/0/28438/coverbig.jpg?v=81cfddf254a092624bf7b50b0e32223e&imageMogr2/format/webp)
Nara hidup dalam pernikahan yang tampak sempurna dari luar bersama Rama, suaminya. Akan tetapi, kesepian yang mendera membuatnya terjerat dalam gairah terlarang dengan seorang pria bernama Arka. Hingga sebuah pesan singkat dari Arka membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan. Sebuah kisah tentang cinta yang penuh luka, pengkhianatan yang membara, dan perjuangan menemukan diri di tengah badai kehidupan.
Nara berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Gaun satin hitam yang membalut tubuhnya mempertegas keanggunan sekaligus aura sensualnya. Dengan tangan terampil, ia menyisir rambut panjangnya, menyiapkan diri untuk menghabiskan malam yang dijanjikan penuh petualangan. Akan tetapi, sorot matanya tak memandang pantulan dirinya di cermin. Ia hanya terpaku pada layar ponsel di atas meja rias yang baru saja menampilkan sebuah pesan singkat dari Arka:
"Sudah siap, sayang? Aku di lobi."
Dehaman kecil keluar dari bibirnya, setengah menikmati getaran-getaran dan bayangan-bayabgan sensasi yang mendebarkan dari situasi ini, Hati Nara serasa dikepung oleh ketegangan tak kasat mata.
"Arka, aku sungguh merindukan semua sentuhanmu. Dan aku tidak sabar malam ini kita akan kembali bertemu," gumam Nara dengan hati berdebar kencang saat membaca pesan yang baru saja Arka kirimkan.
Untuk sesaat, gairah liarnya tak bisa lagi ia padamkan, Nara bahkan bisa membayangkan setiap sentuhan memabukkan yang selalu membuatnya melayang dari pria itu.
Sentuhan dan kelembutan penuh perhatian di atas tempat tidur, yang tak pernah ia dapatkan dari Rama suami super sibuknya itu.
Namun atmosfer hangat itu tiba-tiba hancur seketika saat suara Rama, suaminya, terdengar menggema dari balik pintu.
"Nara! Kamu ngapain?" tanyanya dengan nada datar dan dibalut nada lain. Nada penuh curiga.
Nara menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai mengintai. Ia berjalan ke pintu dan membukanya dengan senyum tipis di wajahnya.
"Ada apa, Rama?" tanyanya seolah tak ada apa-apa.
Tatapan Rama segera jatuh ke gaun yang dikenakan Nara. Tatapan mata dan gestur di wajahnya menyiratkan rasa tidak senang. "Kamu mau ke mana, malam-malam begini dengan penampilan seperti itu?" tanyanya, alisnya bertaut, sorot matanya tajam menghujam jantung.
"Aku ada acara," jawab Nara santai, mencoba mengalihkan suasana. "Aku butuh waktu untuk bertemu teman-teman. Lagipula kamu sibuk terus dengan pekerjaan. Aku nggak mungkin duduk-duduk di rumah setiap hari, kan?"
Rama mendekat. Tangannya meremas ujung meja rias, hanya beberapa inci dari ponsel yang tergeletak di sana. Pandangannya yang gelap, siap menelanjangi alasan-alasan Nara.
"Oh, begitu? Teman-teman yang mana? Sejak kapan kamu punya 'teman' yang aku nggak tahu?" tanyanya tajam, seperti pisau yang menusuk.
Detak jantung Nara makin cepat, tetapi ia tidak boleh goyah. Jika ia menunjukkan rasa takut, Rama akan mencium darah seperti serigala yang sedang kelaparan.
"Kamu selalu curiga nggak jelas, Rama," katanya dengan nada mengeluh, "Aku hanya butuh waktu untuk diri sendiri. Aku bukan tawanan di rumah ini."
"Apa? Curiga nggak jelas?" Rama tertawa kecil, tawa yang penuh kebencian. "Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu ada yang nggak beres sejak lama!"
Rama tiba-tiba menyambar ponsel Nara dari meja rias. Gerakannya begitu cepat hingga Nara tidak sempat menghentikannya.
Nara panik, ia mencoba merebutnya Kembali, "Rama, jangan! Jangan Rama!" serunya, tapi Rama sudah melangkah mundur, membuka layar ponsel dengan kemarahan yang tak terkendali.
Pesan dari Arka segera memenuhi layar:
"Aku tunggu di kamar 305, ya. Jangan lama-lama, sayang."
Deg ...
Suasana di kamar itu mendadak terasa seperti jurang yang menganga dan siap menelan mereka berdua. Wajah Rama berubah drastis. Matanya yang sebelumnya gelap kini seperti api yang menyala-nyala. Ia mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi dan membantingnya ke lantai. Layar kaca pecah berkeping-keping, memantulkan sisa-sisa kehidupan pernikahan mereka yang mulai retak.
"Siapa dia, Nara? Siapa ARKA?! Kamar 305?! Kamu mau ngapain di sana?!" Bentakan Rama menggelegar di dalam kamar.
"Itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Rama! Aku bisa jelaskan!" Nara mencoba bertahan dengan suara yang bergetar.
"Bisa jelaskan apa, hah?!" Rama meraih pundaknya dengan kasar, membuat Nara terdorong ke dinding. "Kau SELINGKUH, kan?! Aku sudah lama mencium bau busuk ini, tapi aku terlalu bodoh untuk percaya kamu! Ternyata aku nggak salah, kau memang perempuan MURAHAN!!"
"Arka hanya teman biasa, Rama! Kamu terlalu berlebihan!" potong Nara, mencoba menyelamatkan dirinya.
"TEMAN?! Teman apa yang mengajakmu ke kamar hotel?! Jangan bodohi aku, Nara!" Rama semakin mendekat, nadanya semakin memekakkan telinga.
Air mata Nara mulai jatuh. Bukan karena merasa bersalah, melainkan karena ketakutan.
"Aku butuh ruang, Rama. Aku butuh seseorang yang bisa mengerti aku. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan, nggak pernah punya waktu buat aku!" teriak Nara, mencoba membalik keadaan.
"Jadi, ini salahku sekarang, hah?!" Rama membalas dengan nada getir. "Aku banting tulang kerja buat apa? Supaya kamu bisa dandan cantik buat pria lain?! Kau manusia macam apa?!"
"Kalau kamu memang peduli, kamu nggak akan biarkan aku merasa sendirian selama ini!" balas Nara dengan emosi. "Aku hanya mencari perhatian yang nggak pernah aku dapatkan dari kamu, Rama!"
Jawaban itu membuat Rama terpaku sejenak, namun emosi segera menguasainya kembali. Ia menggebrak meja rias hingga segala benda di atasnya terjatuh. Botol parfum, sisir, dan cermin kecil berserakan di lantai, mencerminkan kekacauan di antara mereka.
"Nara! Kau benar-benar tidak tahu diri! Aku memberimu segalanya! Jadi ini balasannya?!" teriak Rama lagi, suaranya parau karena marah sekaligus luka yang menganga.
"Kamu hanya memberiku uang, Rama! Kamu nggak pernah hadir untukku. Kamu bahkan nggak peduli aku butuh apa!"
"Aku nggak peduli?!" Rama menunjuk dirinya sendiri dengan marah. "Kamu yang egois, Nara! Aku ada untuk kamu, untuk rumah ini, untuk hidup kita! Dan sekarang aku tahu, semua itu sia-sia! Semua omong kosong! Kau hanya wanita murahan yang menjual harga dirinya untuk sensasi murahan!"
Kata-kata itu menghantam Nara seperti tamparan keras. Tapi ia tidak mau kalah. Ia menggenggam ujung gaunnya erat-erat, menahan gemetar di tubuhnya.
"Kalau aku seperti itu, salah siapa, Rama? Kamu membuatku seperti ini!"
Suara tawa Rama yang getir memenuhi ruangan.
"Oh, jadi aku yang salah?! Salah karena aku menikahimu? Salah karena aku terlalu percaya sama wanita yang ternyata hanya bisa menghancurkan segalanya?!"
Pintu kamar tiba-tiba terdorong keras hingga hampir terlepas dari engselnya saat Rama keluar, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan ..., "Aku nggak peduli lagi, Nara. Mulai detik ini, kau adalah wanita asing. Kita SELESAI!"
Pintu terbanting menutup dengan keras, suaranya menggema di seluruh rumah.
Nara terhuyung mundur hingga tubuhnya menyentuh dinding. Ia terduduk di lantai, menatap kosong pada layar ponsel yang kini pecah berantakan. Sesaat, ia ingin menjerit sejadi jadinya.
Dengan tangan gemetar, ia memegang gaunnya yang kini kusut karena dirinya sendiri. Dalam hati, ia berkata,
"Bodoh sekali aku..."
Malam itu, Nara tidak pergi ke hotel seperti yang direncanakan. Ia hanya duduk diam di kamar, mencoba memahami apa yang sebenarnya salah dengan dirinya. Bukannya menyesali perbuatannya, ia malah mencari cara untuk membuat suaminya percaya lagi padanya.
"KRING, KRING..." Suara telepon mengejutkannya. Dengan perasaan yang benar-benar kacau, ia pun segera menyambar gagang telepon itu.
"Bagaimana pernikahanmu dengan Rama, hai, Manis? Ha-ha-ha..." Suara yang tak asing baginya terdengar mengejek, penuh dengan rasa kemenangan.
Dengan nada kesal, Nara menutup telepon itu dengan kasar. "Reno sialan! Apakah dia tahu kalau aku sedang ada masalah? Atau... argh!" gumamnya, frustrasi. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi oleh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Belum juga ia menemukan jawaban, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Apakah itu Rama? Apakah ia kembali? Dengan hati-hati, Nara berjalan menuju pintu dan membukanya.
Nara berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Gaun satin hitam yang membalut tubuhnya mempertegas keanggunan sekaligus aura sensualnya. Dengan tangan terampil, ia menyisir rambut panjangnya, menyiapkan diri untuk menghabiskan malam yang dijanjikan penuh petualangan. Akan tetapi, sorot matanya tak memandang pantulan dirinya di cermin. Ia hanya terpaku pada layar ponsel di atas meja rias yang baru saja menampilkan sebuah pesan singkat dari Arka:
"Sudah siap, sayang? Aku di lobi."
Dehaman kecil keluar dari bibirnya, setengah menikmati getaran-getaran dan bayangan-bayabgan sensasi yang mendebarkan dari situasi ini, Hati Nara serasa dikepung oleh ketegangan tak kasat mata.
"Arka, aku sungguh merindukan semua sentuhanmu. Dan aku tidak sabar malam ini kita akan kembali bertemu," gumam Nara dengan hati berdebar kencang saat membaca pesan yang baru saja Arka kirimkan.
Untuk sesaat, gairah liarnya tak bisa lagi ia padamkan, Nara bahkan bisa membayangkan setiap sentuhan memabukkan yang selalu membuatnya melayang dari pria itu.
Sentuhan dan kelembutan penuh perhatian di atas tempat tidur, yang tak pernah ia dapatkan dari Rama suami super sibuknya itu.
Namun atmosfer hangat itu tiba-tiba hancur seketika saat suara Rama, suaminya, terdengar menggema dari balik pintu.
"Nara! Kamu ngapain?" tanyanya dengan nada datar dan dibalut nada lain. Nada penuh curiga.
Nara menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai mengintai. Ia berjalan ke pintu dan membukanya dengan senyum tipis di wajahnya.
"Ada apa, Rama?" tanyanya seolah tak ada apa-apa.
Tatapan Rama segera jatuh ke gaun yang dikenakan Nara. Tatapan mata dan gestur di wajahnya menyiratkan rasa tidak senang. "Kamu mau ke mana, malam-malam begini dengan penampilan seperti itu?" tanyanya, alisnya bertaut, sorot matanya tajam menghujam jantung.
"Aku ada acara," jawab Nara santai, mencoba mengalihkan suasana. "Aku butuh waktu untuk bertemu teman-teman. Lagipula kamu sibuk terus dengan pekerjaan. Aku nggak mungkin duduk-duduk di rumah setiap hari, kan?"
Rama mendekat. Tangannya meremas ujung meja rias, hanya beberapa inci dari ponsel yang tergeletak di sana. Pandangannya yang gelap, siap menelanjangi alasan-alasan Nara.
"Oh, begitu? Teman-teman yang mana? Sejak kapan kamu punya 'teman' yang aku nggak tahu?" tanyanya tajam, seperti pisau yang menusuk.
Detak jantung Nara makin cepat, tetapi ia tidak boleh goyah. Jika ia menunjukkan rasa takut, Rama akan mencium darah seperti serigala yang sedang kelaparan.
"Kamu selalu curiga nggak jelas, Rama," katanya dengan nada mengeluh, "Aku hanya butuh waktu untuk diri sendiri. Aku bukan tawanan di rumah ini."
"Apa? Curiga nggak jelas?" Rama tertawa kecil, tawa yang penuh kebencian. "Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu ada yang nggak beres sejak lama!"
Rama tiba-tiba menyambar ponsel Nara dari meja rias. Gerakannya begitu cepat hingga Nara tidak sempat menghentikannya.
Nara panik, ia mencoba merebutnya Kembali, "Rama, jangan! Jangan Rama!" serunya, tapi Rama sudah melangkah mundur, membuka layar ponsel dengan kemarahan yang tak terkendali.
Pesan dari Arka segera memenuhi layar:
"Aku tunggu di kamar 305, ya. Jangan lama-lama, sayang."
Deg ...
Suasana di kamar itu mendadak terasa seperti jurang yang menganga dan siap menelan mereka berdua. Wajah Rama berubah drastis. Matanya yang sebelumnya gelap kini seperti api yang menyala-nyala. Ia mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi dan membantingnya ke lantai. Layar kaca pecah berkeping-keping, memantulkan sisa-sisa kehidupan pernikahan mereka yang mulai retak.
"Siapa dia, Nara? Siapa ARKA?! Kamar 305?! Kamu mau ngapain di sana?!" Bentakan Rama menggelegar di dalam kamar.
"Itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Rama! Aku bisa jelaskan!" Nara mencoba bertahan dengan suara yang bergetar.
"Bisa jelaskan apa, hah?!" Rama meraih pundaknya dengan kasar, membuat Nara terdorong ke dinding. "Kau SELINGKUH, kan?! Aku sudah lama mencium bau busuk ini, tapi aku terlalu bodoh untuk percaya kamu! Ternyata aku nggak salah, kau memang perempuan MURAHAN!!"
"Arka hanya teman biasa, Rama! Kamu terlalu berlebihan!" potong Nara, mencoba menyelamatkan dirinya.
"TEMAN?! Teman apa yang mengajakmu ke kamar hotel?! Jangan bodohi aku, Nara!" Rama semakin mendekat, nadanya semakin memekakkan telinga.
Air mata Nara mulai jatuh. Bukan karena merasa bersalah, melainkan karena ketakutan.
"Aku butuh ruang, Rama. Aku butuh seseorang yang bisa mengerti aku. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan, nggak pernah punya waktu buat aku!" teriak Nara, mencoba membalik keadaan.
"Jadi, ini salahku sekarang, hah?!" Rama membalas dengan nada getir. "Aku banting tulang kerja buat apa? Supaya kamu bisa dandan cantik buat pria lain?! Kau manusia macam apa?!"
"Kalau kamu memang peduli, kamu nggak akan biarkan aku merasa sendirian selama ini!" balas Nara dengan emosi. "Aku hanya mencari perhatian yang nggak pernah aku dapatkan dari kamu, Rama!"
Jawaban itu membuat Rama terpaku sejenak, namun emosi segera menguasainya kembali. Ia menggebrak meja rias hingga segala benda di atasnya terjatuh. Botol parfum, sisir, dan cermin kecil berserakan di lantai, mencerminkan kekacauan di antara mereka.
"Nara! Kau benar-benar tidak tahu diri! Aku memberimu segalanya! Jadi ini balasannya?!" teriak Rama lagi, suaranya parau karena marah sekaligus luka yang menganga.
"Kamu hanya memberiku uang, Rama! Kamu nggak pernah hadir untukku. Kamu bahkan nggak peduli aku butuh apa!"
"Aku nggak peduli?!" Rama menunjuk dirinya sendiri dengan marah. "Kamu yang egois, Nara! Aku ada untuk kamu, untuk rumah ini, untuk hidup kita! Dan sekarang aku tahu, semua itu sia-sia! Semua omong kosong! Kau hanya wanita murahan yang menjual harga dirinya untuk sensasi murahan!"
Kata-kata itu menghantam Nara seperti tamparan keras. Tapi ia tidak mau kalah. Ia menggenggam ujung gaunnya erat-erat, menahan gemetar di tubuhnya.
"Kalau aku seperti itu, salah siapa, Rama? Kamu membuatku seperti ini!"
Suara tawa Rama yang getir memenuhi ruangan.
"Oh, jadi aku yang salah?! Salah karena aku menikahimu? Salah karena aku terlalu percaya sama wanita yang ternyata hanya bisa menghancurkan segalanya?!"
Pintu kamar tiba-tiba terdorong keras hingga hampir terlepas dari engselnya saat Rama keluar, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan ..., "Aku nggak peduli lagi, Nara. Mulai detik ini, kau adalah wanita asing. Kita SELESAI!"
Pintu terbanting menutup dengan keras, suaranya menggema di seluruh rumah.
Nara terhuyung mundur hingga tubuhnya menyentuh dinding. Ia terduduk di lantai, menatap kosong pada layar ponsel yang kini pecah berantakan. Sesaat, ia ingin menjerit sejadi jadinya.
Dengan tangan gemetar, ia memegang gaunnya yang kini kusut karena dirinya sendiri. Dalam hati, ia berkata,
"Bodoh sekali aku..."
Malam itu, Nara tidak pergi ke hotel seperti yang direncanakan. Ia hanya duduk diam di kamar, mencoba memahami apa yang sebenarnya salah dengan dirinya. Bukannya menyesali perbuatannya, ia malah mencari cara untuk membuat suaminya percaya lagi padanya.
"KRING, KRING..." Suara telepon mengejutkannya. Dengan perasaan yang benar-benar kacau, ia pun segera menyambar gagang telepon itu.
"Bagaimana pernikahanmu dengan Rama, hai, Manis? Ha-ha-ha..." Suara yang tak asing baginya terdengar mengejek, penuh dengan rasa kemenangan.
Dengan nada kesal, Nara menutup telepon itu dengan kasar. "Reno sialan! Apakah dia tahu kalau aku sedang ada masalah? Atau... argh!" gumamnya, frustrasi. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi oleh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Belum juga ia menemukan jawaban, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Apakah itu Rama? Apakah ia kembali? Dengan hati-hati, Nara berjalan menuju pintu dan membukanya.
Nara berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya. Gaun satin hitam yang membalut tubuhnya mempertegas keanggunan sekaligus aura sensualnya. Dengan tangan terampil, ia menyisir rambut panjangnya, menyiapkan diri untuk menghabiskan malam yang dijanjikan penuh petualangan. Akan tetapi, sorot matanya tak memandang pantulan dirinya di cermin. Ia hanya terpaku pada layar ponsel di atas meja rias yang baru saja menampilkan sebuah pesan singkat dari Arka:
"Sudah siap, sayang? Aku di lobi."
Dehaman kecil keluar dari bibirnya, setengah menikmati getaran-getaran dan bayangan-bayabgan sensasi yang mendebarkan dari situasi ini, Hati Nara serasa dikepung oleh ketegangan tak kasat mata.
"Arka, aku sungguh merindukan semua sentuhanmu. Dan aku tidak sabar malam ini kita akan kembali bertemu," gumam Nara dengan hati berdebar kencang saat membaca pesan yang baru saja Arka kirimkan.
Untuk sesaat, gairah liarnya tak bisa lagi ia padamkan, Nara bahkan bisa membayangkan setiap sentuhan memabukkan yang selalu membuatnya melayang dari pria itu.
Sentuhan dan kelembutan penuh perhatian di atas tempat tidur, yang tak pernah ia dapatkan dari Rama suami super sibuknya itu.
Namun atmosfer hangat itu tiba-tiba hancur seketika saat suara Rama, suaminya, terdengar menggema dari balik pintu.
"Nara! Kamu ngapain?" tanyanya dengan nada datar dan dibalut nada lain. Nada penuh curiga.
Nara menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai mengintai. Ia berjalan ke pintu dan membukanya dengan senyum tipis di wajahnya.
"Ada apa, Rama?" tanyanya seolah tak ada apa-apa.
Tatapan Rama segera jatuh ke gaun yang dikenakan Nara. Tatapan mata dan gestur di wajahnya menyiratkan rasa tidak senang. "Kamu mau ke mana, malam-malam begini dengan penampilan seperti itu?" tanyanya, alisnya bertaut, sorot matanya tajam menghujam jantung.
"Aku ada acara," jawab Nara santai, mencoba mengalihkan suasana. "Aku butuh waktu untuk bertemu teman-teman. Lagipula kamu sibuk terus dengan pekerjaan. Aku nggak mungkin duduk-duduk di rumah setiap hari, kan?"
Rama mendekat. Tangannya meremas ujung meja rias, hanya beberapa inci dari ponsel yang tergeletak di sana. Pandangannya yang gelap, siap menelanjangi alasan-alasan Nara.
"Oh, begitu? Teman-teman yang mana? Sejak kapan kamu punya 'teman' yang aku nggak tahu?" tanyanya tajam, seperti pisau yang menusuk.
Detak jantung Nara makin cepat, tetapi ia tidak boleh goyah. Jika ia menunjukkan rasa takut, Rama akan mencium darah seperti serigala yang sedang kelaparan.
"Kamu selalu curiga nggak jelas, Rama," katanya dengan nada mengeluh, "Aku hanya butuh waktu untuk diri sendiri. Aku bukan tawanan di rumah ini."
"Apa? Curiga nggak jelas?" Rama tertawa kecil, tawa yang penuh kebencian. "Kamu pikir aku bodoh, hah? Aku tahu ada yang nggak beres sejak lama!"
Rama tiba-tiba menyambar ponsel Nara dari meja rias. Gerakannya begitu cepat hingga Nara tidak sempat menghentikannya.
Nara panik, ia mencoba merebutnya Kembali, "Rama, jangan! Jangan Rama!" serunya, tapi Rama sudah melangkah mundur, membuka layar ponsel dengan kemarahan yang tak terkendali.
Pesan dari Arka segera memenuhi layar:
"Aku tunggu di kamar 305, ya. Jangan lama-lama, sayang."
Deg ...
Suasana di kamar itu mendadak terasa seperti jurang yang menganga dan siap menelan mereka berdua. Wajah Rama berubah drastis. Matanya yang sebelumnya gelap kini seperti api yang menyala-nyala. Ia mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi dan membantingnya ke lantai. Layar kaca pecah berkeping-keping, memantulkan sisa-sisa kehidupan pernikahan mereka yang mulai retak.
"Siapa dia, Nara? Siapa ARKA?! Kamar 305?! Kamu mau ngapain di sana?!" Bentakan Rama menggelegar di dalam kamar.
"Itu bukan seperti yang kamu pikirkan, Rama! Aku bisa jelaskan!" Nara mencoba bertahan dengan suara yang bergetar.
"Bisa jelaskan apa, hah?!" Rama meraih pundaknya dengan kasar, membuat Nara terdorong ke dinding. "Kau SELINGKUH, kan?! Aku sudah lama mencium bau busuk ini, tapi aku terlalu bodoh untuk percaya kamu! Ternyata aku nggak salah, kau memang perempuan MURAHAN!!"
"Arka hanya teman biasa, Rama! Kamu terlalu berlebihan!" potong Nara, mencoba menyelamatkan dirinya.
"TEMAN?! Teman apa yang mengajakmu ke kamar hotel?! Jangan bodohi aku, Nara!" Rama semakin mendekat, nadanya semakin memekakkan telinga.
Air mata Nara mulai jatuh. Bukan karena merasa bersalah, melainkan karena ketakutan.
"Aku butuh ruang, Rama. Aku butuh seseorang yang bisa mengerti aku. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan, nggak pernah punya waktu buat aku!" teriak Nara, mencoba membalik keadaan.
"Jadi, ini salahku sekarang, hah?!" Rama membalas dengan nada getir. "Aku banting tulang kerja buat apa? Supaya kamu bisa dandan cantik buat pria lain?! Kau manusia macam apa?!"
"Kalau kamu memang peduli, kamu nggak akan biarkan aku merasa sendirian selama ini!" balas Nara dengan emosi. "Aku hanya mencari perhatian yang nggak pernah aku dapatkan dari kamu, Rama!"
Jawaban itu membuat Rama terpaku sejenak, namun emosi segera menguasainya kembali. Ia menggebrak meja rias hingga segala benda di atasnya terjatuh. Botol parfum, sisir, dan cermin kecil berserakan di lantai, mencerminkan kekacauan di antara mereka.
"Nara! Kau benar-benar tidak tahu diri! Aku memberimu segalanya! Jadi ini balasannya?!" teriak Rama lagi, suaranya parau karena marah sekaligus luka yang menganga.
"Kamu hanya memberiku uang, Rama! Kamu nggak pernah hadir untukku. Kamu bahkan nggak peduli aku butuh apa!"
"Aku nggak peduli?!" Rama menunjuk dirinya sendiri dengan marah. "Kamu yang egois, Nara! Aku ada untuk kamu, untuk rumah ini, untuk hidup kita! Dan sekarang aku tahu, semua itu sia-sia! Semua omong kosong! Kau hanya wanita murahan yang menjual harga dirinya untuk sensasi murahan!"
Kata-kata itu menghantam Nara seperti tamparan keras. Tapi ia tidak mau kalah. Ia menggenggam ujung gaunnya erat-erat, menahan gemetar di tubuhnya.
"Kalau aku seperti itu, salah siapa, Rama? Kamu membuatku seperti ini!"
Suara tawa Rama yang getir memenuhi ruangan.
"Oh, jadi aku yang salah?! Salah karena aku menikahimu? Salah karena aku terlalu percaya sama wanita yang ternyata hanya bisa menghancurkan segalanya?!"
Pintu kamar tiba-tiba terdorong keras hingga hampir terlepas dari engselnya saat Rama keluar, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan ..., "Aku nggak peduli lagi, Nara. Mulai detik ini, kau adalah wanita asing. Kita SELESAI!"
Pintu terbanting menutup dengan keras, suaranya menggema di seluruh rumah.
Nara terhuyung mundur hingga tubuhnya menyentuh dinding. Ia terduduk di lantai, menatap kosong pada layar ponsel yang kini pecah berantakan. Sesaat, ia ingin menjerit sejadi jadinya.
Dengan tangan gemetar, ia memegang gaunnya yang kini kusut karena dirinya sendiri. Dalam hati, ia berkata,
"Bodoh sekali aku..."
Malam itu, Nara tidak pergi ke hotel seperti yang direncanakan. Ia hanya duduk diam di kamar, mencoba memahami apa yang sebenarnya salah dengan dirinya. Bukannya menyesali perbuatannya, ia malah mencari cara untuk membuat suaminya percaya lagi padanya.
"KRING, KRING..." Suara telepon mengejutkannya. Dengan perasaan yang benar-benar kacau, ia pun segera menyambar gagang telepon itu.
"Bagaimana pernikahanmu dengan Rama, hai, Manis? Ha-ha-ha..." Suara yang tak asing baginya terdengar mengejek, penuh dengan rasa kemenangan.
Dengan nada kesal, Nara menutup telepon itu dengan kasar. "Reno sialan! Apakah dia tahu kalau aku sedang ada masalah? Atau... argh!" gumamnya, frustrasi. Kepalanya terasa berat, seolah dipenuhi oleh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Belum juga ia menemukan jawaban, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Apakah itu Rama? Apakah ia kembali? Dengan hati-hati, Nara berjalan menuju pintu dan membukanya.
Bab 1 Batal Selingkuh
08/10/2025
Bab 2 Bayang-Bayang Sahabat
08/10/2025
Bab 3 Jejak-Jejak Arka
08/10/2025
Bab 4 Gairah Dari Masa Lalu
08/10/2025
Bab 5 Ternyata Dia
08/10/2025
Bab 6
08/10/2025
Bab 7 Kau Gila, Reno
08/10/2025
Bab 8 Jika Suamiku Tahu, Matilah Kita
08/10/2025
Bab 9 Murka
08/10/2025
Bab 10 Pergi Kamu, Bajingan
08/10/2025
Bab 11 Kamu Sama Saja Dengan Pria Lainnya, tolol
08/10/2025
Bab 12 Buka Pintunya, Atau...
11/10/2025
Bab 13 Wajahnya Terkubur
11/10/2025
Bab 14 Kalian Telah Menandatangani Surat Kematian Kalian Sendiri
11/10/2025
Bab 15 Firasat Buruk
11/10/2025
Bab 16 Reno Tumbang Juga
11/10/2025
Bab 17 Ambil Sendiri
11/10/2025
Bab 18 Hanya Nara Yang Mengetuk Pintu
11/10/2025
Bab 19 Tubuh Molek
11/10/2025
Bab 20 Kamu Menginginkan Ini, Buan
11/10/2025
Bab 21 Kita Lanjutkan Di Luar Jam Kantor Saja, Pak
20/10/2025
Bab 22 Libido
20/10/2025
Bab 23 Aku Akan Menunggumu, Rama,
20/10/2025
Bab 24 Dapatkan Kartu As-nya
22/10/2025
Bab 25 Two in One
22/10/2025
Bab 26 Berubah
22/10/2025
Bab 27 Lelaki Mana Yang Menolak Kemolekan Tubuhmu
22/10/2025
Bab 28 Miliki Aku, Rama
22/10/2025
Bab 29 Buih-Buih Cinta
22/10/2025
Bab 30 Dendam Soraya
22/10/2025
Bab 31 Ini Bukan Kebetulan
22/10/2025
Bab 32 Bukti Yang Hilang
22/10/2025
Bab 33 Open The Fuc-ing Door
22/10/2025
Bab 34 Sebentar Lagi Kamu Akan Tahu, Nara
22/10/2025
Bab 35 Saatnya Berburu
22/10/2025
Bab 36 Nara Panik
28/10/2025
Bab 37 Semuanya Seperti Sedang Tidak Tepat
08/11/2025
Bab 38 Penculikan Nara
08/11/2025
Bab 39 Kecurigaan Reno
08/11/2025
Bab 40 Mencari Alasan
10/11/2025