dilan sebagai seorang mahasiswa.

Dilan dibuat ternganga, ketika Nessa memasuki kelas. Perempuan itu datang bersama tiga rekannya, yang semuanya wanita, sesaat sebelum dosen masuk kelas. Dilan tidak punya kesempatan untuk menyapanya. Alhasil, selama 80 menit, perasaannya tidak menentu. Ah, kenapa harus tidak menentu? Karena Dilan mulai menaruh imaji Nessa di sudut hatinya.

"Ternyata kita sekelas," ujar Dilan, ketika berjalan tepat di belakang Nessa, sesaat setelah perkuliahan selesai.

Perempuan itu tampak agak terkesiap, berhenti melangkah, dan menoleh. "Dilan? Kita sekelas?"

"Iya," Dilan mengangguk, sambil tersenyum lebar. Dijajarinya langkah Nessa. "Kebetulan sekali, 'kan?"

Nessa tersenyum.

"Kita ke kantin?" ajak Dilan.

"Mmm ..." bola mata Nessa berputar-putar. "Hayu."

Lalu tibalah mereka di kantin kampus.

"Sekadar tes kekompakan batin," ujar Dilan, sembari mengaduk tas ranselnya, lalu mengeluarkan selembar kertas. Ia membaginya menjadi dua, dan salah satunya ia sodorkan kepada Nessa.

Nessa menerimanya dengan heran. "Tes kekompakan batin?"

"Iya," Dilan menyodorkan pulpen. "Tulis di situ, kamu mau makan apa. Tapi, jangan diperlihatkan sama aku."

"Oke," sanggup Nessa, sambil menuliskan sesuatu pada carik kertas itu. Ditutupinya, agar Dilan tidak dapat melihatnya.

"Udah?" Dilan mengambil pulpen dari tangan Nessa. "Sekarang giliran aku."

Dilan menyerahkan kertasnya, dan mengambil kertas milik Nessa. Dibacanya isi kertas itu, lalu terkekeh. "Kita berjodoh."

"Hmm?" gumam Nessa, sambil kemudian membaca isi kertas milik Dilan. Lalu ia tertawa pendek.

"Alasan yang relevan kenapa aku memilih nasi goreng," tutur Dilan. "Adalah karena nasi goreng memiliki rasa yang nggak jauh berbeda, di mana pun itu. Karena belum hapal dengan rasa masakan di kantin ini, lebih baik aku cari aman dengan memilih nasi goreng."

"Alasannya sama," kening Nessa berkerut.

"Yah... kita memang berjodoh, 'kan?" seloroh Dilan.

Nessa tertawa lagi.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Black Sky

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku