Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
GAIRAH ISTRI SATU MILIAR

GAIRAH ISTRI SATU MILIAR

Heri Satria

5.0
Komentar
6.1K
Penayangan
42
Bab

"Aku sudah membeli tubuhmu, jadi bersiaplah menjadi budakku!" Hidup Sinta Maheswari hancur lebur saat mengetahui kalau dirinya telah dijual oleh ayah untuk biaya pengobatan ibunya dan membayar utang ke rentenir. Keluarga yang membelinya adalah konglomerat yang berpengaruh di ibukota. Mereka ingin menjadikan Sinta sebagai istri putranya. Setelah pernikahan selesai, itulah awal dari penderitaan Sinta. Pria yang menikahinya tidak lebih dari iblis kejam, dan tidak berhati nurani. Dia menjadikan Sinta sebagai budak nafsunya tanpa mendapatkan cinta dan perhatian. Seiring berjalannya waktu, Sinta hamil. Seluruh keluarga bahagia, kecuali suaminya. Apa yang harus dilakukan Sinta untuk membuat suaminya jatuh cinta?

Bab 1 Dijual Ayahku

Bunyi telepon rumah yang ada di ruang tamu mengganggu pendengaran gadis bernama Sinta Maheswari yang sedang asyik chating dengan kekasihnya. Bergegas dia bangkit dari duduknya yang sudah nyaman, dengan bibir yang terus menggerutu menghiasi langkahnya menuju ruang tamu yang ada di lantai satu.

Dia mempercepat langkahnya menuju sumber suara yang sedari tadi berdering keras, kemudian tangan kanannya dengan sigap menggapai telepon itu.

"Hallo, selamat siang," ucapnya setelah menaruh gagang telepon di telinganya.

Seorang pria dengan suara terburu-buru dari seberang telepon lalu berkata dengan lirih. “Apakah benar ini kediaman Ibu Alya?”

"Benar, saya anaknya, ada apa Pak?" Sinta bertanya balik dengan penuh rasa penasaran.

"Ibu anda sedang di ruang IGD,” sahut Pria itu.

“Ya Tuhan. Mama!” sambar Sinta. Tubuhnya langsung mendadak lemas mendengar berita buruk ini. Rasanya ia terjatuh saat ia merasakan kakinya tak berdaya saat mendengar hal itu.

“Maaf, bisakah anda dengan keluarga datang untuk pengurusan administrasi dan beberapa hal yang harus ditanda tangan," lanjut pria yang merupakan petugas Rumah Sakit tersebut.

"Aku akan segera ke sana Pak, terima kasih," jawabnya singkat lalu bergegas.

Dengan hati yang sedikit terpukul, serta pikiran yang melayang entah kemana. Sinta kemudian segera menutup teleponnya, dia berlari ke lantai dua menuju kamarnya untuk mengambil segala perlengkapan dan kebutuhan selama di rumah sakit.

Tanpa memperdulikan apapun, dia segera berangkat dengan penampilan yang sederhana. Setelah sampai di depan rumah, dia bergegas naik taxi dan pergi menuju rumah sakit.

“Ponsel aku mana ya?” Sinta mencari ponselnya di dalam tas. Namun, benda itu tak ketemu.

Dia tersadar bahwa ponselnya tertinggal di kamar. Dia berpikir untuk kembali ke rumah, tapi perjalanannya sudah sangat jauh untuk kembali.

Sehingga dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya tanpa memperdulikan ponselnya lagi. Dua puluh menit waktu berlalu untuk sampai ke Rumah Sakit, ia segera mencari tempat parkir. Kemudian ia menuju ruang IGD dengan langkah yang sangat buru-buru.

Terlihat wanita paruh baya yang masih terlihat cantik, berkulit putih, berhidung mancung dan warna rambut sedikit pirang itu sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri.

"Bagaimana keadaan Mama saya Dok?" tanya Sinta dengan nada sendu. Matanya masih berkaca-kaca, seolah air mata itu siap tumpah membasahi pipinya.

"Keadaannya sangat kritis, anda harus menanda tangani ini untuk melakukan operasi pada Ibu anda," jawab Dokter laki-laki yang sedang menangani Alya.

Sebelum menanda tanganinya. Sinta membaca isi surat itu. Hatinya ingin menangis saat ia melihat nominal yang tertera di surat itu.

“Ya Tuhan, lima puluh juta, dimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Apa aku harus bicara sama Papa dulu,” pikirnya. Ia pun menolak menanda tangani surat itu.

“Ada apa Bu?” tanya si Dokter.

"Maaf Dok, aku bisa minta waktu sebentar, aku harus menghubungi papaku dulu," pinta Sinta. Ia mengembalikan surat itu, lalu ia keluar dari ruangan itu dan meminjam telepon rumah sakit untuk menghubungi papanya. Kebetulan ia sangat menghafal nomor papanya.

Tak menunggu lama, teleponnya diterima oleh papanya, pria bernama lengkap Reza Mahesa itu menyapa lebih dulu.

“Pa, Papa di mana?” tanya Sinta dengan lirih. Ia pun tak mampu mengontrol ucapannya, suaranya terdengar tak jelas karena air matanya yang terus mengalir.

“Papa baru sampai rumah, Sinta. Kenapa Sinta?” tanya Reza. Terdengar Reza menghela napas berat dari seberang teleponnya lalu bertanya, “Kenapa kamu menangis, Sinta?”

“Papa ke rumah sakit sekarang, Mama ada di IGD. Mereka menunggu Papa menanda tangani surat dari rumah sakit. Cepat ya Pa! Kasian Mama,” pinta Sinta bersamaan dengan isakannya.

“Iya Sinta, kamu tenang ya, Papa ke sana sekarang.” Reza pun bergegas ketika sambungan telepon itu ditutup.

Ia tak bisa menahan diri untuk berteriak kesal dan menyesal dengan semua bencana yang terjadi di hidupnya pada waktu yang bersamaan. Tetapi ia tidak peduli dengan rasa lelah dan kesedihan yang dia rasakan saat ini.

Ia juga belum ingin menyampaikan semua masalahnya pada Sinta. Ia mencoba membuat hidup keluarganya tentram. Ia pun naik taxi ke rumah sakit.

Sinta duduk di ruang tunggu dengan perasaan yang begitu kacau, pikiran yang tidak karuan. Air matanya sejak tadi membanjiri pipinya, berjatuhan deras seperti hujan yang sedang membasahi kota Jakarta saat ini.

"Tuhan, bantu aku, bantu Mama sembuh ya, aku mohon!" ucap Sinta dalam doanya kepada Tuhan. Kemudian kedua tangannya menutup wajahnya yang sedang berderai air mata.

Hujan di luar semakin deras berjatuhan membasahi jalanan, suhunya menjadi sangat dingin. Sinta terus saja menangis, sesekali ia menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, namun tetap saja kesedihan itu menghuni relung hati yang tak bisa didamaikan.

Tak lama kemudian, Reza tiba di rumah sakit. Ia melihat Sinta sedang duduk di depan ruang tunggu, ia langsung menghampirinya.

“Sinta, gimana keadaan mama kamu?” tanya Reza bernada lembut dengan raut wajah yang melelahkan.

“Papa!” Sinta langsung memeluk papanya. “Mama harus dioperasi, biayanya lima puluh juta Pa. Papa punya tabungan kan?” tanya Sinta memastikan bahwa mamanya bisa dioperasi segera.

Reza tak ingin berkata tidak, ia pun menyanggupinya. “Ada. Iya udah, Papa temui bagian administrasinya dulu, kamu tenang ya Sinta. Semua akan baik-baik aja.” Reza mencoba menenangkan hati Sinta, ia tak ingin melihat putrinya menangis seperti itu.

Ia melangkah ke bagian administrasi, dengan hati yang bimbang dan pikirannya yang kacau bercampur menjadi satu. “Dimana aku mendapatkan uang sebanyak itu, sementara aku sudah dipecat dari pekerjaan dan harus membayar uang perusahaan, aku harus gimana sekarang,” gumamnya sepanjang langkahnya ke bagian adminstrasi.

Sesampainya di sana. Reza tak menunggu lama, ia langsung menanda tangani surat itu untuk mempercepat operasi istrinya. Meskipun, ia belum menemukan tempat meminjam uang sebanyak itu. Dalam kondisinya seperti ini, ia merasa sangat rapuh. Dan belum bisa berpikir jernih.

Reza mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. “Kita bisa bertemu di tempat biasa, sekarang?” tanya Reza kepada pria yang ada di balik telepon itu. Setelah mendapat kesepakatan, Reza pun bergegas dan meninggalkan Sinta yang sedang menunggu operasi mamanya.

Reza bukan tak peduli dengan Sinta dan Alya, justru hal ini lebih penting untuk bisa mengurus biaya rumah sakit sang istri.

Sementara di depan ruang operasi, Sinta masih duduk sendiri tanpa seorang pun menemaninya. Kevin, kekasihnya pun tidak menemaninya, karena dia belum sempat menghubungi sejak keberangkatannya ke rumah sakit.

Ponselnya yang ketinggalan membuatnya tidak ada kesempatan untuk menghubungi sang kekasih. Ia juga tak menghafal nomornya.

“Papa kok belum balik ya?” tanya Sinta ke dirinya. Ia berusaha berpikir positif, ia hanya ingin keselamatan sang Ibu saat ini.

Wajahnya sangat lelah, hatinya terus saja berdoa untuk keberhasilan operasi mamanya. Di sisi lain, pikirannya melayang. Dia ingin ada seseorang yang menemaninya di saat kondisi seperti ini.

Sinta membutuhkan sosok yang selama ini memberinya semangat. Baginya, selain kedua orang tuanya, Kevin adalah sosok yang begitu berarti baginya. Mereka pun telah merencanakan pernikahan tiga bulan lagi. Rintik hujan seolah membawa lamunannya melayang, mengimpikan kebahagiaan di masa depannya nanti.

Suara pintu yang terbuka, memutuskan lamunannya. Seorang Dokter laki-laki menghampirinya. Sinta pun dengan sigap langsung berdiri dan langsung menanyakan hasil operasinya.

"Bagaimana keadaan mamaku Dok?" tanya Sinta.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Heri Satria

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku